Senin, 03 Juni 2013

ASKEP GANGGUAN MUSKULOSKLETAL PADA KLIEN AMPUTASI

ASKEP GANGGUAN MUSKULOSKLETAL PADA KLIEN AMPUTASI
A.    Definisi
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.  Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.





B.     Etiologi
Sebab-sebab dilakukannya amputasi adalah sebagai berikut :
  1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
  2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
  3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
  4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
  5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
  6. Deformitas organ.
C.    Klasifikasi
  1. Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
a.       Amputasi Selektif/Terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.



b.      Amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
c.       Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
  1. Jenis amputasi yang dikenal adalah :
a.       Amputasi terbuka.
Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama.
b.      Amputasi tertutup.
Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).
Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya.
D.    Tingkatan Amputasi
1.      Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.
2.      Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.
Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu :



a.       Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).
Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb.
b.      Amputasi diatas lutut
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer.
E.     Dampak Atau Masalah Terhadap Sistem Tubuh
Adapun pengaruhnya meliputi :
1.      Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.
2.      Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
3.      Sistem respirasi
a.       Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
b.      Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.
c.       Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.
4.      Sistem Kardiovaskuler
a.       Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
b.      Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.
c.       Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
5.      Sistem Muskuloskeletal
a.       Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.
b.      Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.
c.       Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak.
d.      Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.
6.      Sistem Pencernaan
a.       Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.
b.      Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar.
7.      Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan:
a.       Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.
b.      Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.
8.      Sistem integument
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
F.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tergantung pada kondisi dasar perlunya amputasi dan digunakan untuk menentukan tingkat yang terjadi untuk amputasi
1.      Foto rontgen : mengidentifikasi abnormalitas tulang
2.      CT Scan : mengidentifikasi lesi neoplastik, asteomelis, pembentukan hematoma.
3.      Aggiografi dan pemeriksaan aliran darah : mengevaluasi perubahan sirkulasi/perfusi jaringan dan membantu memperkira kan potensial penyembuhan jaringan setelah amputasi.



G.    Indikasi dan Kontraindikasi
1.      Indikasi
a.       Rekuren lokal dari tumor primer high grade tana tanda metastasis.
b.      Keterlibatan vaskuler utama.
c.       Keterlibatan saraf utama.
d.      Kontaminasi jaringan lunak yang luas saat eksisi dengan perdarahan yang banyak.
e.       Fraktur patologis.
f.       Infeksi.
g.      Sarkoma high grade
2.      Kontra Indikasi
Kondisi umum yang buruk, sarkoma dengan metastasis (relatif)
3.      Tehnik Operasi
a.      Amputasi Atas Lutut
1)      Pasien terlentang.
2)      Kulit ditandai dengan marker untuk garis insisi dan pemotongan tulang diatas lutut. Garis insisi berbentuk mulut ikan dengan puncak pada sisi medial dan lateral paha. Batas osteotomi juga ditandai sebelum insisi.
3)      Dilakukan diseksi dan pemotongan kulit, fasia superfisal (tan jaringan subkutan secara vertikal dari tepi insisi. Kemudian bergerak miring sesuai arch garis insisi menuju puncak irisan sampai tulang.Pembuluh darah besar diligasi . Nervus ditarik keluar dari jaringan sekitarnya kira-kira 2 cm, diligasi dua kali dengan benang monofilamen nonabsorbable dan dipotong dengan pisau serta dibiarkan masuk kembali ke jaringan sekitarnya.
4)      Kauter digunakan untuk membuka periosteum, kemudian dilakukan osteotomi dengan gergaji Gigh, dan tepi tulang di kikir untuk menghilangkan tepi tajam.
5)      Dilakukan myodesis dua lapis dengan menjahitkan otot-otot menutupi ujung tulang. Quadriseps dan hamstring dijahitkan satu sama lain untuk menutupi tulang. Adduktor ditendodesis dengan otot di ujung femur. Tahap ini penting agar kekuatan dan kestabilan femur tetap terjaga.
6)      Subkutis dan kulit ditutup lapos demi lapis dan dipasang drain.
7)      Dilakukan balutan ketat dan dipasang sarung stump diujung stump
b.      Amputasi Bawah Lutut
1)      Pasien terlentang
2)      Kulit ditandai dengan marker untuk garis insisi dan pemotongan tulang dibawah lutut. Garis insisi berbentuk mulut ikan dengan puncak pada sisi medial dan lateral paha. Batas osteotomi juga ditandai sebelum insisi. Semakin panjang stump yang ditinggalkan, semakin baik hasil fungsionalnya
3)      Dilakukan diseksi dan pemotongan kulit, fasia superfisal dan jaringan subkutan secara vertikal dari tepi insisi. Kemudian bergerak miring sesuai arch garis insisi menuju puncak irisan sampai tulang.Pembuluh darah besar diligasi . Nervus ditarik keluar dari jaringan sekitarnya kira-kira 2 cm, diligasi dua kali dengan benang monofilamen nonabsorbable dan dipotong dengan pisau Bertadibiarkan masuk kembali ke jaringan sekitarnya.
4)      Kauter digunakan untuk membuka periosteum, kemudian dilakukan osteotomi dengan gergaji Gigli, dan tepi tulang di kikir untuk menghilangkan tepi tajam. . Minimal 5 cm tibia diperlukan untuk fungsi dan pemasangan prostesis. Fibula selalu dipotong lebih pendek dari tibia.
5)      Dilakukan myodesis dua lapis dengan menjahitkan otot-otot menutupi ujung tulang.
6)      Subkutis dan kulit ditutup lapos demi lapis dan dipasang drain.
7)      Dilakukan balutan ketat dan dipasang sarung stump diujung stump

H.    Komplikasi
1.      Perdarahan
Bila hemostasis tidak baik, dapat terjadi perdarahan di daerah operasi. Pada insisional biopsi tumor, mudah terjadi perdarahan. Bila perdarahan merembes dan tidak dapat dijahit (jaringan rapuh), dilakukan penekanan dan balut tekan diatas titik perdarahan
2.      Infeksi
Infeksi dapat muncul bila tehnik aseptik tidak dilaksanakan dengan tepat, atau sudah ada infeksi di daerah yang di biopsi
I.       Penatalaksanaan
Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi. Ada dua cara perawatan post amputasi yaitu :
1.      Amputasi rigid dressing
Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi berdiri.
Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah 7 – 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 – 3 minggu, setelah stump sembuh dan mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 post operasi untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.
2.      Soft dressing
Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup. Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut, penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.











BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MASALAH MUSKULUSKELETAL “AMPUTASI”

Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pada tahap preoperatif, tahap intra operatif, dan pada tahap postoperatif.
A.    Preoperatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi.
Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik, khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.
1.      Pengkajian
a.      Pengkajian Riwayat Kesehatan
Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.

b.      Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi  :
SISTEM TUBUH
KEGIATAN
Integumen :
Kulit secara umum.
Lokasi amputasi
Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.
Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus return.
Sistem Cardiovaskuler :
Cardiac reserve
Pembuluh darah
Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian terhadap elastisitas pembuluh darah.
Sistem Respirasi
Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas.
Sistem Urinari
Mengkaji jumlah urine 24 jam.
Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.
Cairan dan elektrolit
Mengkaji tingkat hidrasi.
Memonitor intake dan output cairan.
Sistem Neurologis
Mengkaji tingkat kesadaran klien.
Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan sensorik daerah yang akan diamputasi.
Sistem Mukuloskeletal
Mengkaji kemampuan otot kontralateral.

c.       Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis ( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada makalah ini.
d.      Laboratorik
Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.



2.      Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul antara lain :
a.       Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
Karakteristik penentu :
1)      Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.
2)      Menyatakan kurang pemahaman.
3)      Meminta informasi.
Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.
Kriteria evaluasi :
1)      Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.
2)      Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.
INTERVENSI
RASIONAL
Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.

Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.

Mengatur waktu khusus dengan klien untuk berdiskusi tentang kecemasan klien.
Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan meningkatkan rasa saling percaya.

Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi klien.

Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih akurat.
b.      Berduka yang  antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.
Karakteristik penentu :
1)      Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.
2)      Takut kecacatan.
3)      Rendah diri, menarik diri.
Tujuan :
Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.
Kriteria evaluasi :
1)      Mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.
2)      Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yang baru.










INTERVENSI
RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang dampak pembedahan pada gaya hidup.

Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.

Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah.

Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi amputasi.
Mengurangi rasa tertekan dalam diri klien, menghindarkan depresi, meningkatkan dukungan mental.

Membantu klien mengapai penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik rasionalisasi.

Meningkatkan dukungan mental.






Strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan citra diri.

Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain :



1)      Mengatasi nyeri
a)      Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
b)      Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
c)      Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
2)      Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
a)      Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk mencegah kontraktur.
b)      Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
c)      Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi, untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi, memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
3)      Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
a)      Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim bedah.
b)      Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu  ( karena tidak semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler perifer, luka yang terbuka ).
c)      Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan protese.
d)     Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.
B.     Intra Operatif
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.
Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif.






C.     Post Operatif
1.      Pengkajian
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri.
Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah.
Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien.
Perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.
2.      Diagnosa keperawatan dan Perencanaan :
a         Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
1)      Menyatakan nyeri.
2)      Merintih, meringis.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
Kriteria evaluasi :
1)   Menyatakan nyeri hilang.
2)   Ekspresi wajah rileks.





INTERVENSI
RASIONAL
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom limb



Beri analgesik ( kolaboratif ).

Ajarkan klien memberikan tekanan lembut dengan menempatkan puntung pada handuk dan menarik handuk dengan berlahan.
Sensasi panthom limb memerlukan waktu yang lama untuk sembuh daripada nyeri akibat insisi.
Klien sering bingung membedakan nyeri insisi dengan nyeri panthom limb.

Untuk menghilangkan nyeri

Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom limb

b        Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
1)      Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.
2)      Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.
3)      Depresi.
Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.
Kriteria evaluasi :
1)      Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.
2)      Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.
INTERVENSI
RASIONAL
Validasi masalah yang dialami klien.

Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri yang langsung menggunakan putung :
-  Perawatan luka.
-  Mandi.
-  Menggunakan pakaian.

Berikan dukungan moral.

Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah menerima diri.
Meninjau perkembangan klien.


Mendorong antisipasi meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh.





Meningkatkan status mental klien.

Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.

c         Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak berhubungan dengan amputasi
Karakteristik penentu :
      Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.
      Tujuan : tidak terjadi komplikasi.
      Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.



INTERVENSI
RASIONAL
Infeksi
Lakukan perawatan luka adekuat.

Mencegah terjadinya infeksi.
Perdarahan
Pantau :
-Masukan dan pengeluaran cairan.

- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.

- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.


Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.

Sebagai monitor status hemodinamik

Indikator adanya perdaraham masif

Emboli lemak
Monitor pernafasan.


Persiapkan oksigen


Pertahankan posisi flower atau tetap tirah baring selama beberapa waktu
Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin


Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu dperlukan untuk tindakan yang cepat.
Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau memudahkan pernafasan.





Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :
1)      Melakukan perawatan luka postoperasi
a)      Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
b)      Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan –1 tahun).
2)      Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri
a)      Memberi dukungan psikologis.
b)      Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.
3)      Mencegah kontraktur
a)      Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
b)      Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya kontraktur.
4)      Aktivitas perawatan diri
a)      Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).
b)      Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
c)      Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese.
d)     Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
e)      Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese.
D.    Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).

  
BAB 
PENUTUP
A.          Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi.
B.           Saran
Saran kelompok kami dengan adannya makalah ini, sebagai mahasiswa calon perawat. Diharapkan agar dapat mengerti asuhan keperawatan pada asien dengan gangguan system muskuluskeletal “amputasi”. Dan melakukan tindakan keperawatan  dengan baik dan benar. Sehingga meminimalkan terjadinya mal praktek dan kesalahan dalam asuhan keperawatan yang dilakukan nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

http://bedahunmuh.wordpress.com /2010/05/19/debridement-dan-amputasi-        gangrene/ <diposting tanggal 22-okober-2010>

http://harnawatiaj.wordpress.com <diposting tanggal 22-okober-2010>
Smeltzer dan Brenda G. bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol III. Edisi 8. Jakarta : EGC.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar