Kamis, 13 September 2012

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN DIABETES MELITUS




A.      Definisi
Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya  insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Mellitus adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya. (Gustaviani, 2006 : 1857 – 1859 )
Diabetes Mellitus adalah penyakit kronia metabolisme abnormal yang memerlukan pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan dan obat – obatan. (Carpenito, 1999 : 143 – 159 )
Diabetes mellitus adalah gangguan metebolik kronis yang tidak dapat smbuh tetapi dapat di control yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia karna difisiensi insulin atau ketidak adekuatan penggunaan insulin.( Engram, 1998: 532 – 540 )
Diabetes Mellitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat dan lemak yang diakibatjan oleh kekurangan insulin atau secara relative kekurngan insulin.( Tucker, 1998: 400 – 411 )
Diabetes Mellitus adalah masalah – masalah yang mengancam hidup (kasus darurat) yang disebabkan oleh difisiensi relative atau absolute.(Doengoes, 2000: 726 – 784)

B.       Etiologi
1.      Diabetes tipe I :
·           Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
·           Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
·           Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2.      Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko :
·         Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
·         Obesitas
·         Riwayat keluarga


C.       Klasifikasi
Diabetes meliltus dapat di klasifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu :
1)      DM type I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( IDDM ).
Sering dikenal dengan diabetes juvenile karena berkembang pada usia kurang dari 30 tahun. Dimana terjadi destruksi sel beta. Umumya menjurus ke defisiensi insulin absolute sehingga penderita insulin absolute harus selalu tergantung pada terapi insulin.
2)      DM type II : Non Insulin Dependent Diabetes (NIDDM )
Tejadi pad usia 40 tahun atau lebih, khususnya pda individu dengan obesitas,bervariai mulai dari yang predominan resisten insulin disertai defesiensi insulin relative sapai ang predominan.
3)      Diabetes Melitis tipe lain.
a.       Defek genetic funsi sel beta
b.      Defek genetic kerja insulin
c.       Penyakit endokrin pankreas
d.      Endokrinopati
e.       Karena obat/ zat kimia
f.       Infeksi
g.      Imunologi
h.      Sindroma genetic lain.
4)      Diabetes Kehamilan. (Mansjoer,1999 : 581 – 582)

D.      Pathofisiologi
Pada diabetes mellitus terjadi defesiensi insulin yang disebabkan karena hancurnya sel – sel beta pankreas karena proses outoimun. Disamping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak bisa disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah yang menimbulkan hiperglikemi. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tiak dapat mengabsobsi semua sisa glukosa yang akhirnya dikeluarkan bersama urine (glukosaria). Ketika glukosa yang berlebih di eksresikan kedalam urine, ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebih, keadaan ini disebut diuresis osmotik.
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan simpanan kalori yang menimbulkan kelelahan, kegagalan pemecahan lemak dan protein meningkatkan pembentukan badan keton, merupakan produksi, disamping pemecahan lemak oleh badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbagan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetic menimbulkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas bau aseton. Bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma, bagkan kematian.
Pada DM tipe II masalah yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Jika sel – sel beta tidak mampu mengimbangi permintaan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipeII. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin merupakan cirri khas akibat DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetika tadak terjadi pada DM tipe II, paling sering terjadi pada usia > 30 tahun.
Komplikasi vaskuler jangka panjang dari diabetes antara lain: pembuluh – pembuluh kecil (mikroagiopati), pembuluh – pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetic yang menyerang kapiler, arterial retina, glomerulus ginjal, syaraf – syaraf perifer, otot – otot kulit. Makroangiopati mempunyai gambaran berupa arterosklerosis. Pada akhirnyan akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Kalau ini mengenai arteri – arteri perifer maka dapat mengakibatkan insufusuensi vaskuler perifer yang di sertai ganggren pada ekstrimitas.


E.       Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1.      Katarak
2.      Glaukoma
3.      Retinopati
4.      Gatal seluruh badan
5.      Pruritus Vulvae
6.      Infeksi bakteri kulit
7.      Infeksi jamur di kulit
8.      Dermatopati
9.      Neuropati perifer
10.  Neuropati viseral
11.  Amiotropi
12.  Ulkus Neurotropik
13.  Penyakit ginjal
14.  Penyakit pembuluh darah perifer
15.  Penyakit koroner
16.  Penyakit pembuluh darah otak
17.  Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi.
Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia.
Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.

F.       Komplikasi
Komplikasi yang biasa muncul pada diabetes mellitus adalah:
1.      Diabetes ketoasidosis
2.      Koma hiperosmolar, hiperglikemia, nonketotik.
3.      Hipoglikemia
4.      Infeksi
5.      Penyakit Vaskuler
6.      Neuropati
7.      Retinopati
8.      Nefrospati
Carpenito, 1999:143)
Komplikasi pada DIABETES MELITUS antara lain:
1.      Akut
·         Koma hipoglikemi
·         Ketoasidosis
·         Koma hiperosmolar nonketotik.
2.       Kronik
·         Makroangiopati
·         Mikroangiopati
·         Neuropati diabetic
·         Rentan infeksi seperti: tuberkolusis paru, gingivitis, infeksi saluran kemih.
·         Kaki diabetic
Mansjoer, 1999: 582 – 583)

G.      Penatalaksanaan Medis
Kerangka utama penatalaksanan DM yaitu
1.      Perencanan makan
·         Kabohidrat = 60 – 70 %
·         Protein = 10 – 15 %
·         Lemak = 20 – 25 %
·         Kolesterol = < 300 mg/dl - Serat = 25 gr/hari diutamakan jenis serat larut - Konsumsi garanm dibatasi bila terdapat hipertensi
2.      Latihan jasmani dianjurkan secara teratur 3 – 4 kali permiggu selama ± 0,5 jam. Latihan yang dianjurkan jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, mendayang.
3.      Obat berkhasiat hipoglikemik Obat hipoglikemik oral (OHO) antara lain sulfoniurea, biguanid, inhibitor, glukosidae, insulin sensizing agen. ( Mansjoer, 1999: 583 -584) J.

H.      Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum   : Lemah,
kooperatif
Kesadaran            : Compos
mentis
Vital sign              : TD
: 100/60 mmHg
                         : 88 x / menit
Rr                         : 36 x / menit
S                           : 38,3 ºC
Tinggi Badan       :  155 cm
Berat Badan         :  52 kg
Status Gizi           :  Cukup

1.      Pemeriksaan Kepala
·         Bentuk
Kepala
      :  Mesocephal, simetris
·         Rambut    : Warna hitam, tidak mudah dicabut dan rontok
·         Nyeri
Tekan       : Tidak ada
·         Venektasi
temporal
   : (-)
2.      Pemeriksaan Mata
·         Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-), xantelasma (+/+)
·         Konjungtiva : Anemis (+/+)
·         Sklera : Ikterik (-/-)
·         Pupil : Refleks cahaya (+/+), isokor, diameter 3/3 mm
3.      Pemeriksaan Telinga
·         Otorea (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
4.      Pemeriksaan Hidung
·         Nafas
cuping hidung (-/-), deviasi se
ptum nasi (-), deformitas (-)
5.      Pemeriksaan Mulut dan Faring
·         Bibir
sianosis (-), bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (+), lidah
tremor (-), tepi lidah hiperemis (-), tonsil : T2-T2, hiperemis (-/-).
6.      Pemeriksaan Leher
·         Trakea : Deviasi (-)
·         Kel.Lymphoid      : Tidak teraba, nyeri tekan (-)
·         Kel.Tyroid            : Tidak teraba pembesaran
·         JVP                      : 5+2 cmH2O
7.        Pemeriksaan Dada
·         Paru
-          Inspeksi           : Dada simetris, ketinggalan gerak (-/-), retraksi (-), pulsasi epigasrium (-), pulsasi parasternal (-)
-          Palpasi             : Taktil fremitus kanan = kiri
-          Vokal
fremitus kanan = kiri
-          Ketinggalan
gerak (-/-)
-          Perkusi             : Sonor pada seluruh lapang paru
-          Auskultasi       : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
·         Jantung
-          Inspeksi           : Iktus cordis  tampak  SIC V LMCS
-          Palpasi             : Iktus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat(-)
-          Perkusi             : Batas jantung
Kanan atas       :  SIC II RSB
Kiri atas           : SIC II LSB
Kanan bawah : SIC IV RSB
Kiri bawah       : SIC V LMC
-          Auskultasi : S1 > S2, regular, bising (-), murmur (-), gallop (-)
8.        Pemeriksaan Abdomen
·         Inspeksi    : cembung, venektasi (-), darm contour (-)
·         Palpasi      : Nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari BACD konsistensi kenyal, tepi tumpul, permukaan rata, lien tidak teraba
·         Perkusi     : Tympani (-), undulasi (+), pekak alih (+), pekak sisi (+)
9.        Pemeriksaan ekstremitas
·         Superior    : Deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis (-), edema  (-)
·         Inferior     : Deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-/-)

I.         Pemeriksaan Diagnostik
1.      Adanya kadar glukosa darah yang tinggi secara abnormal. Kadar gula darah pada waktu puasa > 140 mg/dl. Kadar gula sewaktu >200 mg/dl.
2.      Tes toleransi glukosa. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam pp >200 mg/dl.
3.      Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah vena, serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi
4.      Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-180% maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam urin: + nilai ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang populer: carik celup memakai GOD.
5.      Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-hidroksibutirat tidak terdeteksi
6.      Pemeriksan lain: fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol, HDL, LDL, Trigleserid), Ffungsi hati, antibodi anti sel insula langerhans ( islet cellantibody)





J.        WOC  HIPER PARA TIROID


http://ilmukeperawatan.com/image/path_dm.gif










LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN
CUSHING SINDROM

A.      Definisi Cushing Sindrom
Harvey cushing pada tahun 1932 menggambarkan suatu keadaan yang disebabkan oleh adenoma sel-sel basofil hipofisis. Keadaan ini disebut “penyakit cushing”.
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, hal. 1088)
Syndrome cushing gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik (latrogen). (Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Syndrome cushing disebabkan oleh sekret berlebihan steroid adrenokortial terutama kortisol. (IDI). Edisi III Jilid I, hal 826).
Syndrome cuhsing akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15 Hal 1979).

B.       Etiologi
Sindroma cushing dapat disebabkan oleh :
1.  Meningginya kadar ACTH ( tidak selalu karena adenoma sel basofil hipofisis).
2.  Meningginya kadar ATCH karena adanya tumor di luar hipofisis, misalnya tumor paru, pankreas yang mengeluarkan “ACTH like substance”.
3.  Neoplasma adrenal yaitu adenoma dan karsinoma.
4.  Iatrogenik.
Pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik. Dijumpai pada penderita artitis rheumatoid, asma, limpoma dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen antiinflamasi.
C.      Patofisiologi
Cushing sindrom dapat di sebabkan oleh beberapa mekanisme mencakup tumor kelenjar hipofisis yang menghasilkan ACTH dan menstimulasikan korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi hormonnya meskipun hormone tersebut telah diproduksi dengan jumlah adekuat. Hyperplasia kelenjar adrenal dalam keadaan tanpa adanya tumor hipofisis jarng terjadi.
Pemberian ACTH dapat pula menimbulkan syndrome chusing. Penyebab lain syndrome chusing yang jarang di  temukan adalah produksi ektopik ACTH oleh malignitas,karsinoma bronkogenik merupakan tipe malignitas yang paling sering di temukan . tanpa tergantung dari penyebabnya ,mekanisme umpan balik normal untuk mengendalikan fungsi korteks drenal menjadi tidak efektif dan pola sekresi diurnal kortisol yang normal akan menghilang . Tanda dan gejala sindrom Cushing terutama terjadi sebagai akibat sebagai sekresi glokokortikoid dan androgen ( hormone seks) yang berlebihan, meskipun sekresi mineralokortikoid juga dapat terpengaruh.

D.      Tanda dan Gejala
Dapat digolongkan menurut faal hormon korteks adrenal yaitu : cortisol, 17 ketosteroid, aldosteron dan estrogen.
1.  Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
    1. Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
    2. Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
    3. Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.
    4. Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
    5. Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
    6. Diabetes melitus.
    7. Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia.
2.  Gejala hipersekresi 17 ketosteroid :
    1. Hirsutisme ( wanita menyerupai laki-laki ).
    2. Suara dalam.
    3. Timbul akne.
    4. Amenore atau impotensi.
    5. Pembesaran klitoris.
    6. Otot-otot bertambah (maskulinisasi)
3.  Gejala hipersekresi aldosteron.
    1. Hipertensi.
    2. Hipokalemia.
    3. Hipernatremia.
    4. Diabetes insipidus nefrogenik.
    5. Edema (jarang)
    6. Volume plasma bertambah
Bila gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit Conn atau hiperaldosteronisme primer.
4.  Gejala hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling karakteristik adalah gejala hipersekresi kortisol, kadang-kadang bercampur gejala-gejala lain. Umumnya mulainya penyakit ini tidak jelas diketahui, gejala pertama ialah penambahan berat badan. Sering disertai gejala psikis sampai psikosis. Penyakit ini hilang timbul, kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul ulkus peptikum dan mungkin fraktur vertebra. Kematian disebabkan oleh kelemahan umum, penyakit serebrovaskuler (CVD) dan jarang-jarang oleh koma diabetikum.
E.       Klasifikasi
Sindrom cushing dapat dibagi dalam 2 jenis:
1.    Tergantung ACTH
Hiperfungsi korteks adrenal mungkin dapat disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofise yang abnormal berlebihan. Tipe ini mula-mula dijelaskan oleh oleh Hervey Cushing pada tahun 1932, maka keadaan ini disebut juga sebagai penyakit cushing.
2.    Tak tergantung ACTH
Adanya adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH, selain itu terdapat bukti-bukti histologi hiperplasia hipofisis kortikotrop, masih tidak jelas apakah kikroadenoma maupum hiperplasia timbal balik akibat gangguan pelepasan CRH (Cortikotropin Realising hormone) oleh neurohipotalamus. (Sylvia A. Price; Patofisiologi. hal 1091).
F.       Komplikasi
·         Krisis Addisonia
·         Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
·         Patah tulang akibat osteoporosis
G.      Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
1.      Jika dijumpai tumor hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor tranfenoida.
2.      Jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis.
3.      Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik.
4.      Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/ terapi pembedahan.
5.      Digunakan obat dengan jenis metyropone, amino gluthemide o, p-ooo yang bisa mensekresikan kortisol (Silvia A. Price ; Patofisiologi Edisi 4 hal 1093 )
H.      Pemeriksaan Fisik
a)         Sistem Pernapasan
Inspeksi                     : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat, tidak terlihat retraksi intercouste hidung, pergerakan dada simetris
Palpasi                       : Vocal premilis teraba rate, tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi                      : Suara sonor
Auskultasi                 : Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas tambahan ronchi wheezing
b)        Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi                     : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi                       : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 mid klavikula
Perkusi                      : Pekak
Auskultasi     : S1 S2 Terdengar tunggal
c)         Sistem Pencernaan
Mulut                        : Mukosa bibir kering
Tenggorokan : Tidak dapat pembesaran kelenjar tiroid
Limfe                        : Tidak ada pembesaran vena jugularis
Abdoment                 :
I : Simetris tidak ada benjolan
P : Tidak terdapat nyeri tekan
P : Suara redup
A : Tidak terdapat bising usus
d)        Sistem Eliminasi
Tidak ada gangguan eliminasi
e)         Sistem Persyarafan
Composmentis
f)         Sistem Integument / ekstrimitas
Kulit:Adanya perubahan-perubahan warna kulit, berminyak, jerawat
g)        Sistem Muskulus keletal
 Tulang: Terjadi osteoporosis
 Otot : Terjadi kelemahan
h)        Masalah Keperawatan
·         Angiotensi 1 diubah menjadi angiotensi 2 yang menyebabkan faso kontriksi berlebih
·         Peningkatan glukotiroid yang mengakibatkan penurunan limfosid
·         Peningkatan sekresi aldosteron yang mengarah pada retensi garam dan air
·         Peningkatan kerusakan jaringan yang di sebabkan oleh desakan tumor
·         Peningkatan glukotiroid yang berlebih yang terdiri dari bagian-bagian mayor yang di berikan oleh glukotiroid

I.         Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pada pemeriksaan laboratorium sederhana, didapati limfositofeni, jumlah netrofil antara 10.000 – 25.000/mm3. eosinofil 50/ mm3 hiperglekemi (Dm terjadi pada 10 % kasus) dan hipokalemia.
2.      Pemeriksaan laboratorik diagnostik.
Pemeriksaan kadar kortisol dan “overnight dexamethasone suppression test” yaitu memberikan 1 mg dexametason pada jam 11 malam, esok harinya diperiksa lagi kadar kortisol plasma. Pada keadaan normal kadar ini menurun. Pemerikaan 17 hidroksi kortikosteroid dalam urin 24 jam (hasil metabolisme kortisol), 17 ketosteroid dalam urin 24 jam.
3.      Tes-tes khusus untuk membedakan hiperplasi-adenoma atau karsinoma :
a.       Urinary deksametasone suppression test. Ukur kadar 17 hidroxi kostikosteroid dalam urin 24 jam, kemudian diberikan dexametasone 4 X 0,5 mg selama 2 hari, periksa lagi kadar 17 hidroxi kortikosteroid bila tidak ada atau hanya sedikit menurun, mungkin ada kelainan. Berikan dexametasone 4 x 2 mg selama 2 hari, bila kadar 17 hidroxi kortikosteroid menurun berarti ada supresi-kelainan adrenal itu berupa hiperplasi, bila tidak ada supresi kemungkinan adenoma atau karsinoma.
b.      Short oral metyrapone test. Metirapone menghambat pembentukan kortisol sampai pada 17 hidroxikortikosteroid. Pada hiperplasi, kadar 17 hidroxi kortikosteroid akan naik sampai 2 kali, pada adenoma dan karsinoma tidak terjadi kenaikan kadar 17 hidroxikortikosteroid dalam urine.
c.       Pengukuran kadar ACTH plasma.
d.      Test stimulasi ACTH, pada adenoma didapati kenaikan kadar sampai 2 – 3 kali, pada kasinoma tidak ada kenaikan.











J.        Web of Causation Cushing Syndrome
 






DAFTAR PUSTAKA

Ben gray. 2010. http://askep-askeb-kita.blogspot.com/. diakses pada tanggal 2 maret 2010 pukul 13.15 WIB
Budiyanto, Carko . 2009 . Cushing Syndrom. http://medicastore.com/penyakit_kategori/1/index.html. diakses pada tanggal 9 maret 2010 pukul 16. 30 WIB 
De belto, Dasto. 2010. Askep Cushing Sindrom. http ://dastodebelto.blogspot.com/2010/02/judul-skripsi.html . diakses pada tanggal 4 maret 2010 pukul 20.30 WIB
Ganong, William F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 17th . Jakarta: EGC.
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th . Jakarta: EGC.
Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th . New Jersey: Prentice Hall, inc.
Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Phatoelisme. 2010. Askep Sindrom Cushing. http://baioe.wordpress.com/about. html. diakses pada tanggal 4 maret pukul 20.30 WIB
Sylvia A. Price. 1994.  Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit . Jakarta : EGC
Susanne C. Smeltzer. 1999 . Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddart. Jakarta: EGC
Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Rumahorbor, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin.Jakarta:EGC.
Smeltzer, Suzzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed.8.Jakarta: EGC.
Kozier, et al.1993. Fundamental of nursing. California: Addison-Wesley Publishing Company.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar