A.
Definisi
Diabetes
Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan
tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin
efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat
yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar,
2000).
Diabetes Mellitus adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes mellitus merupakan
sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam
darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes
Mellitus adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
(Gustaviani, 2006 : 1857 – 1859 )
Diabetes
Mellitus adalah penyakit kronia metabolisme abnormal yang memerlukan pengobatan
seumur hidup dengan diet, latihan dan obat – obatan. (Carpenito, 1999 : 143 –
159 )
Diabetes
mellitus adalah gangguan metebolik kronis yang tidak dapat smbuh tetapi dapat
di control yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia karna difisiensi
insulin atau ketidak adekuatan penggunaan insulin.( Engram, 1998: 532 – 540 )
Diabetes
Mellitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat
dan lemak yang diakibatjan oleh kekurangan insulin atau secara relative
kekurngan insulin.( Tucker, 1998: 400 – 411 )
Diabetes
Mellitus adalah masalah – masalah yang mengancam hidup (kasus darurat) yang
disebabkan oleh difisiensi relative atau absolute.(Doengoes, 2000: 726 – 784)
B.
Etiologi
1.
Diabetes tipe I :
·
Faktor genetik
Penderita
diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA.
·
Faktor-faktor imunologi
Adanya
respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap
sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
·
Faktor lingkungan
Virus
atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi
selbeta.
2.
Diabetes Tipe II
Mekanisme
yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan
dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko :
·
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia
di atas 65 th)
·
Obesitas
·
Riwayat keluarga
C.
Klasifikasi
Diabetes meliltus dapat di klasifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu :
Diabetes meliltus dapat di klasifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu :
1) DM type I : Insulin
Dependent Diabetes Mellitus ( IDDM ).
Sering dikenal dengan diabetes juvenile karena berkembang pada usia kurang dari 30 tahun. Dimana terjadi destruksi sel beta. Umumya menjurus ke defisiensi insulin absolute sehingga penderita insulin absolute harus selalu tergantung pada terapi insulin.
Sering dikenal dengan diabetes juvenile karena berkembang pada usia kurang dari 30 tahun. Dimana terjadi destruksi sel beta. Umumya menjurus ke defisiensi insulin absolute sehingga penderita insulin absolute harus selalu tergantung pada terapi insulin.
2) DM type II : Non
Insulin Dependent Diabetes (NIDDM )
Tejadi pad usia 40 tahun atau lebih, khususnya pda individu dengan obesitas,bervariai mulai dari yang predominan resisten insulin disertai defesiensi insulin relative sapai ang predominan.
Tejadi pad usia 40 tahun atau lebih, khususnya pda individu dengan obesitas,bervariai mulai dari yang predominan resisten insulin disertai defesiensi insulin relative sapai ang predominan.
3) Diabetes Melitis tipe lain.
a. Defek genetic funsi sel beta
b. Defek genetic kerja insulin
c. Penyakit endokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat/ zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
h. Sindroma genetic lain.
4) Diabetes Kehamilan. (Mansjoer,1999 :
581 – 582)
D.
Pathofisiologi
Pada
diabetes mellitus terjadi defesiensi insulin yang disebabkan karena hancurnya
sel – sel beta pankreas karena proses outoimun. Disamping itu glukosa yang berasal
dari makanan tidak bisa disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah
yang menimbulkan hiperglikemi. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tiak dapat mengabsobsi semua sisa glukosa yang akhirnya
dikeluarkan bersama urine (glukosaria). Ketika glukosa yang berlebih di
eksresikan kedalam urine, ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebih, keadaan ini disebut diuresis osmotik.
Defesiensi
insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan simpanan kalori yang menimbulkan kelelahan, kegagalan pemecahan lemak
dan protein meningkatkan pembentukan badan keton, merupakan produksi, disamping
pemecahan lemak oleh badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbagan
asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetic menimbulkan
tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas bau
aseton. Bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma, bagkan
kematian.
Pada DM
tipe II masalah yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Jika sel – sel beta tidak mampu
mengimbangi permintaan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat
dan terjadi DM tipeII. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin merupakan
cirri khas akibat DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetika tadak terjadi pada DM tipe II,
paling sering terjadi pada usia > 30 tahun.
Komplikasi
vaskuler jangka panjang dari diabetes antara lain: pembuluh – pembuluh kecil
(mikroagiopati), pembuluh – pembuluh sedang dan besar (makroangiopati).
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetic yang menyerang kapiler,
arterial retina, glomerulus ginjal, syaraf – syaraf perifer, otot – otot kulit.
Makroangiopati mempunyai gambaran berupa arterosklerosis. Pada akhirnyan akan
mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Kalau ini mengenai arteri – arteri perifer
maka dapat mengakibatkan insufusuensi vaskuler perifer yang di sertai ganggren
pada ekstrimitas.
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak
ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat
perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya
bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas.
Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak,
rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka
pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia
lanjut yang sering ditemukan adalah :
1.
Katarak
2.
Glaukoma
3.
Retinopati
4.
Gatal seluruh badan
5.
Pruritus Vulvae
6.
Infeksi bakteri kulit
7.
Infeksi jamur di kulit
8.
Dermatopati
9.
Neuropati perifer
10. Neuropati
viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus
Neurotropik
13. Penyakit
ginjal
14. Penyakit
pembuluh darah perifer
15. Penyakit
koroner
16. Penyakit
pembuluh darah otak
17. Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan
ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan
tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia
kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi.
Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi
pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa
terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien
mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif
sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas
hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi
dan ketonemia.
Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti
rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia
lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan
mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang.
Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme
serebral tampak lebih jelas.
F.
Komplikasi
Komplikasi yang biasa
muncul pada diabetes mellitus adalah:
1. Diabetes ketoasidosis
2. Koma hiperosmolar, hiperglikemia,
nonketotik.
3. Hipoglikemia
4. Infeksi
5. Penyakit Vaskuler
6. Neuropati
7. Retinopati
8. Nefrospati
Carpenito, 1999:143)
Komplikasi pada DIABETES
MELITUS antara lain:
1. Akut
·
Koma
hipoglikemi
·
Ketoasidosis
·
Koma
hiperosmolar nonketotik.
2. Kronik
·
Makroangiopati
·
Mikroangiopati
·
Neuropati
diabetic
·
Rentan
infeksi seperti: tuberkolusis paru, gingivitis, infeksi saluran kemih.
·
Kaki
diabetic
Mansjoer, 1999: 582 – 583)
G.
Penatalaksanaan Medis
Kerangka utama
penatalaksanan DM yaitu
1. Perencanan makan
·
Kabohidrat
= 60 – 70 %
·
Protein
= 10 – 15 %
·
Lemak
= 20 – 25 %
·
Kolesterol
= < 300 mg/dl - Serat = 25 gr/hari diutamakan jenis serat larut - Konsumsi
garanm dibatasi bila terdapat hipertensi
2. Latihan jasmani dianjurkan secara
teratur 3 – 4 kali permiggu selama ± 0,5 jam. Latihan yang dianjurkan jalan
kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, mendayang.
3. Obat berkhasiat hipoglikemik Obat
hipoglikemik oral (OHO) antara lain sulfoniurea, biguanid, inhibitor,
glukosidae, insulin sensizing agen. ( Mansjoer, 1999: 583 -584) J.
H.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah,
kooperatif
kooperatif
Kesadaran : Compos
mentis
mentis
Vital
sign : TD
: 100/60 mmHg
: 100/60 mmHg
N : 88 x / menit
Rr : 36 x / menit
S : 38,3 ºC
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 52 kg
Status Gizi : Cukup
1. Pemeriksaan Kepala
·
Bentuk
Kepala : Mesocephal, simetris
Kepala : Mesocephal, simetris
·
Rambut : Warna
hitam, tidak mudah dicabut dan rontok
·
Nyeri
Tekan : Tidak ada
Tekan : Tidak ada
·
Venektasi
temporal : (-)
temporal : (-)
2. Pemeriksaan Mata
·
Palpebra : Edema (-/-),
ptosis (-/-), xantelasma (+/+)
·
Konjungtiva : Anemis (+/+)
·
Sklera : Ikterik (-/-)
·
Pupil : Refleks cahaya
(+/+), isokor, diameter 3/3 mm
3. Pemeriksaan Telinga
·
Otorea (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
4. Pemeriksaan Hidung
·
Nafas
cuping hidung (-/-), deviasi septum nasi (-), deformitas (-)
cuping hidung (-/-), deviasi septum nasi (-), deformitas (-)
5. Pemeriksaan Mulut dan Faring
·
Bibir
sianosis (-), bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (+), lidah tremor (-), tepi lidah hiperemis (-), tonsil : T2-T2, hiperemis (-/-).
sianosis (-), bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (+), lidah tremor (-), tepi lidah hiperemis (-), tonsil : T2-T2, hiperemis (-/-).
6. Pemeriksaan Leher
·
Trakea : Deviasi (-)
·
Kel.Lymphoid : Tidak
teraba, nyeri tekan (-)
·
Kel.Tyroid : Tidak teraba pembesaran
·
JVP : 5+2 cmH2O
7.
Pemeriksaan
Dada
·
Paru
-
Inspeksi
: Dada simetris, ketinggalan
gerak (-/-), retraksi (-), pulsasi epigasrium (-), pulsasi parasternal (-)
-
Palpasi
: Taktil fremitus kanan = kiri
-
Vokal
fremitus kanan = kiri
fremitus kanan = kiri
-
Ketinggalan
gerak (-/-)
gerak (-/-)
-
Perkusi
: Sonor pada seluruh lapang
paru
-
Auskultasi
: Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
·
Jantung
-
Inspeksi : Iktus cordis tampak SIC V LMCS
-
Palpasi : Iktus
cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat(-)
-
Perkusi : Batas
jantung
Kanan atas : SIC II RSB
Kiri atas : SIC II LSB
Kanan bawah : SIC IV RSB
Kiri bawah : SIC V LMC
-
Auskultasi : S1 > S2,
regular, bising (-), murmur (-), gallop (-)
8.
Pemeriksaan Abdomen
·
Inspeksi : cembung,
venektasi (-), darm contour (-)
·
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari BACD konsistensi
kenyal, tepi tumpul, permukaan
rata, lien tidak teraba
·
Perkusi : Tympani (-),
undulasi (+), pekak alih (+), pekak sisi (+)
9.
Pemeriksaan ekstremitas
·
Superior : Deformitas
(-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-)
·
Inferior : Deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis (-),
edema (-/-)
I.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Adanya kadar glukosa darah yang tinggi
secara abnormal. Kadar gula darah pada waktu puasa > 140 mg/dl. Kadar gula
sewaktu >200 mg/dl.
2. Tes toleransi glukosa. Glukosa plasma
dari sampel yang diambil 2 jam pp >200 mg/dl.
3. Glukosa darah: darah arteri / kapiler
5-10% lebih tinggi daripada darah vena, serum/plasma 10-15% daripada darah
utuh, metode dengan deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa
deproteinisasi
4. Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi
tubulus, bila glukosa darah > 160-180% maka sekresi dalam urine akan naik
secara eksponensial, uji dalam urin: + nilai ambang ini akan naik pada orang
tua. Metode yang populer: carik celup memakai GOD.
5. Benda keton dalam urine: bahan urine
segar karena asam asetoasetat cepat didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang
dipakai Natroprusid, 3-hidroksibutirat tidak terdeteksi
6. Pemeriksan lain: fungsi ginjal (
Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol, HDL, LDL, Trigleserid), Ffungsi
hati, antibodi anti sel insula langerhans ( islet cellantibody)
J.
WOC
HIPER PARA TIROID
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN
CUSHING SINDROM
A. Definisi Cushing Sindrom
Harvey
cushing pada tahun 1932 menggambarkan suatu keadaan yang disebabkan oleh
adenoma sel-sel basofil hipofisis. Keadaan ini disebut “penyakit cushing”.
Sindrom
cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini
dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik
senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, hal. 1088)
Syndrome cushing gambaran klinis yang timbul akibat
peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik
(latrogen). (Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364).
Syndrome cushing disebabkan oleh sekret berlebihan
steroid adrenokortial terutama kortisol. (IDI). Edisi III Jilid I, hal 826).
Syndrome cuhsing akibat rumatan dari kadar kortisol
darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu
Kesehatan Anak, Edisi 15 Hal 1979).
B. Etiologi
Sindroma cushing dapat disebabkan oleh :
1. Meningginya
kadar ACTH ( tidak selalu karena adenoma sel basofil hipofisis).
2. Meningginya
kadar ATCH karena adanya tumor di luar hipofisis, misalnya tumor paru, pankreas
yang mengeluarkan “ACTH like substance”.
3. Neoplasma
adrenal yaitu adenoma dan karsinoma.
4. Iatrogenik.
Pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam
dosis farmakologik. Dijumpai pada penderita artitis rheumatoid, asma, limpoma
dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen
antiinflamasi.
C. Patofisiologi
Cushing
sindrom dapat di sebabkan oleh beberapa mekanisme mencakup tumor kelenjar
hipofisis yang menghasilkan ACTH dan menstimulasikan korteks adrenal untuk
meningkatkan sekresi hormonnya meskipun hormone tersebut telah diproduksi
dengan jumlah adekuat. Hyperplasia kelenjar adrenal dalam keadaan tanpa adanya
tumor hipofisis jarng terjadi.
Pemberian
ACTH dapat pula menimbulkan syndrome chusing. Penyebab lain syndrome chusing
yang jarang di temukan adalah produksi
ektopik ACTH oleh malignitas,karsinoma bronkogenik merupakan tipe malignitas
yang paling sering di temukan . tanpa tergantung dari penyebabnya ,mekanisme
umpan balik normal untuk mengendalikan fungsi korteks drenal menjadi tidak
efektif dan pola sekresi diurnal kortisol yang normal akan menghilang . Tanda
dan gejala sindrom Cushing terutama terjadi sebagai akibat sebagai sekresi
glokokortikoid dan androgen ( hormone seks) yang berlebihan, meskipun sekresi
mineralokortikoid juga dapat terpengaruh.
D. Tanda dan Gejala
Dapat digolongkan menurut faal hormon
korteks adrenal yaitu : cortisol, 17 ketosteroid, aldosteron dan estrogen.
1. Gejala
hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
- Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
- Kulit
tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
- Otot-otot
mengecil karena efek katabolisme protein.
- Osteoporosis
yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
- Aterosklerosis
yang menimbulkan hipertensi.
- Diabetes
melitus.
- Alkalosis,
hipokalemia dan hipokloremia.
2. Gejala
hipersekresi 17 ketosteroid :
- Hirsutisme
( wanita menyerupai laki-laki ).
- Suara
dalam.
- Timbul
akne.
- Amenore
atau impotensi.
- Pembesaran
klitoris.
- Otot-otot
bertambah (maskulinisasi)
3. Gejala
hipersekresi aldosteron.
- Hipertensi.
- Hipokalemia.
- Hipernatremia.
- Diabetes
insipidus nefrogenik.
- Edema
(jarang)
- Volume
plasma bertambah
Bila
gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit Conn atau
hiperaldosteronisme primer.
4. Gejala
hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling
karakteristik adalah gejala hipersekresi kortisol, kadang-kadang bercampur gejala-gejala
lain. Umumnya mulainya penyakit ini tidak jelas diketahui, gejala pertama ialah
penambahan berat badan. Sering disertai gejala psikis sampai psikosis. Penyakit
ini hilang timbul, kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul ulkus
peptikum dan mungkin fraktur vertebra. Kematian disebabkan oleh kelemahan umum,
penyakit serebrovaskuler (CVD) dan jarang-jarang oleh koma diabetikum.
E. Klasifikasi
Sindrom
cushing dapat dibagi dalam 2 jenis:
1.
Tergantung ACTH
Hiperfungsi korteks adrenal mungkin dapat
disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofise yang abnormal berlebihan. Tipe
ini mula-mula dijelaskan oleh oleh Hervey Cushing pada tahun 1932, maka keadaan
ini disebut juga sebagai penyakit cushing.
2.
Tak tergantung ACTH
Adanya adenoma hipofisis yang mensekresi
ACTH, selain itu terdapat bukti-bukti histologi hiperplasia hipofisis
kortikotrop, masih tidak jelas apakah kikroadenoma maupum hiperplasia timbal
balik akibat gangguan pelepasan CRH (Cortikotropin Realising hormone) oleh
neurohipotalamus. (Sylvia A. Price; Patofisiologi. hal 1091).
F. Komplikasi
·
Krisis Addisonia
·
Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
·
Patah tulang akibat osteoporosis
G. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH
tidak seragam, bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
1.
Jika dijumpai tumor
hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor tranfenoida.
2.
Jika terdapat bukti
hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya
dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis.
3.
Kelebihan kortisol juga
dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol
dosis fisiologik.
4.
Bila kelebihan kortisol
disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/
terapi pembedahan.
5.
Digunakan obat dengan
jenis metyropone, amino gluthemide o, p-ooo yang bisa mensekresikan kortisol
(Silvia A. Price ; Patofisiologi Edisi 4 hal 1093 )
H. Pemeriksaan Fisik
a)
Sistem Pernapasan
Inspeksi : Pernapasan cuping hidung kadang
terlihat, tidak terlihat retraksi intercouste hidung, pergerakan dada simetris
Palpasi : Vocal premilis teraba rate, tidak
terdapat nyeri tekan
Perkusi : Suara sonor
Auskultasi :
Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi nafas tambahan ronchi
wheezing
b)
Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 mid
klavikula
Perkusi : Pekak
Auskultasi : S1 S2 Terdengar tunggal
c)
Sistem Pencernaan
Mulut : Mukosa bibir kering
Tenggorokan : Tidak dapat pembesaran kelenjar tiroid
Limfe : Tidak ada pembesaran vena jugularis
Abdoment :
I : Simetris tidak
ada benjolan
P : Tidak terdapat
nyeri tekan
P : Suara redup
A : Tidak terdapat
bising usus
d)
Sistem Eliminasi
Tidak
ada gangguan eliminasi
e)
Sistem Persyarafan
Composmentis
f)
Sistem Integument / ekstrimitas
Kulit:Adanya
perubahan-perubahan warna kulit, berminyak, jerawat
g)
Sistem Muskulus keletal
Tulang: Terjadi osteoporosis
Otot : Terjadi kelemahan
h)
Masalah Keperawatan
·
Angiotensi 1 diubah menjadi angiotensi 2 yang menyebabkan faso kontriksi
berlebih
·
Peningkatan glukotiroid yang mengakibatkan penurunan limfosid
·
Peningkatan sekresi aldosteron yang mengarah pada retensi garam dan air
·
Peningkatan kerusakan jaringan yang di sebabkan oleh desakan tumor
·
Peningkatan glukotiroid yang berlebih yang terdiri dari bagian-bagian
mayor yang di berikan oleh glukotiroid
I.
Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Pada pemeriksaan
laboratorium sederhana, didapati limfositofeni, jumlah netrofil antara 10.000 –
25.000/mm3. eosinofil 50/ mm3 hiperglekemi (Dm terjadi
pada 10 % kasus) dan hipokalemia.
2.
Pemeriksaan laboratorik
diagnostik.
Pemeriksaan
kadar kortisol dan “overnight dexamethasone suppression test” yaitu memberikan
1 mg dexametason pada jam 11 malam, esok harinya diperiksa lagi kadar kortisol
plasma. Pada keadaan normal kadar ini menurun. Pemerikaan 17 hidroksi
kortikosteroid dalam urin 24 jam (hasil metabolisme kortisol), 17 ketosteroid
dalam urin 24 jam.
3.
Tes-tes khusus untuk
membedakan hiperplasi-adenoma atau karsinoma :
a.
Urinary deksametasone
suppression test. Ukur kadar 17 hidroxi kostikosteroid dalam urin 24 jam,
kemudian diberikan dexametasone 4 X 0,5 mg selama 2 hari, periksa lagi kadar 17
hidroxi kortikosteroid bila tidak ada atau hanya sedikit menurun, mungkin ada
kelainan. Berikan dexametasone 4 x 2 mg selama 2 hari, bila kadar 17 hidroxi
kortikosteroid menurun berarti ada supresi-kelainan adrenal itu berupa
hiperplasi, bila tidak ada supresi kemungkinan adenoma atau karsinoma.
b.
Short oral metyrapone
test. Metirapone menghambat pembentukan kortisol sampai pada 17
hidroxikortikosteroid. Pada hiperplasi, kadar 17 hidroxi kortikosteroid akan
naik sampai 2 kali, pada adenoma dan karsinoma tidak terjadi kenaikan kadar 17
hidroxikortikosteroid dalam urine.
c.
Pengukuran kadar ACTH
plasma.
d.
Test stimulasi ACTH, pada
adenoma didapati kenaikan kadar sampai 2 – 3 kali, pada kasinoma tidak ada
kenaikan.
J.
Web
of Causation Cushing Syndrome
DAFTAR PUSTAKA
Ben
gray. 2010. http://askep-askeb-kita.blogspot.com/. diakses pada tanggal 2 maret 2010 pukul
13.15 WIB
Budiyanto, Carko . 2009 . Cushing Syndrom. http://medicastore.com/penyakit_kategori/1/index.html. diakses pada tanggal 9 maret 2010 pukul 16.
30 WIB
De belto, Dasto. 2010. Askep Cushing Sindrom.
http ://dastodebelto.blogspot.com/2010/02/judul-skripsi.html . diakses pada tanggal 4 maret 2010 pukul
20.30 WIB
Ganong, William F. 1998. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. 17th . Jakarta: EGC.
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. 9th . Jakarta: EGC.
Hadley, Mac E. 2000. Endocrinology. 5th
. New Jersey: Prentice Hall, inc.
Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Phatoelisme. 2010. Askep Sindrom Cushing. http://baioe.wordpress.com/about. html. diakses pada tanggal 4 maret pukul
20.30 WIB
Sylvia A. Price. 1994. Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses
Penyakit . Jakarta : EGC
Susanne C. Smeltzer. 1999 . Buku Ajar
Medikal Bedah Brunner-Suddart. Jakarta: EGC
Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Rumahorbor, Hotma.1999. Asuhan
Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin.Jakarta:EGC.
Smeltzer, Suzzanne
C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed.8.Jakarta:
EGC.
Kozier, et al.1993. Fundamental of nursing.
California: Addison-Wesley Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar