BAB 1
FRAKTUR
A. Konsep Medis
1.
Anatomi
dan Fisiologi
a. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel
yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline
cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini
dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang
akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat
diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
1).
Tulang
panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari
epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah
tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng
pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng
epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh
osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada
akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan
tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron
merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron,
merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga
yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis
berisi sumsum tulang.
2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3). Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5). Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar
tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan
fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel,
matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis
dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen
dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan).
Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun.
Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan
terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear
( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling
tulang.
Osteon merupakan unik
fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler.
Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella.
Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus
yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan
pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous
padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen.
Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling
dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
b. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1). Mendukung jaringan tubuh dan memberikan
bentuk tubuh.
2). Melindungi organ tubuh (misalnya jantung,
otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
3). Memberikan pergerakan (otot yang
berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
4). Membentuk
sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
5). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium,
fosfor.
2.
Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah
patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup
adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek)
tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
3.
Etiologi
1)
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung
menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian
demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2)
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah
tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3)
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat
tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
4.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun
cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
5.
Klasifikasi
Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi
untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.
Berdasarkan
sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.
Berdasarkan
komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui
seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat
pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak
melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)
Hair Line Fraktur (patah
retidak rambut)
b)
Buckle
atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
c)
Green
Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang.
c.
Berdasarkan
bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya
melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis
patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis
patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi
karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan
karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis
patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis
patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi
pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)
Dislokasi ad longitudinam cum
contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
b)
Dislokasi ad axim (pergeseran
yang membentuk sudut).
c)
Dislokasi ad latus (pergeseran
dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi
menjadi tiga bagian :
1.
1/3 proksimal
2.
1/3 medial
3.
1/3 distal
g.
Fraktur
Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h.
Fraktur
Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit
atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal
atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan
kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
6. Manifestasi Klinik
a.
Deformitas
b.
Bengkak/edema
c.
Echimosis (Memar)
d.
Spasme otot
e.
Nyeri
f.
Kurang/hilang sensasi
g.
Krepitasi
h.
Pergerakan abnormal
i.
Rontgen abnormal
7. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan
lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang, temogram, scan CI:
memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin
meningkat/menurun.
c.
Peningkatan jumlal sop adalah
respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban
kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
8. Penatalaksanaan Medik
a.
Fraktur Terbuka
Merupakan
kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu
jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b.
Seluruh Fraktur
1)
Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2)
Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat
juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka
dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya
dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien
harus dipersiapkan untuk menjalani
prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika
diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang
akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar‑x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar‑x digunakan
untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar‑x. Ketika kalus telah kuat
dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi
Terbuka. Pada fraktur tertentu
memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi.
Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan
logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang
atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3)
Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4)
Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang
dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi,
strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari‑hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga‑diri. Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi
interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan
stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban
berat badan.
10. Komplikasi
1)
Komplikasi Awal
a.
Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.
Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.
Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.
Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
2)
Komplikasi Dalam Waktu Lama
b.
Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
c.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur
berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d.
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
B.
Konsep
Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam
proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah
klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas:
a.
Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus
fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa
yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui
luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
e)
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul
ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid
yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar
sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul
rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(4)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas
klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
1995).
(5)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran
dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(6)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya
rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang
lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
(8)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D,
1995).
10)
Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak
dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah
yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a)
Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang
dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)
Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
(b)
Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)
Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(d)
Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(e)
Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g)
Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
(h)
Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(i)
Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j)
Paru
(1)
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba sama.
(3)
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)
Jantung
(1)
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)
Abdomen
(1)
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
(3)
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m)
Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)
Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan
pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)
Look (inspeksi)
Perhatikan
apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide)
atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)
Posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)
(2)
Feel (palpasi)
Pada
waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)
Perubahan
suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal 3 – 5 “
(b)
Apabila ada pembengkakan,
apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)
Nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa
status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
(3)
Move (pergerakan terutama
lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan
feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)
Pemeriksaan Diagnostik
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi
yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas
dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2)
Tipis tebalnya korteks sebagai
akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur
sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
(1)
Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)
Myelografi:
menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)
Arthrografi:
menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)
Computed
Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
(2)
Alkalin Fosfat meningkat pada
kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)
Enzim otot seperti Kreatinin
Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1)
Pemeriksaan mikroorganisme
kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada
intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi
saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang
rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini
didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b.
|
Dampak Fraktur
Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
3. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
adalah sebagai berikut:
a.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran
darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c.
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
e.
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup)
f.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
g.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000)
4. Intervensi Keperawatan
a.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan:
Klien mengataka nyeri berkurang atau
hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
2.
Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
3.
Lakukan dan awasi latihan
gerak pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan
kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5.
Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas
dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut
(24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
|
Mengurangi
nyeri dan mencegah malformasi.
Meningkatkan
aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan
kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan
sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan
perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin
berlangsung lama.
Menurunkan
edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan
nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral
maupun perifer.
Menilai perkembangan masalah klien.
|
b.
Risiko
disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler,
edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien
akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak
pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Dorong klien untuk secara rutin
melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat
tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas
yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
4. Berikan obat antikoagulan (warfarin)
bila diperlukan.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran
kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan
sisi yang normal.
|
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah
kekakuan sendi.
Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk
perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.
Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema
kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.
Mengevaluasi
perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.
|
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan
aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema
paru, kongesti)
Tujuan : Klien
akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak
sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam
dan latihan batuk efektif.
2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi
yang aman sesuai keadaan klien.
3.
Kolaborasi pemberian obat
antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb,
kalsium, LED, lemak dan trombosit
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya
bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan,
retraksi sela iga dan sianosis sentral.
|
Meningkatkan
ventilasi alveolar dan perfusi.
Reposisi
meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.
Mencegah
terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah
menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.
Penurunan
PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan
trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.
Adanya
takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi
pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.
|
d.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien
dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi
yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan
melakukan aktivitas
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas
rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan
klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif
pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan
trokanter/tangan sesuai indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri
(kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai
keadaan klien.
6. Dorong/pertahankan asupan cairan
2000-3000 ml/hari.
7.
Berikan diet TKTP.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi
sesuai indikasi.
9.
Evaluasi kemampuan mobilisasi
klien dan program imobilisasi.
|
Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa
kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.
Meningkatkan
sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan
gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan
diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
Menurunkan insiden komplikasi kulit dan
pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah
komplikasi urinarius dan konstipasi.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk
menyusun program aktivitas fisik secara individual.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
e.
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan
: Klien
menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah
kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan
luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Pertahankan tempat tidur yang
nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku,
tumit).
2. Masase kulit terutama daerah penonjolan
tulang dan area distal bebat/gips.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah
perianal
4.
Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
|
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang
lebih luas.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan
kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada
imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan
akibat kontaminasi fekal.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
f.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan
demam
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Lakukan perawatan pen steril
dan perawatan luka sesuai protokol
2.
Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas insersi pen.
3.
Kolaborasi pemberian
antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium
(Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
5.
Observasi
tanda-tanda vital dan tanda-tanda
peradangan lokal pada luka.
|
Mencegah
infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
Meminimalkan
kontaminasi.
Antibiotika
spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau
mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
Leukositosis
biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat
terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi
organisme penyebab infeksi.
Mengevaluasi perkembangan masalah
klien.
|
h.
Kurang pengetahuan tentang
kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah
interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya
informasi yang ada.
Tujuan : klien
akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan
memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Kaji
kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.
2.
Diskusikan
metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.
3.
Ajarkan
tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam,
perubahan sensasi kulit distal cedera)
4.
Persiapkan klien untuk
mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
|
Efektivitas proses pemeblajaran
dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program
pembelajaran.
Meningkatkan partisipasi dan
kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.
Meningkatkan kewaspadaan klien untuk
mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.
Upaya
pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.
|
C.
Evaluasi
o
Nyeri berkurang atau hilang
o
Tidak terjadi disfungsi
neurovaskuler perifer
o
Pertukaran gas adekuat
o
Tidak terjadi kerusakan
integritas kulit
o
Infeksi tidak terjadi
o
Meningkatnya
pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar