BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan
ginekologi adalah masalah perdarahan. Walaupun angka kematian maternal telah
menurun secara dramati dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan
kehamilan dan persalinan di rumah sakit dan adanya fasilitas transfusi darah,
namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam
kematian maternal.
Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu
berakibat fatal bagi ibu maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan
terlambat dilakukan, atau jika komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh
karena itu, tersedianya sarana dan perawatan sarana yang memungkinkan
penggunaan darah dengan segera, merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan
obstetri yang layak.
Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik
selama kehamilan, persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap
perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus
dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan
janin. Setiap wanita hamil, dan nifas yang mengalami perdarahan, harus segera
dirawat dan ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan
dengan tepat.
Diperkirakan ada 14 juta kasus pendarahan dalam
kehamilan setiap tahunnya; paling sedikit 128.000 perempuan mengalami
pendarahan sampai meninggal. Pendarahan pasca persalinan merupakan pendarahan
yang paling banyak menyebabkan kematian ibu. Lebih dari separuh jumlah seluruh
kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar
karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup
setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat
kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan mengalami mengalami masalah
kesehatan yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, diperlukan tndakan yang tepat
dan cepat dalam mengatasi pendarahan pasca persalinan.
1.2
Tujuan
1.2.1
Tujuan
Umum
Untuk mengetahui lebih jauh tentang
perdarahan pra, pasca, dan kelainan
partum.
1.2.2
Tujuan
Khusus
1.2.2.1 Mahasiswa
mampu mendeskripsikan tentang perdarahan yang terjadi pada ibu hamil.
1.2.2.2 Mahasiswa
mampu mengidentifikasi tanda dan gejala perdarahan pra, pasca, dan kelainan
partum.
1.2.2.3 Mahasiswa
mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami perdarahan
pra, pasca, dan kelainan partum.
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Perdarahan Prapartum (Antepartum)
2.1.1
Pengertian
Perdarahan antepartum adalah pendarahan yang terjadi
setelah kehamilan 28 minggu (perdarahan pada tri wulan terakhir dari
kehamilan.Pada hamil muda sebab-sebab pendarahan :
1. Abortus
2. Kehamilan ektopik
3. Mola hidatidosa
Pada tri wulan terakhir sebab-sebab
utama adalah :
1. Plasenta praevia
2. Solutio plasentae
Selain sebab-sebab di atas juga dapat ditimbulkan oleh
luka-luka pada jalan lahir karena terjatuh, coitus atau varices yang pecah dan
oleh kehamilan servix seperti carcinoma erosio dan polyp.
2.1.2
Klasifikasi
Perdarahan Antepartum Menurut Penyebab (Triwulan III)
1.
Plasenta
Praevia.
a.
Pengertian.
Ialah keadaan dimana plasenta
berimplantasi pada tempat abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga
menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (osteum uteri interal).
1)
Plasenta previa totalis.
Seluruh
ostium internum tertutup oleh plasenta.
2)
Plasenta previa lateralis.
Hanya sebagian dari ostium internum tertutup oleh
plasenta.
3)
Plasenta previa marginalis.
Hanya pada pinggir ostium terdapat jaringan plasenta.
Plasenta previa dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain
:
1)
Endometrium yang kurang baik.
2)
Chorion leave yang presisten.
3)
Korpus iuteum yang bereaksi lambat.
Plasenta
previa mungkin sekali terjadi perdarahan post partum karena :
1)
Kadang-kadang plasenta lebih erat
melekat pada dinding rahim.
2)
Darah perlekatan luas.
3)
Daya kontrasi segmen bawah rahim
kurang.
Bahaya untuk ibu pada plasenta previa :
1)
Perdarahan hebat
2)
Infeksi
3)
Spesis
4)
Emboli udara (jarang)
Bahaya untuk anak :
1)
Hypoxia
2)
Perdarahan anak syok
b.
Etiologi
Plasenta
previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang endometriumnya yang
kurang baik misalnya karena atrofi endometrium / kurang baiknya vaskularisasi
desidua.Keadaan ini bisa ditemukan pada :
1)
Multipara, terutama jika jarak
antara kehamilannnya pendek.
2)
Mioma uteri.
3)
Kuretasi yang berulang.
4)
Umur lanjut.
5)
Bekas seksio sesarea.
6)
Perubahan inflamasi atau atrofi
misalnya pada wanita merokok atau pemakai kokain.
c.
Patofisiologi
Seluruh
plasenta biasanya terletak pada segmen atau uterus, kadang-kadang bagian atau
seluruh organ dapat melekat pada segmen bawah uterus, dimana hal ini dapat
diketahui sebagai plasenta previa. Karena segmen bawah agak merentan selama
kehamilan lanjut dan persalinan dalam usaha mencapai dilatasi serviks dan
melahirkan anak, pemisahan plasenta dari dinding usus sampai tingkat tertentu
tidak dapat dihindari sehingga terjadi pendarahan.
d.
Tanda dan
Gejala
1)
Perdarahan terjadi tanpa rasa sakit
pada trimester III.
2)
Sering terjadi pada malam hari saat
pembentukan SBR.
3)
Perdarahan dapat terjadi sedikit
atau banyak sehingga menimbulkan gejala.
4)
Perdarahan berwarna merah.
5)
Letak janin abnormal.
e.
Komplikasi
1)
Prolaps tali pusat.
2)
Prolaps plasenta.
3)
Prolaps melekat sehingga harus
dikeluarkan manual dan kalau perlu bersihkan dengan kerokan.
4)
Robekan-robekan jalan lahir.
5)
Perdarahan post partum.
6)
Infeksi karena perdarahan yang
banyak.
7)
Bayi prematuris atau kelahiran mati.
f.
Penatalaksanaan
1)
Tiap perdarahan tri wulan ketiga
yang lebih dari show perdarahan inisial harus dikirim ke rumah sakit tanpa
melakukan suatu manipulasi apapun baik rektal apalagi vaginal.
2)
Apabila ada penilaian yang baik,
perdarahan sedikit janin masih hidup, belum inpartum.
3)
Sambil mengawasi periksa golonga
darah dan siapkan donor transfusi darah kehamilan diperhatikan setua mungkin
supaya janin terhindar dari prematur.
4)
Harus diingat bahwa djumpai ibu
hamil yang disangka dengan plasenta previa, kirim segera ke rumah sakut dimana
fasilitas operas dan tranfusi darah ada.
5)
Bila ada anemi berikan transfusi
darah dan obat-obatan.
g.
Terapi
Pengobatan placenta praevia dapat dibagi dalam 2
golongan :
1)
Terapi aktif
Kehamilan
segera diakhiri sebelum terhadi perdarahan yang membawa maut :
a)
Cara vaginal yang dimaksud untuk
mengadakan tekanan pada plasenta dan dengan demikian menutup pembuluh-pembuluh
darah yang terbuka (Tamponnade pada palsenta).
b)
Dengan sectio caesarea dengan maksud
mengosongkan rahim hingga rahim dapat mengadakan retraksi dan menghentikan
pendarahan.
2)
Pengobatan ekspektatif
Ialah kalau
janin masih kecil hingga kemungkinan hidup di luar baginya kecil sekali. Sikap
ekspektif atau hanya dapat dibenarkan kalau keadaan ibu baik dan pendarahan
sudah berhenti atau sedikit sekali.
Syarat bagi
terapi ekspektatif ialah bahwa keadsaan ibu masih baik (Hb-nya normal) dan
perdarahan tidak banyak selama terapi ekspektatip diusahakan menentukan
lokalisasi plasenta dengan soft tissue technic, dengan radio isotop atau dengan
ultrasound.
Tindakan apa
yang kita pilih untuk pengobatan plasenta previa dan kapan melaksanakannya
tergantung pada faktor-faktor :
a)
Perdarahan banyajk atau sedikit.
b)
Keadaan ibu dan anak.
c)
Besarnya pembukaan.
d)
Tingkat plasenta previa.
e)
Paritas.
Pada
pendarahan yang sedikit dan anak yang masih kecil dipertimbangkan terapi
ekspektif.Perlu dikemukakan cara manapun yang diikuti, persendian darah yang
cukup sangat menentukan cara-cara terdiri dari :
a)
Pemecahan ketuban
Dapat
dilakukan pada placenta letak rendah, plasenta previa marginalis dan plasenta
previa lateralis yang menutup ostium kurang dari setengah bagian. Pada plasenta
previa lateralis, plasenta terdapat disebelah belakang, maka lebih baik
dilakukan SC karena dengan pemecahan ketuban kepala kurang menekan. Pada
plasenta, karena kepala tertahan promotorium yang dalam hal ini dilapsisi lagi
oleh jaringan plasenta.
Pemecahan ketuban dapat menghentikan perdarahan karena
:
(1)
Setelah pemecahan ketuban icterus
mengadakan retraksi hingga kepala anak menekan pada plasenta.
(2)
Plasenta tidak bertahan lagi oleh
ketuban dan dapat mengikuti gerakan dinding rahim sehingga tidak terjadi
pergeseran antara plasenta dan diding rahim.
b)
Versi Broxton Hicks
Ialah tamponnade
plasenta dengan bokong. Versi Broxton hicks biasanya dilakukan pada anak yang
sudah mati. Mengingat bahanya, ialah robekan pada serviks dan pada segmen bawah
rahim. Perasat ini sudah tidak mempunyai tempat di rumah sakit tapi dalam
keadaan istimewa. Misalnya: kalau pasien berdarah banyak anak sudah meninggal
dan kita kesulitan mendapatkan kesulitan memperoleh darah dan kamar operasi
masih lama siapnya maka cara Broxton Hicks dapat dipertimbangkan. Syarat untuk
melakukan versi Bvrioxtoin Hicks ialah pembukaan harus dapat dilalui oleh 2
jari (supaya dapat menurun kaki).
c)
Dengan Cunam Willett
Maksudnya
tompannade plasenta dengan kepala. Kulit kepala anak dijepit dengan cunan
willett dan dibagi dengan timbangan 500 gr.
d)
Seksio Sesarea
Tujuan
melakukan sectio sesarea adalah untuk mempersingkat lamanya perdarahan dan
mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim.Robekan pada serviks
dan segmen bawah rahim mudah terjadi bila anak mengandung pemboluh darah.
Seksio
sesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan previa lainnya jika
perdarahan hebat. Tindakan seksio sesarea pada plasent previa. Selain dapat
mengurangi kematian bayi, terutama juga dilakukan untuk kepentungan ibu. Oleh
karenma, seksio sesarea juga dilakukan pada plasenta previa walaupun anak sudah
mati.
2.
Solutio
Plasenta
a.
Pengertian
Adalah
lepasnya plasenta sebelum waktunya, plasenta itu secara normal terlepas setelah
anak lahir, jadi plasenta terlepas sebelum waktunya apabila plasenta terlepas
sebelum anak lahir.
Pelepasan
plasenta sebelum munggu ke-22 disebut abortus dan jika terjadi pelepasan
plasenta pada plasenta yang rendah implantasinya. Bukan disebut solusi
plasenta, tetapi plasenta previa, jadi definisi lengkapnya adalah : solutio
plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh plasenta yang normal
implantasinya di atas 22 minggu dan sebelum lahirnya anak.Solusio plasenta
dapat diklarifikasikan menjadi 3 berdasarkan tingkat gejala klinik antara lain
:
1)
Solusio plasenta ringan
a)
Tanpa rasa sakit
b)
Pendarahan kurang 100 cc
c)
Plasenta lepas kurang dari 1/5
bagian
d)
Figrinogen di atas 250 mg%
2)
Solusio plasenta sedang
a)
Bagian janin masih teraba
b)
Perdarahan antara 500 – 1000 cc
c)
Plasenta lepas kurang dari 1/3
bagian
3)
Solusio plasenta berat
a)
Abdomen nyeri palpasi janin sukar
b)
Janin telah meninggal
c)
Plasenta lepas di atas 2/3 bagian
d)
Terjadi gangguan pembekuan
b.
Etiologi
Penyebab utama dari solusio
plasenta, masih belum diketahui dengan jelas meskipun demikian, beberapa hal
yang tersebut di bawah ini di duga merupakan faktor-faktor yang berpengaruh
pada kejadiannya antara lain :
1)
Hipertensi esensialis atau
preeklamsi.
2)
Tali pusat yang pendek.
3)
Trauma.
4)
Tekanan oleh rahim yang membesar
pada vena cava inferior.
5)
Uterus yang sangat mengecil
(hidramnion pada waktu ketuban pecah, kegamilan ganda pad awaktu anak pertama
lahir).
6)
Umur lanjut.
7)
Multiparitas.
8)
Ketuban pecah sebelum waktunya.
9)
Defisiensi asam folat.
10)
Merokok, alkohol, kokain.
11)
Mioma uteri
c.
Patofisiologi
Perdarahan
terjadi pada pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk hematom pada
disesna, sehingga plasenta terdesak akhirnya terlepas. Apabila perdarahan
sedikit, hematom yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan plasenta.
Peredaran darah antara uterus dan plasenta belum terganggu dan tanda serta
gejalanya pun tidak jelas. Kejadiannya baru diketahui setelah plasenta lahir
yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah lama yang warnanya kehitam-hitaman. Biasanya pendarahan akan
berlangsung terus menerus karena otot interus yang telah meregang oleh
kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi menghentikan pendarahannya.
Akibatnya, hematom retroplasenter akan bertambah besar sehingga sebagian dan
akhirnya seluruh plasenta terlepas dari dinding uterus.
d.
Tanda Dan
Gejala
1)
Perdarahan disertai rasa sakit.
2)
Jalan asfiksia ringan sampai
kematian intrauterin.
3)
Gejala kardiovaskuler ringan sampai
berat.
4)
Abdomen menjadi tengang.
5)
Perdarahan berwarna kehitaman.
6)
Sakit perut terus menerus.
e.
Komplikasi
1)
Langsung
a)
Perdarahan.
b)
Infeksi.
c)
Emboli dan obstetrik syok.
2)
Komplikasi tidak langsung
a)
Couvelaor uterus kontraksi tidak
baik, menyebabkan pendarahan post partum.
b)
Adanya hipofibrinogemi dengan
pendarahan post partum.
c)
Nekrosis korteks renalis,
menyebabkan anarca dan uremia.
d)
Kerusakan-kerusakan organ seperti
hati, hipofise dalan lain-lain.
f.
Macam-Macam
Perdarahan Pada Solutio Placenta
1)
Perdarahan tersembunyi / perdarahan
ke dalam
Adalah darah
tidak keluar, tetapi berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom
retroplasenta dan kadang-kadang darah masuk ke dalam ruang amnion.
2)
Perdarahan keluar.
3)
Perdarahan keluar dan tersembunyi.
g.
Penyulit
Solutio Plasenta
1)
Timbul
Dengan Segera
a)
Perdarahan dan syok
Diobati
dengan pengosongan rahim secepat mungkin hingga dengan kontraksi dan retraksi
rahim perdarahan dapat berhenti. Persalinan dapat dipercepat dengan pemecahan
ketuban dan pemberian infus dengan oksitosin. Jadi, pada solusio plasenta
pemecahan ketuban tidak dimaksudkan untuk mengehntikan perdarahan dengan segera
sepeti pada plasenta previa, tetapi untuk mempercepat persalinan. Dengan
melakukan pemecahan ketuban, regangan dinding rahim berkurang dan kontraksi
rahim menjadi lebih baik dan tindakan di atas, transfusi darah sangat penting
untuk dilakukan.
2)
Timbul
Agak Lambat
a)
Kelainan pembekuan darah karena
hipfibrinogemi
Koagulopati
ialah kelainan pembukuan darah, dalam ilmu kebidanan paling sering disebbabkan
oleh solusio plasenta tetapi juga dijumpai pada emboli air tuban, kematian
janin dalam rajim dan pendarahan pasca persalinan kadar febrinigen pada wanita
hamil biasanya antara 300-700 mg dalam 100 cc, dibawah 150 mg/100 cc disebut
hipfibriogenemi.Jika kadar febrinogen dalam darah turun di bawha 100 mg per 100
cc (critical point) terjadilah pembekuan darah.
b)
Golongan faal ginjal
Penderita solutio plasenta sering ada oliguri setelah
partus.
h.
Penatalaksanaan
Solusio Plasenta
1)
Terapi
Konservatif
Tunggu
sampai perdarahan berhenti dan partus berlangsung spontan. Perdarahan akan
berhenti sendiri jika tekanan intra uterin bertambah lama, bertambah tinggi
sehingga menekan pembuluh darah arteri yang robek. Sambil menunggu atau berikan
morphin suntikan subkutan, stimulasi dengan kardiotonika seperti caramine
cardizol pentosol, dan transfusi darah.
2)
Terapi
Aktif
Melakukan
tindakan dengan maksud anak segera dilahirkan dan perdarahan segera berhenti. Urut-urutan
tindakan pada solusio plasenta adalah :
a)
Amniotomi (pemecahan ketuban) dan
pemberian oksitosin dan diawasi serta dipimpin sampai partus spontan.
b)
Accouchement force : pelebaran dan
peegangan serviks diikuti dengan pemasangan cunan cillet gauss atau broxton hicks.
c)
Bila pembukaan lengkp atau hampir
lengkap, kepala sudah turun sampai hodge III – IV.
(1)
Janin hidup : dilakukan ekstraksi
vakum atau forceps.
(2)
Janin meninggal : dilakukan
embriotomi.
d)
Seksio cesarea biasanya dilakukan
pada keadaan :
(1)
Solusio plasenta dengan anak hidup,
pembukaan kecil.
(2)
Solusio plasenta dengan toksemia
berat, perdarahan agak banyak pembukaan masih kecil.
(3)
Solusio plasenta dengn panggul
sempit.
(4)
Solutio plasenta dengan letak
lintang.
e)
Histerektomi dapat dikerjakan pada
keadaan :
(1)
Bila terjadi afibrinogenemia kalau
persediaan darah atau fibrinogen tidak ada atau tidak cukup.
(2)
Couve lair uterus dengan kontrksi
uterus yang lebih baik.
f)
Ligasi arteri hipgastrika bila
pendarahan tidak terkontrol tetapi funsi reproduksi ingin diperhatikan.
g)
Pada hipofibrinogenemia berikan dari
vaskular clotting dan shock, dikatakan makin lama solutio plasenta berlangsung
makin besar. Kemungkinan olguri dan hipofibrinogenaemi maka selain dari
transfusi darah penyelesaian persalinan secepat mungkin adalah sangat penting.
2.2
Perdarahan
Post Partum
2.2.1
Pengertian
Pendarahan
pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml atau lebih
sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%)
kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan dapat
disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri,
laserasi jalan lahir dan gangguan pembekuan darah.
Perdarahan
post partum didefinisikan sebagai perdarahan yang melebihi 500 ml dalam 24 jam
pertama setelah anak lahir, atau setara dengan pengeluaran darah 1000 ml pada
seksio sesarea.
2.2.2
Klasifikasi
Perdarahan Post Partum
1.
Perdarahan Pasca Persalinan Dini
(Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau
Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi
dalam 24 jam pertama.
2.
Perdarahan masa nifas (PPH kasep
atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat,
atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam
pertama.
2.2.3
Etiologi
Penyebab
utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio
plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak
dalam 2 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan
oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.
1.
Atonia uteri
a.
Definisi :
Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
b.
Faktor predisposisi terjadinya
atoni uteri adalah :
1)
Regangan rahim yang berlebihan
karena gemeli, polihidroamnion, atau anak terlalu besar.
2)
Kelelahan karena persalinan lama
atau persalinan lama atau persalinan kasep.
3)
bu dengan keadaan umum yang jelek,
anemis, atau menderita penyakit menahun.
4)
Mioma uteri yang mengganggu
kontraksi rahim.
5)
Infeksi intrauterin
(korioamnionitis).
6)
Ada riwayat pernah atonia uteri
sebelumnya.
7)
Umur yang terlalu muda / tua.
8)
Prioritas sering di jumpai pada
multipara dan grande mutipara
9)
Faktor sosial ekonomi yaitu
malnutrisi.
c.
Gejala Klinik
1)
Perdarahan pervaginam masif.
2)
Konstraksi uterus lemah.
3)
Anemia.
4)
Konsistensi rahim lunak.
d.
Diagnosis
1)
Bila setelah bayi dan plasenta
lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal.
2)
Pada palpasi didapatkan fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih.
3)
Konstraksi yang lembek.
4)
Perlu diperhatikan pada saat
atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak
500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap
dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah
pengganti.
e.
Penanganan
Banyaknya
darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih
dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. 13
Pada umunya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut :
Pada umunya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut :
1)
Sikap Trendelenburg, memasang
venous line, dan memberikan oksigen.
2)
Sekaligus merangsang konstraksi
uterus dengan cara :
a)
Masase fundus uteri dan merangsang
puting susu.
b)
Pemberian oksitosin dan turunan
ergot melalui IM, IV atau SC.
c)
Memberikan derivat prostaglandin.
d)
Pemberian misoprostol 800-1000 ug
per rektal.
e)
Kompresi bimanual eksternal
dan/atau internal.
f)
Kompresi aorta abdominalis.
3)
Bila semua tindakan itu gagal,
maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan
bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi.
2.
Robekan Jalan Lahir
a.
Definisi
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
b.
Gejala Klinik
1)
Darah segar yang mengalir segera
setelah bayi lahir.
2)
Uterus kontraksi dan keras.
3)
Plasenta lengkap.
4)
Pucat dan Lemah.
c.
Klasifikasi
1)
Robekan Perineum.
Dibagi atas 4 tingkat, yaitu :
Ø Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum.
Ø Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei
transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani.
Ø Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani.
Ø Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum.
Kolporeksis
adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di vagina bagian atas, sehingga
sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini
memanjang atau melingkar.
Robekan
serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus partus
presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih lagi persalinan
operatif pervaginam harus dilakukan pemeriksaan dengan spekulum keadaan jalan
lahir termasuk serviks.
Pengelolaan
Episiotomi, robekan perineum, dan robekan vulva. Ketiga jenis perlukaan
tersebut harus dijahit.
Ø Robekan perineum tingkat I
Penjahitan
robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai catgut yang
dijahitkan secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan (figure of
eight).
Ø Robekan perineum tingkat II
Sebelum
dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I atau tingkat II, jika
dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang
bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah
kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu, kemudian
digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka
robekan.
Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau delujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau delujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur.
Ø Robekan perineum tingkat III
Pada
robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit, kemudian
fasia perirektal dan fasial septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik,
sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat
robekan dijepit dengan klem / pean lurus, kemudian dijahit dengan 2 – 3 jahitan
catgut kromik sehingga bertemu lagi. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi
lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.
Ø Robekan perineum tingkat IV
Pada
robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk melakukan perbaikan
cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat
menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya, maka dianjurkan apabila
memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana tindakan perbaikan di rumah
sakit kabupaten/kota.
2)
HematomaVulva.
a)
Penanganan hematoma tergantung
pada lokasi dan besar hematoma. Pada hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan
operatif, cukup dilakukan kompres.
b)
Pada hematoma yang besar
lebih-lebih disertai dengan anemia dan presyok, perlu segera dilakukan
pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian hematoma
yang paling terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan sampai kantong hematoma
kosong. Dicari sumber perdarahan, perdarahan dihentikan dengan mengikat atau
menjahit sumber perdarahan tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam
perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat
dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar.
3)
Robekan dinding vagina.
a)
Robekan dinding vagina harus
dijahit.
b)
Kasus kolporeksis dan fistula
visikovaginal harus dirujuk ke rumah sakit.
4)
Robekan serviks.
Robekan
serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan bibir belakang
serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian serviks ditarik sedikit untuk
menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan
catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan.
3.
Retensio plasenta
a.
Definisi
Plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.
Plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.
b.
Faktor predisposisi
1)
Plasenta previa.
2)
Bekas SC.
3)
Kuret berulang.
4)
Multiparitas.
c.
Penyebab
1) Fungsional
1) Fungsional
a)
HIS kurang kuat.
b)
Plasenta sukar terlepas karena :
Tempatnya
: insersi di sudut tuba
Bentuknya
: placenta membranacea, placenta anularis.
Ukurannya
: placenta yang sangat kecil.
Plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut di atas disebut plasenta adhesiva.
2)
Patologi- Anatomis
a)
Placenta akreta : vilous plasenta
melekat ke miometrium.
b)
Placenta increta : vilous
menginvaginasi miometrium.
c)
Placenta percreta : vilous
menembus miometrium sampai serosa.
4.
Gangguan pembekuan darah
Penyebab
pendarahan pasca persalinan karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah
terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes
atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga
hidung, dan lain-lain.
Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation
product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT (partial thromboplastin
time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau EACA (epsilon amino caproic acid).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau EACA (epsilon amino caproic acid).
Klasifikasi
kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan
antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan
jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua
kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya
adalah perdarahan pasca persalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat
dilakukan sebagai berikut:
1)
Persiapan sebelum hamil untuk
memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dan
lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam
keadaan optimal.
2)
Mengenal factor predisposisi
perdarahan pasca persalinan seperti mutiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio, ada riwayat perdarahan pasca persalinan sebelumnya
dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan.
3)
Persalinan harus selesai dalam
waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4)
Kehamilan resiko tinggi agar
melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5)
Kehamilan resiko rendah agar
melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan dukun.
6)
Menguasai langkah-langkah
pertolongan pertama menghadapi perdarahan pasca persalinan dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya.
5.
Sisa Plasenta
Sisa
plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan
perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi
dalam 6 – 10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat
sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta
lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya
sama dengan subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung
terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang
menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir.
Apabila
kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa
plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan
eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.
Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi
rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga
rahim.
Pengelolaannya
antara lain sebagai berikut :
1)
Pada umumnya pengeluaran sisa
plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila
memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual.Kuretase harus
dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis
dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
2)
Setelah selesai tindakan
pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika
melalui suntikan atau per oral.
3)
Antibiotika dalam dosis pencegahan
sebaiknya diberikan.
2.2.4
Gejala
Klinis
Gejala
klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir.
Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita
pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin,
dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum
ia tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama.
2.2.5
Diagnosis
Perdarahan
yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir biasanya
disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir,
biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan
palpasi.
1.
Perdarahan banyak yang terus-menerus
setelah bayi lahir.
2.
Perdarahan melebihi 20% volume
total, timbul gejala penuruann tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat,
ekstremitas dingin, sampai terjadi syok.
3.
Perdarahan sebelum plasenta lahir
biasanya disebabkan retensio plasenta atau laseralisasi jalan lahir. Bila
karena retensio plasenta, perdarahan berhenti setelah plasenta lahir.
4.
Pada perdarahan setelah plasenta
lahir, perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma
jalan lahir. Pada pemeriksaan obstetri, mungkin kontraksi uterus lembek dan
membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, eksplorasi untuk
mengetahui adanya sisa plasenta atau trauma jalan lahir.
5.
Riwayat partus lama, partus
presipitatus, perdarahan antepartum, atau etiologi lainnya.
2.2.6
Komplikasi
Syok, KID, sindrom Sheehan (nekrosis
hipofisis pars anterior).
2.2.7
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Darah : kadar hemoglobin,
hematokrit, masa perdarahan, massa pembekuan.
2.
USG : bila perlu untuk menentukan
adanya sisa jaringan konsepsi intrauterin.
2.2.8
Penatalaksanaan
1.
Pencegahan
Obati anemia dalam kehamilan. Pada
pasien dengan riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya, persalinan harus berlangsung
dirumah sakit. Jangan memijat dan mendorong uterus kebawah sebelum plasenta
lepas. Berikan 10 unit oksitosin IM setelah anak lahirdan 0,2 ergometrin IM
setelah plasenta lahir.
2.
Penanganan
Tentukan apakah terdapat syok, bila
ada segera berikan transfusi cairan atau darah, kontrol perdarahan dan berikan
oksigen. Bila keadaan umum membaik, lakukan pemeriksaan untuk menentukan
etiologi.
a.
Pada retensio plasenta, bila
plasenta belum lahir dalam 30 menit, lahirkan plasenta dengan plasenta manual.
Bila terdapat plasenta akreta, segera hentikan plasenta manual dan lakukan
histerektomi. Bila hanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran plasenta dengan
digital/kuraetase, sementara infus oksitosin diteruskan.
b.
Pada trauma jalan lahir segera
lakukan reparasi.
c.
Pada atonia uteri, lakukan masase
uterus untuk penyuntikan 0,2 mg ergometrin intravena atau prostalgalndin
parenteral. Jika tidak berhasil, lakukan kompresi bimanual pada uterus dengan
cara memasukan tangan kiri kedalam vagina dan dalam posisi mengepal diletakkan
di forniks anterior, tangan kanan diletakkan didinding perut memegang fundus
uteri. Bila tetap gagal dapat langsung dipasang tampon uterovaginal, dengan
cara mengisi kavum uteri dengan kasa sampai padat selama 24 jam atau dipasang
kateter Folley. Bila tindakan tersebut tidak dapat menghentikan perdarahan
juga, terapi definitif yang diberikan adalah histerektomi atau ligasi a.
Uterina.
d.
Bila disebabkan gangguan pembekuan
darah, berikan transfusi plasma segera.
e.
Pada perdarahan pasca persalinan
sekunder lakukan :
b)
Kompresi bimanual sedikitnya selama
30 menit.
c)
Antibiotok spektrum luas.
d)
Oksitosin 10 U intramuskular tiap 4
jam atau 10-20 U/I intravena dengan tetesan lambat, 15-metil PGF 0,25 mg
intramuskular tiap 2 jam atau ergot alkaloid tiap 6 jam sedikitnya selama 2
hari.
2.3
Tali Pusat
Terputus (Infulsi)
2.3.1
Pengertian
Infulsi
tali pusat adalah putusnya tali pusat yang disebabkan karena kesalahan dalam
pelaksanaan tindakan, janin kurang gizi, dan etiologi lainnya.
Infulsi
tali pusat adalah putusnya tali pusat yang letaknya normal pasca persalinan
yang disebabkan karena tindakan medis atau faktor nutrisi pada bayi dan ibu
hamil. (Prof. Dr. Hanifa Wikryosastro. Ilmu Kebidanan Jakarta. PT Gramedia.
1992 ).
2.3.2
Etiologi
1. Hipertensi
dalam kehamilan (penyakit hipertensi menahun, preeklamsia, eklamsia).
2. Multiparitas,
umur ibu yang tua.
3. Tali
pusat pendek.
4. Uterus
yang tiba-tiba mengecil atau terlalu cepat.
5. Defisiensi
gizi, defisiensi asam folat.
6. Umur
lanjut.
7. Merokok.
8. Konsumsi
alkohol.
2.3.3
Patofisiologi
Ruptur pada pembuluh arteri
akibat kurangnya asupan nutrisi pada kandungan menyebabkan rapuhnya susunan
pembentuk tali pusat dan kontraksi dinding uterus. Selain itu tekanan darah
yang tinggi juga mempengaruhi kontraksi uterus, sehingga kesalahan dalam
penarikan tali pusat menyebabkan putusnya tali pusat.
2.3.4
Komplikasi
1.
Perdarahan yang dapat menyebabkan
syok.
2.
Anemia karena perdarahan.
2.3.5
Penatalaksanaan
Tentukan apakah terdapat syok, bila ada segera berikan
transfusi cairan atau darah, kontrol perdarahan dan berikan oksigen. Bila
keadaan umum membaik, lakukan pemeriksaan untuk menentukan etiologi.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perdarahan
dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu maupun janin,
terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika komponennya
tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan perawatan
sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera, merupakan kebutuhan
mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak.
3.2
Saran
Upaya untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kesehatan ibu hamil melalui penyuluhan mengenai pola makan
dan gizi ibu hamil merupakan langkah yang tepat dilakukan untuk mencegah
kekurangan nutrisi pada ibu hamil. Upaya ini perlu dikembangkan dan
ditingkatkan, untuk itu perlu dukungan oleh pihak-pihak yang peduli terhadap kesehatan
ibu hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar