BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun-tahun belakang ini terlihat adanya
kebutuhan organisasi jasa ntuk
memperbaiki cara berhubungan dengan pelanggan (Cook, 2002). Rumah sakit sebagai
organisasi yang bergerak dibidang jasa pelayanan dimana salah satu tujuannya
adalah terciptanya kepuasan pelanggan. Untuk memenuhi tujuannya tersebut salah
satunya dengan melakukan pengembangan sumber daya manusia melalui pemetaan
tenaga kerja khusunya tenaga kerja perawat. Menurut DepKes (2000) mengatakan
bahwa pengembangan tenaga kesehatan pada hakekatnya adalah proses pengembangan
yang bersifat multidisiplin dan lintas sektor serta program untuk memeratakan
dan meningkatkan mutu tenaga kesehatan melalui upaya penyusunan dan rencana,
pedayagunaan, serta pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan.
Globalisasi memberikan dampak positif bagi
setiap profesi kesehatan untuk selalu berupaya meningkatkan kinerja
profesionalnya dalam berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan kesehatan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan perkembangan pesat dalam teknologi
kesehatan, perubahan sosial ekonomi, peningkatan konsumen terdidik dan
peningkatan kesadaran klien akan haknya. Faktor tersebut membawa dampak bagi
meningkatnya tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan kesehatan. Masyarakat
mampu memilih jenis dan kualitas pelayanan yang diinginkan.
Tenaga profesional kesehatan termasuk
didalamnya tenaga keperawatan dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang berkualitas hanya dapat diwujudkan
dengan pemberian layanan kesehatan yang profesional, demikian juga dengan
pemberian asuhan keperawatan harus dilaksanakan dengan praktik keperawatan yang
profesional
Semakin tingginya kepedulian
masyarakat akan kesehatan telah membuat masyarakat berpikir secara kritis
terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya, baik pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh dokter maupun perawat. Kesadaran masyarakat tentang
kesehatan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai macam tuntutan antara lain
pelayanan keperawatan yang berkualitas dan memberikan kepuasan kepada klien.
Perawat yang berkerja di unit perawatan intensif tentunya akan berhadapan dengan
masalah kesehatan yang sangat kompleks baik dari penyakit klien sendiri maupun
teknologi yang tersedia di unit tersebut, bahkan harus bermitra dengan dokter
yang memiliki kemampuan pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu sangat
diperlukan keterampilan dan kemampuan yang tinggi dalam menangani klien kritis
bagi perawat tersebut.
Pada era globalisasi tingkat pengetahuan dan perubahan tata
nilai yang berlaku di masyarakat menyebabkan meningkatnya tuntutan terhadap
tenaga kesehatan, hal ini berdampak pada meningkatnya berbagai tantangan yang
harus dihadapi oleh rumah sakit sebab rumah sakit sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang
memberikan pelayanan rawat jalan dan rawat inap yang hidup dalam lingkungan
dinamis dan komprehensif. Pengelolaan rumah sakit harus dikelola dengan
manajemen tata kelola yang komprehensif yang harus mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang muncul akibat perubahan - perubahan tersebut. Oleh karena itu
rumah sakit harus mengembangkan diri baik sarana fisik maupun kemampuan sumber
daya manusia sehingga mampu memberikan pelayanan keperawatan secara profesional
dan bermutu.
Pelayanan
keperawatan profesional merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan
bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif ditujukan kepada individu keluarga
dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan
manusia. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan,
untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri. Kegiatan dilakukan
dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan
serta pemeliharaan kesehatan dengan penekanan pada upaya pelayanan kesehatan
utama (Primary Health Care) sesuai
wewenang, tanggung jawab dan etika profesi keperawatan.
Kontribusi
pelayanan keperawatan terhadap pelayanan kesehatan, yang dilaksanakan di sarana
kesehatan sangat tergantung pada manajemen pelayanan keperawatan. Manajemen
pelayanan keperawatan merupakan suatu
proses perubahan atau tranformasi dari sumber daya yang dimiliki untuk mencapai
tujuan pelayanan keperawatan melalui pelaksanaan fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengarahan, evaluasi, dan pengendalian
mutu keperawatan.
Tata
kelola manajemen keperawatan adalah suatu proses kerja yang dilakukan oleh
anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan secara
profesional. Dalam hal ini seorang manajer keperawatan dituntut untuk melakukan
suatu proses yang meliputi lima fungsi utama yaitu perencanaan, pengorganisasian,
pengelolaan, pengarahan dan kontrol agar dapat memberikan asuhan keperawatan
seefektif dan seefisien mungkin bagi klien dan keluarganya (Nursalam, 2002).
Proses manajemen keperawatan dilaksanakan melalui tahap-tahap yaitu pengkajian
(kajian situasional), perencanaan (strategi dan operasional), implementasi dan
evaluasi.
Manajemen
keperawatan di rumah sakit terdiri dari manajemen asuhan dan manajemen unit.
Manajemen asuhan sangat penting diterapkan pada seluruh tatanan praktik
keperawatan. Perawat secara tepat harus dapat mengkaji, mengidentifikasi,
merencanakan dan melakukan proses keperawatan sesuai dengan karakterisrtik
klien dan permasalahannya. Dalam prosesnya manajemen asuhan harus dilaksanakan
sesuai dengan SOP dan standar asuhan yang berlaku sehingga perawat dapat
memberitahukan pelayanan keperawatan secara aman dan berkualitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pengendalian Infeksi
di ICU
1.1.1
Terminologi
Infeksi adalah proses dimana
seseorang yang rentan terkena invasi mikro organisme pathogen, berkembang biak
dan menyebabkan sakit. Mikro organisme, adalah agen penyebab infeksi berupa
bakteri, virus, jamur, ricketsia, dan parasit.
Infeksi Nosokomial, yaitu
infeksi yang diperoleh ketika seseorang dirawat di rumah sakit, tanpa adanya
tanda-tanda infeksi sebelumnya dan minimal terjadi 3x24 jam sesudah masuk
kuman.
1.1.2 Patogenesis
Interaksi antara pejamu (pasien, perawat,
dokter, dll), agen (mikroorganisme pathogen) dan lingkungan (lingkungan rumah
sakit, prosedur pengobatan, dll) menentukan seseorang dapat terinfeksi atau
tidak.
Agen Lingkungan Pejamu
Untuk bakteri, virus, dan agen infeksi lainya
agar bertahan hidup dan menyebabkan penyakit tergantung dari factor-faktor
kondisi tertentu harus ada:
AGEN Orang yang dapat terinfeksi WADUK TEMPAT KELUAR CARA PEJAMU YANG TEMPAT Agen meninggalkan pejamu Bagaimana agen berpindah dari
tempat lain Agen memasuki pejamu Tempat hidup agen
PENGELUARAN
RENTAN
MASUK
Sebagaimana tampak pada gambar ini, suatu
penyakit memerlukan keadaan tertentu untuk dapat menyebar ke orang lain:
1. Harus ada agen
2. Harus ada waduk / pejamu : manusia,
binatang, tumbuhan-tumbuhan, tanah, udara, dan air.
3. Harus ada lingkungan yang cocok di
luar pejamu untuk dapat hidup.
4. Harus ada orang untuk dapat
terjangkit. Untuk dapat terjangkit penyakit infeksi harus rentan terhadap
penyakit itu.
5. Agen harus punya jalan untuk dapat
berpindah dari pejamunya untuk menulasi pejamu berikutnya, terutama melalui:
udara, darah atau cairan tubuh, kontak, fektal-oral, makanan, binatang atau
serangga.
Mikroorganisme menjadi penyebab infeksi
nosokomial tergantung dari factor dalam agen:
1. Kemampuan menempel pada permukaan sel
pejamu
2. Dosis yang tidak efektif
3. Kemampuan untuk invasi dan reproduksi
4. Kemampuan memproduksi toksin
5. Kemampuan menekan system imun pejamu
Sedangkan factor dalam pejamu yang
mempengaruhi timbulnya infeksi nosokomial adalah:
1. Usia
2. Penyakit dasar
3. System imun dan factor lingkungan:
4. Factor fisik : suhu, kelembaban,
lokasi (ICU, ruang rawat jangka panjang, sarana air).
5. Factor biologik : serangga perantara
6. Factor social : status ekonomi,
perilaku, makanan dan cara penyajian.
1.1.3
Sumber Infeksi
Sumber
infeksi nosokomial dapat dibagi dalam 4 bagian:
1. Petugas rumah sakit (perilaku)
a.
Kurang
memahami cara penularan penyakit
b.
Kurang
memperhatikan kebersihan
c.
Kurang
atau tidak memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic
d.
Menderita
penyakit tertentu
e.
Tidak
mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan
2. Alat yang dipakai
a.
Kotor
b.
Rusak
c.
Penyimpanan
kurang baik
d.
Dipakai
berulang-ulang
e.
Kadaluarsa
3. Pasien
a.
Kondisi
yang sangat lemah
b.
Kebersihan
kurang
c.
Menderita
penyakit kronis
d.
Menderita
penyakit menular
4. Lingkungan
a.
Tidak
ada sinar matahari / penerangan yang masuk
b.
Ventilasi
udara kurang baik
c.
Ruangan
lembab
d.
Banyak
serangga.
1.1.4 Transmisi Mikroorganisme
Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat
terjadi dengan berbagai cara, bias lebih dari satu cara. Ada lima cara
terjadinya trasmisi mikroorganisme yaitu: contact, droplet, airbone, common
vehicle, dan vertorborne.
1.
Contact transmission
Contact transmission adalah yang paling sering pada
infeksi nosokomial, dibagi dalam dua grup; direct contact, dan indirect
contact.
2.
Direct contact (kontak langsung)
Transmisi mikroorganisme langsung
permukaan tubuh ke permukaan tubuh, seperti saat memandikan, membalikkan
pasien, kegiatan asuhan keperawatan
yang menyentuh permukaan tubuh pasien, dapat juga terjadi di antara dua pasien.
3.
Indirect contact (kontak tidak langsung)
Kontak dengan kondisi orang yang lemah
melalui peralatan yang terkontaminasi,
seperti peralatan instrument yang terkontaminasi : jarum, alat dressing, tangan
yang terkontaminasi tidak dicuci, dan sarung tangan tidak diganti di antara
pasien.
4.
Droplet transmission (Percikan)
Secara teoritikal merupakan bentuk
kontak transmisi, namun mekanisme transfer mikroorganisme pathogen ke pejamu agak ada jarak dari transmisi
kontak. Mempunyai partikel sama atau lebih besar dari 5 mikron. Droplet transmisi
dapat terjadi ketika batuk, bersin, beribicara, dan saat melakukan tindakan
khusus, seperti saat melakukan pengisapan lendir, dan tidakan broschoskopi.
Transmisi terjadi ketika droplet
berisi mikroorganisme yang berasal dari orang terinfeksi dalam jarak dekat melalui
udara menetap / tinggal pada konjunctiva, mukosa, hidung, dan mulut yang
terkena. Karena droplet tidak meninggalkan sisa di udara, maka penangan khusus
udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet transmisi.
5.
Airbone transimisi (melalui udara)
Transimisi melalui udara yang
terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen, memiliki partikel kurang atau
sama dengan 5 mikron. Transmisi
terjadi ketika menghirup udara yang mengandung mikroorganisme pathogen.
Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu sehingga penanganan khusus
udara dan ventilasi perlu dilakukan. Mikroorganisme yang ditransmisi melalui
udara adalah mycrobacterium tubercolusis,
rubeola, dan varicella virus.
6.
Common
Vehicle Transmission
Transmisi mikroorganisme melalui makanan,
minuman, alat kesehatan, dan peralatan lain yang terkontaminasi dengan
mikroorganisme pathogen.
7.
Vectorborne transmission
Transmisi mikroorganisme melalui vector seperti nyamuk,
lalat, tikus, serangga lainya.
1.1.5 Upaya Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pengendalian
infeksi nosokomial merupakana kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan pembinaan denga tujuan untuk menurunkan kejadian infeksi nosokomial.
Pengendalian
infeksi sudah dilakukan sejak lama di AS sedangkan di Indonesia baru mulai
dilakukan pada tahun 1980an dan dianggap sebagai salah satu managemen resiko
dan kendali mutu pelayanan rumah sakit.
Upaya
pengendalian / pemberantasan infeksi nosokomial terutama ditujukan pada
penurunan laju infeksi (VAP, ISK, decubitus, MRSA, dll). Untuk itu perlu
disusun pedoman standar / kebijakan pengendalian infeksi nosokomial, meliputi:
1.
Penerapan
standar precaution (cuci tangan dan penggunaan alat pelindung)
2.
Isolasi
precaution
3.
Antiseptik
dan aseptic
4.
Desinfeksi
dan sterilisasi
5.
Edukasi
6.
Antibiotik
7.
Survelians
Tujuan pengendalian
infeksi nosokomial ini terutama :
1.
Melindungi
pasien
2.
Melindungi
tenaga kesehatan, pengunjung
3.
Mencapai
cost effective
Dampak
yang dapat dirasakan apabila terjadi infeksi nosokomial adalah sebagai berikut:
1.
Bagi
pasien
a. LOS lebih panjang
b. Cost / pembiayaan meningkat
c.
Penyakit
lain yang mungkin lebih berbahaya daripada penyakit dasarnya
d. GDR meningkat
2.
Bagi
staff: medis dan non medis
a. Beban kerja bertambah
b. Terancam rasa aman dalam menjalankan
tugas / pekerjaan
c.
Memungkinkan
terjadi tuntutan malpraktek
1.1.6 Pencegahan Infeksi Nosokomial
Infeksi
nosokomial merupakan kontributror penting pada morbiditas dan mortalitas.
Infeksi akan lebih penting sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan dampat
ekonomis dan manusiawi karena:
1.
Peningkatan
jumlah dan kepadatan penduduk
2.
Semakin
seringnya masalah dengan gangguan imunitas
3.
Meningkatnya
resistensi bakteri terhadap antibiotika (Ducci 1995).
Infeksi
nosokomial merupakan focus penting pencegahan infeksi di negara berkembang.
Infeksi ini adalah penyebab utama penyakit dan kematian yang dapat dicegah,
yang paling penting adalah:
1.
Infeksi
aliran darah
2.
Peritonitis
(CAPD)
3.
Hepatitis
(HD)
Pengelolaan
benda-benda tajam
Benda-benda
tajam yang sering dijumpai adalah :
1.
Jarum
suntik / jarum hipodermik
2.
Jarum
jahitan
3.
Silet
4.
Pisau
scapel
Memerlukan
penanganan khusus karena benda-benda tajam ini dapat menyebabkan luka bagi
petugas kesehatan, dan juga masyarakat sekitar jika sampah dibuang di tempat
sampah umum.
Enkapsulasi
Enkapsulasi
dianjurkan sebagai cara termudah membuang benda-benda tajam, benda tajam
dikumpulkan dalam wadah tahan tusukan dan antibocor. Sesudah ¾ penuh, bahan
seperti semen, pasien, atau bubuk plastic dimasukkan dalam wadah sampai penuh.
Sesudah bahan menjadi padat dan kering, wadah ditutup, disebarkan pada tanah rendah,
ditimbun dan dapat dikuburkan. Bahan sisa kimia dapat dimasukkan bersama dengan
benda-benda tajam. (WHO 1999).
Pembuangan
di daerah tindakan
Ingat:
1.
Untuk
menghindari luka tertusuk jarum, jangan membengkokkan, mematahkan, atau
menyarugkan jarum ketika akan membuang.
2.
Tempatkan
container di tempat yang mudah dicapai, sehingga petugas kesehatan tidak perlu
membawa-bawa benda tajam.
Langkah-langkah:
1.
Jangan
menyarungkan kembali penutup atau melepaskan jarum spuit
2.
Masukkan
benda-benda tajam tersebut dalam wadah yang tahan tusukan misalnya kotak kardus
tebal, botol plastic, atau kaleng berpenutup. Bukaan penutup harus cukup lebar
untuk mudah memasukkan benda-benda tersebut, tatapi cukup kecil supaya sukar
untuk dikeluarkan lagi. (botol cairan infuse intravena dapat digunakan tetapi
mudah pecah).
3.
Jika
wadah sudah terisi ¾, pindahkan dari area tindakan untuk dibuang.
4.
Waktu
membuang benda-benda tajam:
a.
Pakailah
sarung tangan rumah tangga yang tebal
b.
Jika
container sudah ¾ penuh, tutup/sumbat atau plaster dengan rapat. Pastikan tidak
ada bagian benda tajam yang menonjol keluar wadah.
c.
Buanglah
wadah benda tajam tersebut secara dibakar, enkasulasi, atau dikubur.
d.
Lepaskan
sarung tangan (cuci setiap hari atau setiap kali terlihat kotor dan keringkan)
e.
Cuci
tangan dan keringkan dengan kain atau handuk bersih atau alat pengering lainya.
1.1.7 Isolasi
1.
Early Isolation Practise
Isolation precaution pertama kali
dipublikasikan di AS pada tahun 1877, dimana pada waktu itu buku pegangan rumah
sakit merekomendasikan penempatan pasien infeksi di fasilitas terpisah.
Penempatan pasien penyakit infeksi pada fasilitas terpisah pada akhirnya
menjadi dikenal sebagai rumah sakit penyakit infeksi. Walaupun demikian pasien
penyakit infeksi dipisahkan dari pasien penyakit non infeksi, transmisi infeksi
nosokomial berlangsung terus, sebab pasien penyakit infeksi tidak dipisahkan
menurut jenis penyakit infeksinya.
Selanjutnya petugas di rumah sakit
penyakit infeksi mulai memikirkn masalah transmisi penyakit infeksi nosokomial,
dengan menata menempatkan pasien penyakit infeksi yang sama jenisnya dan
melakukan teknik aseptic pada prosedur tindakan pada tahun 1890 – 1900.
Pada tahun 1910 praktek isolasi di AS
diubah dengan memperkenalkan system kubikel, dimana pasien pada system kubikel
ini pasien penyakit infeksi ditempatkan di ruang multiple bed. Pada system
kubikel petugas rumah sakit memakai gaun terpisah dan mencuci tangan dengan
larutan antiseptic setelah kontak dengan pasien dan melakukan desinfeksi
peralatan yang terkontaminasi dengan pasien. Prosedur perawatan ini dilakukan
untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen kepada pasien lain dan petugas
rumah sakit dan akhirnya prosedur ini dikenal sebagai “barrier nursing”.
Dengan menggunakan isolasi system
kubikel dan prosedur “barrier nursing” maka rumah sakit umum mulai mengambil
alternative menempatkan beberapa pasien di rumah sakit penyakit infeksi.
Sepanjang tahun 1950 di AS rumah sakit
penyakit infeksi mulai tutup kecuali khusus untuk pasien infeksi tuberculosis.
Pada pertengahan tahun 1960 rumah sakit penyakit infeksi tuberculosis juga
mulai tutup, Karena pasien-pasien tuberculosis lebih menyukai rumah sakit umum
dan rawat jalan. Akhirnya pada tahun 1960 pasien penyakit infeksi ditempatkan
di rumah sakit umum dengan menempatkan di ruang isolasi satu kamar atau multiple-patient room.
2.
CDC Isolation Manual
Pada tahun 1970 di Centers of Dissease
Control (CDC) mempublikasikan secara detail menual isolasi “isolation techniques for Use in Hospital” untuk membantu rumah
sakit umum dalam isolation precaution. Direvisi pada tahun 1975. manual ini
dapat diaplikasikan pada rumah sakit kecil dengan sumber-sumber terbatas.
Manual ini memperkenalkan isolation
precaution dengan system kategori. Direkomendasikan bajwa rumah sakit
menggunakan satu dari tujuh kategori isolasi. Ketujuh kategori isolasi adalah: Stric Isolation, Respiratory Isolation,
Protective isolation, Enteric Isolation, Wound and Skin Precaution, Discharge
precaution, dan Blood Precaution. Pada pertengahan tahun
1970, 93% rumah sakit di US mengadopsi Isolation Manual ini.
Pada tahun 1980 rumah sakit mengalami
endemic dan epidemic masalah infeksi nosokomial, beberapa disebabkan oleh
multi-drug resistant mikroorganisme, adanya pathogen yang baru dikenal, yang
memerlukan isolation precaution yang berbeda dari kategori isolasi yang ada.
Adanya peningkatan kebutuhan isolasi precaution ditunjukkan lebih spesifik pada
transmisi nosokomial di unit perawatan khusus / intensif. Selanjutnya sesuai
dengan epidemiologi dan metode transmisi beberapa penyakit infeksi, CDC perlu
merevisi isolation manual.
Pada tahun 1981 – 1983 CDC Hospital Infection Program bersama spesialis penyakit infeksi, pediatric
bedah, epidemiologi rumah sakit, petgas pengendalian infeksi melakukan revisi Isolation Manual.
1.1.8 Penerapan Isoslasi Protection Di Rumah
Sakit
Isolation
precaution merupakan bagian integral dari program pengendalian infeksi
nosokomial
1. Tujuan
Isolation
Precaution bertujuan untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen dari satu
pasien ke pasien lain dan dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya.
Karena agen dan host lebih sulit dikontrol maka pemutusan mata rantai infeksi
dengan cara Isolation Precaution sangat diperlukan.
2. Airborne
Precaution
a.
Penempatan
pasien
Tempatkan
pasien di kamar tersendiri yang mempunyai persyaratan sebagai berikut:
1)
Tekanan
udara kamar negative dibandingkan dengan area skitarnya.
2)
Pertukaran
udara 6 – 12 kali/jam.
3)
Pengeluaran
udara keluar yang tepat mempunyai penyaringan udara yang efisien sebelum udara
dialirkan ke area lain di rumah sakit.
4)
Selalu
tutup pintu dan pasien berada di dalam kamar
5)
Bila
kamar tersendiri tidak ada, tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien
lain dengan infeksi mikroorganisme yang sama atau ditempatkan secara kohort.
6)
Tidak
boleh menempatkan pasien satu kamar dengan infeksi berbeda.
b.
Respiratory Protection
1)
Gunakan
perlindungan pernapasan (N 95 respirator) ketika memasuki rungan pasien yang
diketahui infeksi pulmonary tuberculosis
2)
Orang
yang rentan tidak diberarkan memasuki ruang pasien yang diketahui atau diduga
mempunyai measles (rubeola) atau varicella, mereka harus memakai respiratory
protection (N 95) respirator.
3)
Orang
yang immune terhadap measles (rubeola), atau varicella tidak perlu memakai
perlindungan pernafasan.
c.
Patient
Transport
1)
Batasi
area gerak pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya tujuan yang penting
saja.
2)
Jika
berpindah atau transportasi gunakan masker bedah pada pasien
3. Droplet
Precaution
a.
Penempatan
Pasien
1)
Tempatkan
pasien di kamar tersendiri
2)
Bila
pasien tidak mungkin di kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart
3)
Bila
hal ini tidak memungkinkan, tempatkan pasien dengan jarak 3 ft dengan pasien
lainya
b.
Masker
1)
Gunakan
masker bila bekerja dengan jarak 3 ft
2)
Beberapa
rumah sakit menggunakan masker jika masuk ruangan
c.
Pemindahan
pasien
1)
Batasi
pemindahan dan transportasi pasien dari kamar pasien, kecuali untuk tujuan yang
perlu
2)
Untuk
meminimalkan penyebaran droplet selama transportasi, pasien dianjurkan pakai
masker
4. Contact
Precaution
1)
Penempatan
pasien
1)
Tempatkan
pasien di kamar tersendiri
2)
Bila
tidak ada kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart
2)
Sarung
tangan dan cuci tangan.
1)
Gunakan
sarung tangan sesuai prosedur
2)
Ganti
sarung tangan jika sudah kontak dengan peralatan yang terkontaminasi dengan
mikroorganisme
3)
Lepaskan
sarung tangan sebelum meninggalkan ruangan
4)
Segera
cuci tangan dengan antiseptic / antimicrobial atau handscrub
5)
Setelah
melepas sarung tangan dan cuci tangan yakinkan bahwa tangan tidak menyentuh
peralatan atau lingkungan yang mungkin terkontaminasi, untuk mencegah
berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain.
3)
Gaun
1)
Pakai
gaun bersih / non steril bila memasuki ruang pasien bial diantisipasi bahwa
pakaian akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau peratalan pasien
di dalam kamar atau jika pasien menderita inkontaneia, diare, fleostomy,
colonostomy, luka terbuka
2)
Lepas
gaun setelah meninggalkan ruangan.
3)
Setelah
melepas gaun pastikan pakaian tidak
mungkin kontak dengan permukaan lingkungan untuk menghindari
berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain
4)
Transportasi
pasien
5)
Batasi
pemindahan pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya untuk tujuan yang
penting saja. Jika pasien harus pindah atau keluar dari kamarnya, pastikan
bahwa tindakan pencegahan dipelihara untuk mencegah dan meminimalkan resiko
transmisi mikroorganisme ke pasien lain atau permukaan lingkungan dan
peralatan.
5. Peralatan
Perawatan Pasien
a. Jika memungkinkan gunakan peralatan
non kritikal kepada pasien sendiri, atau secara kohort
b. Jika tidak memungkinkan pakai sendiri
atau kohort, lakukan pembersihan atau desinfeksi sebelum dipakai kepada pasien
lain.
6. Recommendation
Isolation Precaution
“administrative Controls”
a.
Pendidikan
Mengembangkan
system pendidikan tentang pencegahan kepada pasien, petugas, dan pengunjung
rumah sakit untuk meyakinkan mereka dan bertanggung jawab dalam menjalankanya.
Adherence
to Precaution (ketaatan terhadap tindakan pencegahan)
b.
Secara
periodic menilai ketaatan terhadap tindakan pencegahan dan adanya perbaikan
langsung.
1.2 Pasien Safety
1.2.1
Pengertian
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut
meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera
yan disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan
Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)
WHO Health
Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang mendorong (urge) Negara untuk memberikan perhatian
kepada problem Patient Safety meningkatkan keselamatan dan system monitoring. Oktober 2004 WHO dan
berbagai lembaga mendirikan “World
Alliance for Patient Safety” dengan tujuan mengangkat Patient Safety Goal “First do no harm” dan menurunkan morbiditas,
cidera dan kematian yang diderita pasien. (WHO: World Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2004)
1.2.2
Tujuan penanganan Pasien Safety
Enam tujuan penanganan patient safety menurut (Joint
Commission International):
1. Mengidentifikasi pasien dengan benar
2. Meningkatkan komunikasi secara efektif
3. Meningkatkan keamanan dari high-alert medications
4. Memastikan benar tempat, benar prosedur
5. Benar pembedahan pasien
6. Mengurangi resiko infeksi dari pekerja kesehatan,
mengurangi resiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien
Salah satu penyebab utama kesalahan yang tidak dapat dihindarkan oleh
pasien dalam organisasi perawatan kesehatan adalah kesalahan pengobatan.
Pengobatan dengan risiko yang paling tinggi yang menyebakan luka melalui
pnyalahgunaan (meliputi kemoterapi, konsentrasi cairan elektrolit, heparin, IV
digoxin, dan adrenergic agonists) adalah dkenal sebagai “high-alert drugs”.
Namun mungkin kesalahan atau mungkin tidak menjadi lebih banyak dengan
obat-obatan tersebut dibandingkan obat yang lainnya, mungkin berhubungan dapat
juga lebih menghancurkan atau memperburuk.
1.2.3
Standar Keselamatan Pasien RS
1.
Hak pasien
Standar: Pasien
dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan
hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.
Kriteria: Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter
penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung
jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada
pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau
prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak
Diharapkan.
2.
Mendidik pasien dan keluarga
Standar
: RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria : Keselamatan
dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang
merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistem
dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien
dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur,
mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima
konsekuensi pelayanan, mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS,
memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dan emenuhi kewajiban
finansial yang disepakati.
3.
Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan
Standar : RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria : Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai
dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari RS, terdapat koordinasi
pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit
pelayanan dapat berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang
mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga,
pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi dan transfer
informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi
tanpa hambatan, aman dan efektif.
4.
Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk
melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien
Standar : RS harus
mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja
serta keselamatan pasien.
Kriteria : Setiap RS harus melakukan proses perancangan (desain)
yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan RS, kebutuhan pasien,
petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat,
dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan
"Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien RS", setiap RS harus
melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan
insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan,
setiap RS harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak
Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko
tinggi, setiap RS harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan
pasien terjamin.
5.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar: Pimpinan
mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara
terintegrasi dalam organsasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah sakit”, pimpinan menjamin berlangsungnya program
proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau
mengurangi kejadian tidak diharapkan, pimpinan mendorong dan menumbuhkan
komunikasi dan oordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan
tentang keselamatan pasien, pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat
untuk mengukur, mengkaji, dan menigkatkan kinerja rumah sait serta meningkatkan
keselamatan pasien dan pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas konribusinya
dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria: Terdapat
tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien, tersedia program
proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan
insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai
dari “kejadian nyaris cedera (Near miss)
sampai dengan “Kejadian Tidak Diharapkan” (Adverse
event), Tersedia mekanisme kerja untuk menjmin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintregrasi dan berpatisipasi dalam program keselamatan pasien,
tersedia prosedure “cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
6.
Mendidik staf tentang
keselamatan pasien
Standar: rumah
sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria: Setiap
rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi
staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya
masing-masing, setiap rumah sakit harus megintregasikan topik keselamatan
pasien dalam setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yan jelas
tentang pelaporan insiden dan setiap rumah sakit harus menyelenggarkan
pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan
interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7.
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien.
Standar: Rumah
sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keelamatan pasien
untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal, transmisi data dan
informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria: Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan
mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal
terkait dengan keselamatan pasien, tesedia mekanisme identifikasi masalah dan
kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
(Panduan
Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)
1.2.4
Indikator Pasien Safety (IPS)
Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui
tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat
digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan
meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk
menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah
sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi
menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah
sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik
yang tidak diharapkan pada pasien. (Dwiprahasto, 2008).
Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS
tingkat area pelayanan.
1. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator)
digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat
pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya
mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko
pasca tindakan medik.
2.
Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi
akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat
(kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis
sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik.
Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety
Indikator patient
safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang
memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk
menunjukkan:
1.
Adanya
penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu.
2.
bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar
klinik atau terapi sebagaimana yang diharapkan
3.
tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi
pelayanan
4.
disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan
(pemerintah vs swasta atau urban vs rural). (Dwiprahasto, 2008).
Selain penjelasan diatas
metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient safety karena metode
tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan,
yaitu seorang perawat professional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif
dan kolaboratif. (Sitorus, 2006). Pada metode ini juga memungkinkan pelayanan keperawatan yang
menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien.
(Nursalam, 2002). Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh
kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan.
1.2.5
Cara Mencapai Pasien Safety Di Rumah Sakit
10 Cara untuk meningkatkan “patient
safety” di rumah sakit:
1.
Identifikasi
pasien secara benar.
Gunakan setidaknya 2 cara untuk
mengidentifikasi pasien. Contoh, gunakan nama pasien dan tanggal lahir. Ini
dilakukan untuk meyakinkan bahwa setiap pasien mendapatkan pengobatan dan
tindakan yang sesuai untuk pasien yang bersangkutan.
Contoh : pastikan bahwa benar pasien
mendapatkan darah yang benar ketika mereka mendapatkan tranfusi darah à dengan cara menanyakan 2 identitas
pasien seperti : nama dan tanggal lahir
2.
Meningkatkan
komunikasi karyawan.
a.
Baca
kembali instruksi baik lisan maupun tulisan kepada orang yang memberikan
instruksi.
b.
Buat
daftar singkatan dan symbol yang tidak biasa digunakan untuk dijadikan standar
RS.
c.
Dapatkan
hasil pemeriksaan seperti : laboratorium, radiologi pada orang yang tepat/
petugas yang berwenang.
d.
Buat
langkah – langkah/ SPO (standar Prosedur Operasional) untuk karyawan ikuti ketika mengirimkan atau
mengoperkan pasien kepada pengasuh selanjutnya/ keluarga. Langkah – langkah
tersebut harus membantu karyawan menjelaskan tentang perawatan pasien. Pastikan
ada waktu untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dari pasien/klg pasien kepada
karyawan.
3.
Gunakan
obat – obatan secara benar.
a.
Buat
daftar obat – obatan yang memiliki nama yang mirip atau terdengar mirip. Revisi
daftar tersebut setiap tahun.
b.
Berikan
label pada semua obat – obatan yang belum diberi label. Contohnya, obat –
obatan dalam spuit, mangkok atau container.
c.
Berikan
perhatian khusus atau extra untuk pasien yang mendapatkan obat – obatan
pengencer darah.
4.
Cegah
Infeksi.
a.
Gunakan
cara – cara mencuci tangan yang bersih dari WHO atau Pusat pencegahan dan
pengontrolan infeksi.
b.
Laporkan
adanya kematian atau kecelakaan yang diakibatkan infeksi pada pasien yang
terjadi di RS.
c.
Gunakan
petunjuk yang telah teruji untuk mencegah infeksi yang sulit untuk diobati.
d.
Gunakan
petunjuk yang telah teruji untuk mencegah infeksi pada darah.
e.
Gunakan
langkah – langkah yang aman untuk mengobati/merawat bagian tubuh yang telah
dioperasi.
5.
Cek
obat – obatan pasien.
a.
Cari
tau setiap obat yang dipakai/ diminum oleh pasien. Pastikan bahwa penggunaan
obat baru tidak ada kontraindikasi jika digunakan bersamaan dengan obat yang
sedang diminum.
b.
Berikan
daftar obat pasien kepada pasien/ keluarga pasien sebelum pasien pulang ke
rumah. Dan jelaskan obat – obatan yang diberikan.
c.
Beberapa
pasien kadang mendapatkan obat – obatan dalam jumlah yang kecil atau dalam
waktu yang singkat. Pastikan bahwa obat – obatan tersebut tidak memiliki
kontraindikasi pada pasien yang saat ini sedang menggunakaan obat – obatan.
6.
Cegah
pasien jatuh.
Identifikasi pasien – pasien yang
berpotensial jatuh. Seperti: Apakah pasien menggunakan obat– obatan yang bisa
menyebabkan mereka lemah, pusing atau mengantuk? Ambil tindakan untuk mencegah
pasien tersebut jatuh.
7.
Bantu
pasient untuk terlibat dalam perawatan.
Beritahukan setiap pasien dan
keluarganya bagaimana melaporkan keluhan mereka tentang keselamatan.
8.
Identifikasi
resiko keselamatan pasien.
Identifikasi pasien mana yang beresiko
untuk bunuh diri.
9.
Awasi
pasien secara seksama jika ada perubahan dalam kondisi kesehatannya dan respon
segera jika mereka membutuhkan bantuan.
Buat sistem alur bagaimana mendapatkan
pertolongan dari petugas yang terlatih khusus ketika kesehatan pasien terlihat
memburuk.
10. Cegah kesalahan dalam pembedahan.
a.
Buat
SPO (standar Prosedur Operasional) untuk petugas ikuti sehingga semua dokumen
yang dibutuhkan untuk operasi diselesaikan sebelum operasi dimulai.
b.
Tandai
bagian tubuh mana yang akan dilakukan operasi. Libatkan pasien dalam melakukan
hal tersebut.
1.3 Asuhan Keperawatan Kritis Dengan Gangguan Sistem
Cardiovaskuler Pada pasien dengan infark
miocard acut (IMA)
1.3.1
Konsep
Penyakit
1.
Pengertian
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan
jantung akibat suplaii darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner
berkurang. (Brunner & Sudarth, 2002 ; )
Infark miocard akut adalah nekrosis miocard akibat aliran
darah ke otot jantung terganggu. (Sudoyo, 1999 ; 437)
Infark Miokard
(IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen
berkepanjangan. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokard yang tidak teratasi. Sel-sel
miokardium mulai mati setelah 20 menit mengalami kekurangan oksigen. (Corwin,
2009 : 495).
Acute Myocard Infark (AMI) adalah suatu keadaan gawat
darurat jantung dengan manifestasi klinik berupa perasaan tidak enak di dada
atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard (Wikipedia, Maret
23,2010)
2.
Penyebab/Etiologi
Infark Miokard akut
(AMI) terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga
menyebabkan kematian sel-sel jantung. Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut diantaranya:
a.
Berkurangnya
suplai oksigen ke miokard
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor,
antara lain:
1) Faktor pembuluh darah
Kaitan dengan kepatenan
pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang
bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis (arteroma
mengandung kolesterol), spasme (kontraksi otot secara mendadak/ penyempitan
saluran), dan arteritis (peradangan arteri).
Spasme pembuluh darah
bisa juga terjadi dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal antara lain: (i)
mengkonsumsi obat-obatan tertentu, (ii) stress emosional atau nyeri, (iii)
terpapar suhu dingin yang ekstrim, (iv) merokok.
2) Faktor Sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah
dari jantung ke seluruh tubuh sampai lagi ke jantung. Kondisi yang menyebabkan
gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis (penyempitan
aorta dekat katup) maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-katup jantung
(aorta, maupun trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardiak out put (COP)
b.
Meningkatnya
kebutuhan oksigen tubuh
Pada penderita penyakit jantung, meningkatnya kebutuhan
oksigen tidak mampu dikompensasi diantaranya dengan meningkatnya denyut jantung
untuk meningkatkan COP. Oleh
karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen
akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivitas berlebih, emosi, makan
terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark
karena semakin banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen
menurun akibat dari pemompaan yang tidak efektive.
Faktor risiko :
a. Merokok
terlalu berlebihan selama bertahun-tahun
Menghirup asap rokok menyebabkan peningkatan kadar CO.
Hemoglobin lebih mudah berikatan dengan CO daripada oksigen. Jadi oksigen yang
disuplai ke jangtung juga berkurang sehingga kerja jantung semakin berat.
Selain itu, asam nikotinat pada tembakau memicu pelepasan katekolamin yang
menyebabkan vasokonstrisi pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan adhesi
trombosit yang menyebabkan peningkatan terbentuknya trombus.
b. Diabetes
Mellitus
Penderita Diabetes Mellitus memiliki prevalensi,
prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi. DM
menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna meningkatkan timbulnya
aterosklerosis. DM juga berkaitan dengan propilerasi sel otot polos dalam
pembuluh arteri koroner; sintesis kolesterol; trigliserida; dan pospolipid ;
peningkatan ADL/C ; dan kadar HDL yang rendah. Hiperglikemi yang terjadi pada
penderita Dm juga menyebabkan peningkatan agregasi trombus.
c.
Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri; sehingga beban kerja
jantung bertambah. Sebagai akibatnya, terjadi hipertropi ventrikel untuk
meningkatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan
curah jantung dengan kompensasi hipertropi akhirnya terlampaui, terjadi
dilatasi dan payah jantung. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan
oksigen miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokradium
terjadi akibat hipertropi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung
sehingga akhirnya akan menyebabkan Angina atau Infark Miokard.
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat
untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran
ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya
hipertensi. Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan
terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina
pektoris yang kemudian dapat berkembang menjadi AMI. Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.
d.
Hiperlipidemia
Penyempitan dan penyumbatan pembuluh arteri koroner
disebabkan oleh penumpukan dari zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) yang
makin lama makin banyak dan menumpuk di bawah lapisan terdalam (endotelium)
dari dinding pembuluh nadi. Hal ini mengurangi atau menghentikan aliran darah ke
otot jantung sehingga mengganggu kerja jantung sebagai pemompa darah.
Kolesterol Total
Kadar kolesterol total yang sebaiknya adalah ( 200 mg/dl,
bila > 200 mg/dl berarti resiko untuk terjadinya PJK meningkat . Kadar
kolesterol Total normal <200 mg/dl , agak tinggi (Pertengahan) 200-239
mg/dl, Tinggi >240 mg/dl.
LDL Kolesterol
LDL (Low Density Lipoprotein) kontrol merupakan jenis
kolesterol yang bersifat buruk atau merugikan (bad cholesterol) : karena kadar
LDL yang meninggi akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah. Kadar LDL
Kolesterol;
v
Normal
< 130 mg/dl
v
Agak
tinggi (Pertengahan) 130-159 mg/dl
v
Tinggi
>160 mg/dl
HDL
Koleserol
HDL (High Density
Lipoprotein) kolesterol merupakan jenis kolesterol yang bersifat baik atau
menguntungkan (good cholesterol) karena mengangkut kolesterol dari pembuluh
darah kembali ke hati untuk di buang sehingga mencegah penebalan dinding
pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses arterosklerosis.
Kadar HDL Kolesterol
v
Normal
<45 mg/dl
v
Agak
tinggi (Pertengahan) 35-45 mg/dl
v
Tinggi
>35 mg/dl
Jadi makin rendah kadar HDL kolesterol, makin besar
kemungkinan terjadinya PJK. Kadar HDL kolesterol dapat dinaikkan dengan
mengurangi berat badan, menambah exercise dan berhenti merokok.
Kadar Trigliserida
Trigliserid terdiri dari 3 jenis lemak yaitu Lemak jenuh,
Lemak tidak tunggal dan Lemak jenuh ganda. Kadar trigliserid yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk terjadinya PJK.
Kadar Trigliserid
v
Normal
< 150 mg/dl
v
Agak
tinggi 150 – 250 mg/dl
v
Tinggi
250-500 mg/dl
v
Sangat
Sedang >500 mg/dl
e.
Obesitas
Obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen
dan berperan pada gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan (terutama
obesitas abdominal) dan ketidakaktifan fisik berperan dalam terbentuknya
resistensi insulin.
f.
Diet.
Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah
lemak di dalam susunan makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika
rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol
cenderung tinggi. Sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran
dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar kolesterol rendah dan didapatkan
resiko PJK yang lebih rendah dari pada orang Amerika.
(Brunner & Suddarth. 2002 : 778 ; Wikipedia, Maret 23, 2010)
3.
Tanda dan Gejala
·
Nyeri
dada yang terasa berat dan menekan biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri
dapat menyebar ke lengan atau rahang,kadang gejala terutama timbul dari
epigastrium.
·
Sesak
nafas dapat disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan ventrikel kiri.
·
Terjadi
mual dan muntah yang mungkin berkaitan dengan nyeri hebat
·
Perasaan
lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke otot rangka
·
Kulit
yang dingin dan pucat akibat vasokontriksi simpatis
·
Takikardi
akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung
·
Keadaan
mental berupa perasaan sangat cemas disertai perasaan mendekati kematian sering
terjadi, mungkin berhubungan dengan pelepasan hormon stres dan ADH (vasopresin)
·
Pengeluaran
urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta peningkatan
aldosteron dan ADH
·
Diaporesis
(keringat berlebihan),sakit kepala,mual muntah,palpitasi, gangguan tidur
·
Kehilangan
kesadaran karena perfusi cerebral yang tidak adekuat dan syok kardiogenik, bisa
juga menyebabkan kematian yang tiba-tiba.
(Corwin, 2009 : 497; Gray dkk,2002 : 136-137)
Gambar : Ciri orang Infark Miokard Akut
Gambar : Area yang mengalami
nyeri
Area yang merah adalah daerah yang paling
sering mengalami nyeri.
Area merah muda adalah daerah lain yang memungkinkan
terkena penyebaran nyeri.
4.
Patofisiologi dan
Pohon Masalah Keperawatan
Arterosklerosis,
spasme pembuluh darah, dan emboli trobus merupakan etiologi yang paling
sering menyebabkan terjadinya
infark miokardium. Terjadinya penyumbatan pembuluh darah koroner menyebabkan aliran darah ke seluruh miokardium
yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut menjadi terhambat.
Dengan terhambatnya aliran darah maka oksigen juga tidak
dapat disuplai ke sel-sel miokardium. Kebutuhan
oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang
mengalami gangguan menyebabkan terjadinya infark miokardium.. Sel-sel
miokardium tersebut mulai mati setelah 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Berkurangnya oksigen mendorong
miokardium untuk mengubah metabolism aerob menjadi metabolism anaerob.
Metabolism
anaerob melalui jalur glikolitik jauh lebih tidak efisien apabila dibandingkan
dengan metabolism aerob melalui fosforilasi oksidatif dan siklus krebs.
Pembentukkan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir
metabolism anaerob yaitu penimbunan asam laktat yang menyebabkan
nyeri dada yang bisa menyebar
ke lengan atau rahang,kadang gejala terutama timbul dari epigastrium. Tanpa ATP, pompa natrium kalium
berhenti dan sel terisi ion natrium dan air yang akhirnya menyebabkan sel pecah
(lisis). Dengan lisis, sel melepaskan kalium intrasel dan enzim intrasel, yang
mencederai sel-sel di sekitarnya.
Protein
intrasel mulai mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik dan ruang interstitial
dan ikut menyebabkan edema dan pembengkakan interstitial di sekitar sel
miokardium. Akibat dari kematian sel, tercetus reaksi inflamasi. Di tempat
inflamasi, terjadi penimbunan trombosit dan pelepasan faktor pembekuan. Terjadi
degranulasi sel mast yang menyebabkan pelepasan histamin dan berbagai
prostaglandin. Sebagian bersifat vasokontriksi. Dengan dilepaskannya berbagai enzim
intrasel dan ion kalium serta penimbunan asam laktat, jalur hantaran listrik jantung
terganggu. Hal ini dapat menyebabkan hambatan depolarisasi atrium atau
ventrikel atau terjadinya distritmia. Dengan matinya sel otot, pola listrik
jantung berubah, pemompaan jantung menjadi kurang terkoordinasi sehingga
kontraktilitasnya menurun.
Volume
sekuncup menurun sehingga terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Penurunan tekanan darah merangsang
respon baroreseptor, sehingga terjadi pengaktifan sistem saraf simpatis, sistem
renin-angiotensin, dan peningkatan pelpasan hormon antidiuretik. Hormon stres
(ACTH dan kortisol) juga dilepaskan disertai peningkatan produksi glukosa.
Pengaktifan sistem saraf parasimpatis berkurang. Dengan berkurangnya
perangsangan saraf parasimpatis dan meningkatnya rangsangan simpatis ke nodus
SA, kecepatan denyut jantung meningkat. Demikian juga pada ginjal, terjadi
penurunan aliaran darah sehingga produksi urin juga berkurang dan ikut
merangsang sistem renin-angiotensin. Perangsangan simpatis ke kelenjar keringat
dan kulit menyebabkan individu berkeringat dan merasa dingin.
Secara
singkat, semakin banyak darah (peningkatan preload) disalurkan ke jantung,
jantung akan memompa lebih cepat untuk melawan arteri yang menyempit
(peningkatan afterload) akibatnya beban jantung yang telah rusak tersebut
meningkat. Kebutuhan oksigen jantung juga meningkat. Hal ini mengakibatkan
semakin banyak sel jantung yang mengalami hipoksia.
Apabila
kebutuhan oksigen sel miokard tidak dapat dipenuhi, maka terjadi perluasan
daerah sel yang cedera dan iskemik di sekitar zona nekrotik yang akan berisiko
mengalami kematian. Akibatnya kemampuan pompa jantung semakin berkurang dan
terjadi hipoksia semua jaringan dan organ. Ketidakmampuan
ventrikel kiri untuk memompa darah menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
tekanan ventrikel kiri dan vena pulmonal. Hal ini meningkatkan tekanan
hidrostatik yang mengakibatkan cairan merembes keluar dan lolos ke jaringan
alveoli di sekitarnya melalui hubungan antara bronkioli dan bronki. Cairan ini
kemudian bercampur dengan udara selama pernapasan. Karena adanya timbunan
cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang dan udara tidak dapat
masuk sehingga gangguan pertukaran O2 dan CO2.
Metabolisme
anaerob / mediasi kimia Arterosklerosis Spasme pembuluh
darah Emboli Trombus Penyumbatan
pembuluh darah koroner Iskemia miocard Necrosis miocard Peningkatan asam
laktat Nyeri dada Cardiak out put
menurun Fungsi pompa
jantung menurun Nutrisi dan O2 ke jaringan menurun Gangguan Perfusi
jaringan ↓Difusi O2
dan CO2 Kerusakan
pertukaran gas Terjadi bendungan di paru-paru Cairan plasma
keluar ke alveoli dan jaringan sekitarnya Edema paru Mekanisme
kompensasi (↑Kerja Surfaktan) ↑Produksi mukus Bersihan Jalan
Nafas Tidak Efektif Pola Nafas Tidak
Efektif Hipoksia Kelemahan Intoleransi
aktivitas PK Syok Kardiogenik Volume darah menurun Ekspansi paru
tak maksimal
5.
Klasifikasi
Ada dua jenis infark miokardial (Sylvia, 1995 ; 590)
1. Infark Transmural
Infark yang mengenai
seluruh tebal dinding ventrikel. Biasanya disebabkan oleh aterosklerosis
koroner yang parah, plak yang mendadak robek dan trombosis oklusif yang superimposed.
2. Infark Subendokardial
Terbatas pada sepertiga
sampai setengah bagian dalam dinding ventrikel yaitu daerah yang secara normal
mengalami penurunan perfusi.
6.
Pemeriksaan
Diagnostik/Penunjang
1.
Pemeriksaan EKG
Hasil EKG yang menunjukkan infark
myocardium akut dikelompokkan menjadi infark gelombang Q, dan infark gelombang
non-Q. Perubahan hasil EKG yang
berhubungan dengan infark miocardium gelombang Q mencakup peningkatan segmen
ST, inversi gelombang T dan gelombang Q yang nyata pada sadapan yang terpasang
pada miocardium yang mengalami infark. Selang beberapa waktu segmen ST dan
gelombang T akan kembali normal; hanya gelombang Q tetap bertahan pada hasil
EKG yang menunjukkan adanya infark miocardium gelombang Q. Namun hanya separuh
hingga dua per tiga pasien infark miocardium akut yang menunjukkan pemulihan
elektrokardiografis klasik ini. Infark miocardium gelombang non-Q (non-Q-wave
MI, NQWMI) terjadi pada sekitar 30% pasien yang didiagnosa menderita infark miocardium.
Hasil pemeriksaan EKG pada NQWMI adalah penurunan segmen ST sementara atau
inversi gelombang T (atau keduanya) pada sadapan yng dipasang pada daerah
infark.
2.
Kreatinin kinase merupakan suatu enzim yang
dilepaskan saat terjadi cedera otot dan memiliki 3 fraksi isoenzim, yaitu
CK-MM, CK-BB, dan CK-MB, CK-BB paling banyak terdapat pada jaringan otak dan
biasanya tidak terdapat dalam serum. Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB
merupakan pertanda cedera otot yang paling spesifik seperti infark miocardium.
Setelah infark miocardium akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6
jam dengan kadar puncak dalam 18 hingga 24 jam dan kembali menurun hingga
normal setelah 2 hingga 3 hari.
3. Troponin jantung spesifik (yaitu
cTnT dan cTnI) juga merupakan petunjuk adanya cedera miocardium. Troponin
akan meningkat 4 hingga 6 jam setelah cedera moocardium setelah menetap selama
10 hari.
4. Proten
C-reaktiv (CRP) juga dianggap sebagai penanda biokimia pada cedera miocardium,
meningkat 4 sampai 6 jam dan mencapai puncaknya selama 10 hari.
5. Elektrolit :
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan dapat mempengaruhi
kontraktilitas, contoh hipokalemia atau hiperkalemia.
6. Sel Darah Putih : Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya
tampak pada hari kedua setelah IM sehubungan dengan proses inflamasi.
7. Kecepatan sedimentasi : Meningkat pada hari kedua sampai
ketiga setelah MI, menunjukkan inflamasi.
8. Kimia : Mungkin normal tergantung abnormalitas fungsi
atau perfusi organ akut atau kronis.
9. GDA/Oksimetri nadi : Dapat menunjukkan hipoksia atau
proses penyakit paru akut atau kronis.
10. Kolesterol/Trigeliserida serum : Meningkat, menunjukkan
arteriosklerosis sebagai penyebab IM.
11. Foto dada : Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran
jantung diduga GJK atau aneurisme ventrikuler.
12. Ekokardiogram : Mungkin
dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup/dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup. Terdapat gerakan abnormal
dinding yang baru
terjadi (namun sangat
tergantung operator dan kecermatan pembacaan)
13. Pemeriksaan Pencitraan
nuklir:
-
Thalium : Mengevaluasi aliran darah miokardia dan status sel miokardia,
contoh
lokasi/luasnya IM akut/sebelumnya.
-
Technetium : Terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik.
14. Pencitraan darah jantung/MUGA: Mengevaluasi penamoilan
ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional, dan fraksi ejeksi (aliran
darah).
15. Angiografi koroner : Menggambarkan penyempitan/sumbatan
arteri koroner dan biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi
dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase akut IM kecuali
mendekati bedah jantung angioplasty/emergensi.
16. Digital substraction angiography (DSA): Teknik yang
digunakan untuk menggambarkan status penanganan arteri dan untuk mendeteksi
penyakit arteri perifer.
17. Nuclear magnetic resonance (NMR): Memungkinkan
visualisasi aliran darah, serambi jantung/katup ventrikel, katup, lesi
vaskuler, pembentukan plak, area nekrosis/infark, dan bekuan darah.
18. Test stress olahraga : Menentukan respon kardiovaskuler
terhadap aktivitas (sering dilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada
fase penyembuhan).
19. Pemeriksaan radiologi disini seperti pemeriksaan EKG:
Daerah Infark |
Perubahan EKG |
Anteriol |
Elevasi segmen ST pada
lead V3-V4, perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF. |
Inferior |
Elevasi segmen T pada lead
II, II, aVF, perubahan resiproakal (depresi ST) V1-V6, I, aVL |
Lateral |
Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5-V6 |
Posterior |
Perubahan resiprokal (depresi
ST) pada II, III, aVF, terutama gelombang R pada V1-V2 |
Vetrikel kanan |
Perubahan gambaran dinding
inferior |
Gambaran spesifik pada rekaman EKG:
- Pemeriksaan
EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai stemi
- Pemeriksaan
ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD sebagai
center untuk menentukan terapi
- EKG serial
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen st.
(Corwin, 2009 : 496 ; Doenges, 1999 : 85 ; Hudag &
Gallo : 386-387 ; Brunner
& Suddarth. 2002 : 790).
7.
Komplikasi
·
Tromboembolus
: akibat kontraktilitas miokard berkurang
·
Gagal
jantung kongesti yang merupakan kongesti
akibat disfungsi miokardium. Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanisme
yang paling sering terjadi setelah infark miokardium.
·
Distritmia
: paling sering terjadi, terjadi akibat perubahan keseimbangan elektrolit dan
penurunan pH
·
Syok
kardiogenik : apabila curah jantung sangat kurang dalam waktu lama. Syok kardiogenik terjadi akibat
disfungsi nyata ventrikel kiri sesudh
mengalami infark yang masih, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.
·
Ruptur
miokardium
·
Perikarditis
: terjadi sebagai bagian dari reaksi inflamasi setelah cedera dan kematian sel
·
Setelah,
infark miokard sembuh, muncul jaringan parut yang menggantikan sel-sel
miokardium yang mati.
·
Aneurisme
ventrikel. penonjolan
paradoks sementara pada iskemia miokardium sering terjadi, dan pada 15% pasien,
aneurisme ventrikel akan menetap. Aneurisme ini sering terjadi pada permukaan
anterior atau apeks jantung.
·
Defek septum ventrikel ruptur jantung
·
Disfungsi otot papilaris
·
Oedema
paru akut adalah timbunan cairan abnormal dalam paru,baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Oedema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes ke luar dan menimbulkan dispnu yang sangat berat. Oedema terutama paling sering ditimbulkan oleh kerusakan
otot jantung akibat MI acut. Perkembangan oedema paru menunjukan bahwa fungsi
jantung sudah sangat tidak adekuat.
(Corwin, 2009 : 498 ; Sylvia, A Price,1995 :
594-596 Brunner &
Suddarth. 2002 : 798).
8.
Terapi/Penatalaksanaan
Rencana
tindakan yang dapat dilakukan :
a.
Pertahankan
kepatenan jalan nafas
b.
Antisipasi
dalam penggunaan alat bantu pernafasan
c.
Antisipasi
dalam menggunakan ventilasi dengan bag
valve mars (BVM) jika usaha ventilasi tidak adekuat.
d.
Persiapakan
untuk ventilasi mekanik (dengan atau tanpa PEEP / positive End Exspiratory
Pressure) Setelah menempatkan alat bantu nafas seperti inkubasi.
e.
Diberikan
oksigen untuk meningkatkan oksigenasi darah sehingga beban atas jantung
berkurang dan perfusi sistemik meningkat
f.
Jika
tidak ada nadi awali dengan bantuan hidup dasar/Lanjutan (RJP)
g.
Dapatkan akses untuk IV, ambil sampel darah
untuk pemeriksaan laboratorium dan berikan Normal salin dengan frekuensi
terbuka, Pada pasien IMA di indikasikan untuk terapi trombolitik, pemasukan
jarum/ tindakan penusukan yang berlebihan seharusnya di hindari seperti untuk
AGD dan kateter IV.
h.
Dapatkan
rekaman EKG 12-15 lead dan koreksi gejala disritmia (Misalnya : Bradikardi dan
Prematur Kontraksi Ventrikel).
i.
Koreksi
awal adanya kekurangan cairan atau meningkatkan preload (Infark Ventrikel
Kanan) dengan hati-hati, ini di kontraindikasikan pada pasien dengan kongesti
Pulmonal.
j.
Berikan
caiaran Infus dengan bolus kecil, normal salin, larutan ringer laktat, produk
darah (Jika data laboratorium mendukung).
k.
Monitor
status hemodinamik pasien
l.
Dapatkan sampel AGD untuk menetapkan :
m.
Koreksi
ketidak seimbangan asam basa, alkalosis respiratori kemungkinan terjadi pada
fase kompensasi, tidak diperlukan tindakan, kemungkinan asidosis metabolic pada
fase trdak terkompensasi dan fase irreversible, pemberian sodium bikarbonat
tidak di anjurkan untuk meningkatkan PH (koreksi asidosis metabolic terjadi
sebagai hasil perbaikan perfusi dan oksigenasi)
n.
Atasi
hipoksemia
o.
Pasang
kateter urine
p.
Pasang
NGT jika di indikasikan untuk mencegah aspirasi
q.
Berikan
agen farmokologis tunggal atau kombinasi :
·
Menurunkan
preload ; furosemid (lasik), nitrat (nitrogliserin), morphin sulfat (digunakan
untuk mengurangi nyari, reduksi preload adalah efek sekundernya).
·
Meningkatkan
kontraktilitas ; dofamin hidroklorida (intropin), dobutamin hidroklorida (dobutrex),
amrinone laktat (inocor), milrinone (promacor).
·
Menurunkan
afterload ; nitropruside sodium (nipride), nitrat (nitrogliserin), angiotensin
convertin enzim (ACE) inhibitor misalnya ; captopril (capoten), enapril
(vasotec)
·
Meningkatkan
afterload ; norepinephrine bitartrate (levophed), epinefrin.
r.
Berikan
agen farmokologis melalui IV atau rute intraosseous
s. Persiapakan pasien untuk terapi
reperfusi atau kaji alat misalnya ; PTCA
/ Percutaneous Transluminal Coronary Angiplasty,
Intra Aortic Ballon Pump / IABP jika diperlukan.
t. Pertahankan ketenangan
u. Minimalkan rangsangan lingkungan .
v. Monitoring secara berkelanjutan dan
kaji respon pasien.
(ENA, 2000 : 69
; Corwin, 2009 : 499).
1.3.2 KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Primer assessment
a.
Data Subjektif
a)
Keluhan
utama
Pasien
mengatakan sesak
b)
Riwayat
penyakit saat ini
c)
Riwayat
sebelumnya
Riwayat merokok, riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, riwayat penyakit hipotensi, hipertensi, diabetes melitus,
hipoksia, obesitas, hiperlipidemia
b.
Data Objektif
a)
Airway
§
Terdapat
sumbatan atau penumpukan secret
b)
Breathing
§
Pasien
tampak sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
§
RR
lebih dari 24 kali/menit,
§
irama
irreguler dangkal
§
terdapat
suara nafas wheezing, krekel
§
pasien
tampak menggunakan otot bantu nafas
§
tampak
ekspansi dada tidak penuh
c)
Circulation
§
Takikardi
/ nadi teraba lemah dan cepat (Normal : 60 – 100 x/menit)
§
TD
meningkat / menurun
§
Edema
pada ekstremitas
§
Akral
dingin dan berkeringat
§
Kulit
pasien tampak pucat, sianosis pada mukosa mulut dan kuku
§
Output
urine menurun
§
Mual
dan muntah
§
penurunan
turgor kulit
§
diaphoresis
§
palpitasi
d)
Disability
§ Lemah/fatique
§ Kehilangan
kesadaran
Sekunder assessment
a)
Eksposure
§
Tidak ada jejas atau kontusio pada dada,
punggung dan abdomen.
§
Adanya
edema.
b)
Five Intervention/Full set of vital sign
§
Perubahan hasil EKG yang berhubungan dengan infark miocardium
gelombang Q mencakup peningkatan segmen ST
§
Pemeriksaan Tanda Vital (terjadi peningkatan denyut nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah)
§
GDA/Oksimetri
nadi : Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
c)
Give Confort
§ Nyeri
dada yang terasa berat dan menekan biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri
dapat menyebar ke lengan atau rahang,kadang gejala terutama timbul dari
epigastrium.
d)
Head to toe
§
Kepala
dan leher : Adanya
sianosis dan bendungan vena jugularis
§
Daerah
dada : Tidak ada jejas akibat
trauma, suara nafas ronchi, suara jantung S4 / murmur.
§
Daerahy Abdomen : Adanya hematomegali.
§ Daerah
Ektremitas : Adanya
edema, penurunan kekuatan otot karena kelemahan, Kulit yang dingin dan pucat
akibat vasokontriksi simpatis
e)
Inspect the posterior surface
§
Tidak
ada jejas
2. Diagnosa
Keperawatan
1.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret
2.
Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
3.
Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan.
4.
Perubahan
perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kegagalan pompa jantung
5.
Nyeri
akut berhubungan dengan ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen pada
miokardium
6.
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai energy.
7.
Pk
: Syok kardiogenik
3.
Rencana Tindakan
NO. |
DIAGNOSA KEPERAWATAN |
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL |
INTERVENSI |
RASIONAL |
1. |
Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi mukus |
Setelah diberikan askep selama...x 5 menit diharapkan jalan nafas pasien kembali
efektif. Dengan kriteria hasil: ·
Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang ·
Frekuensi pernafasan dalam rentang normal ( 16 – 24 x /
menit) ·
Suara napas normal (vesikular) ·
Pasien tampak dapat batuk efektif ·
Tidak terdapat mukus |
Mandiri
1.
Auskultasi adanya suara napas tambahan seperti wheezing, krekel 2.
Berikan posisi semi fowler jika tidak terdapat
kontraindikasi. 3.
Bantu dan ajarkan pasien nafas dalam dan batuk efektif. 4.
Pantau tanda- tanda vital pasien terutama frekuensi
pernafasan. 5.
Lakukan suction atas indikasi. Kolaborasi
|
Mandiri
1.
Suara napas bronkial normal diatas bronkus dapat juga,
ronkhi, terdengar sebagai respon dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan
spasme/obstruksi saluran napas. 2.
Memberikan kenyamanan dan meningkatkan ekspansi
paru-paru. 3.
Batuk efektif merangsang secret untuk keluar. 4.
Adanya secret pada saluran pernafasan mempengaruhi
frekuensi pernafasan. 5.
Menstimulasi batuk atau pembersihan saluran napas
secara mekanis pada pasien yang tidak mampu melakukannya dikarenakan
ketidakefektifan batuk atau penurunan kesadaran. Kolaborasi
|
2. |
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
ekspansi paru tak maksimal |
Setelah diberikan askep selama ....x 5 menit
diharapkan pola nafas pasien kembali efektif. Dengan kriteria:
|
Mandiri
1.
Mengkaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi
dada. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan otot bantu/pelebaran nasal. 2.
Auskultasi bunyi napas dan catat adanya napas ronchi. 3.
Pantau tanda vital Kolaborasi 1.
Panatu nadi oksimetri 2.
Berikan oksigen dengan
metode yang tepat. |
Mandiri
Kolaborasi
|
3. |
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
penurunan difusi O2 dan CO2 |
Setelah
diberikan askep selama...x 5 menit diharapkan
pertukaran gas kembali efektif. Dengan
kriteria : 1.
Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang 2.
Tidak terjadi sianosis 3.
Hasil AGD dalam batas normal (PCO2 : 35-45 mmHg, PO2 :
95-100 mmHg) |
Mandiri
1.
Mengkaji frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat
penggunaan otot aksesori, napas bibir, ketidak mampuan berbicara / berbincang 2.
Mengobservasi
warna kulit, membran mukosa dan kuku, serta mencatat adanya sianosis perifer
(kuku) atau sianosis pusat (circumoral) 3.
Mengobservasi kondisi yang memburuk. Mencatat adanya
hipotensi,pucat, cyanosis, perubahan dalam tingkat kesadaran, serta dispnea
berat dan kelemahan. 4.
Menyiapkan untuk
dilakukan tindakan keperawatan kritis jika diindikasikan Kolaborasi
|
Mandiri
Kolaborasi
|
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
GANGGUAN
SISTEM CARDIOVASKULER
PADA
KLIEN DENGAN DECOMCORDIS (GAGAL JANTUNG)
A. DEFINISI
v
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya
untuk mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh (Dr. Ahmad
Ramali, 1994).
v
Dekompensasi
kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi
kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani,
1998; Price ,1995).
v
Gagal
jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan pengisian
ventrikel kiri (Noer,1996) .
v
Gagal
jantung sering disebut gagal jantung kongestif, adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi (Smeltzer,2001).
B. ETIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan
timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban
awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang
meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel.
Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal
sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup
atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis
konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang
paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada
gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau
fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).
Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga
penyebab :
Ø
Stroke
volume : isi sekuncup
Ø
Kontraksi
kardiak
Ø Preload dan afterload
Meliputi :
1. Kerusakan langsung pada jantung
(berkurang kemampuan berkontraksi), infark myocarditis, myocarial fibrosis,
aneurysma ventricular.
2. Ventricular
overload terlalu banyak pengisian dari ventricle.
·
Overload tekanan (kebanyakan
pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri pulmonal, hipertensi pulmonary.
·
Keterbatasan pengisian sistolik
ventricular.
·
Pericarditis konstriktif atau
cardomyopati, atau aritmi, kecepatan yang tinggi,tamponade, mitral stenosis.
·
Ventrucular overload (kebanyakan
preload) regurgitasi dari aourta, defek seftum ventricular.
Menurut Smeltzer, (2001) ,penyebab gagal jantung meliputi
:
1) Kelainan otot jantung misalnya : aterosklerosis
koroner (keadaan patologis dimana terjadi penebalan arteri koronoris oleh
lemak “streak”).
2) Hipertensi sistemik (peningkatan
tekanan darah diatas 140/90 MmHg) atau hipertensi pulmonal (peningkatan
tekanan darah diparu-paru akibat kongesti pulmonal).
3) Peradangan dan penyakit degeneratif,
misalnya : miokarditis (peradangan pada otot jantung), endokarditis (penyakit
infeksi pada endokard atau katup jantung) rematik (setiap kondisi yang disertai
nyeri dan kaku pada musculoskeletal)
4) Penyakit jantung lain, misalnya : pada
mekanisme gangguan aliran darah melalui jantung (stenosis atau penyempitan
katup semilunar dan katup alveonar), pada peningkatan afterload mendadak
hipertensi maligna (peningkatan tekanan darah berat disertai kelainan pada
retina,ginjal dan kelainan serebal).
5) Faktor siskemik, misal : pada
meningkatnya laju metabolisme (demam tiroktosikosis) meningkatnya kebutuhan
oksigen jaringan (hipoksia atau berkurangnya oksigen dalam darah, anemia atau
berkurangnya kadar hemoglobin), asidosis metabolik dan abnormal elektrolit
dapat menurunkan kontraktilitas otot jantung.
C. PATOFISIOLOGI
Penyebab Decompensasi Cordis menurut
Smeltzer (2001), yaitu mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah
dari curah jantung normal, bila curah jantung berkurang system saraf simpatis
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan perfusi jaringan yang
memadai maka volume sekuncuplah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung masalah utamanya adalah
kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung dan volume sekuncup itu dipengaruhi
tiga factor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload ,jika
salah satu dari ketiga factor tersebut terganggu maka curah jantungnya akan
berkurang. Curah jantung yang menurun menyebabkan kongesti jaringan yang
terjadi akibat peningkatan tekanan arteri atau vena kongesti paru terjadi
karena ventrikel kiri gagal memompa darah dari paru. Peningkatan tekanan dalam
sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong keparu, manifestasinya meliputi
dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi, bunyi jantung S3, kecemasan dan
kegelisahan.
Bila ventrikel kanan gagal
mengakibatkan kongesti visera dan jaringan perifer, sebagai akibat sisi
kanan jantung tidak mampu mengosongkan darah secara adekuat. Manifestasinya
yaitu Oedema dependen, hepatomegali, pertambahan berat badan, asites,
distensi vena jugularis.
Menurut Nettina (2002), penurunan
kontraktilitas miokardium, pada awalnya hal ini hanya timbul saat aktivitas
berat atau olah raga dan tekanan vena juga mulai meningkat dan terjadilah
vasokontiksi luas, hal ini kemudian meningkatkan afterload sehingga
curah jantung semakin turun.
Menurut Hudak (1997), respon terhadap
penurunan curah jantung untuk mempertahankan perfusi normal yaitu peningkatan
tonus otot simpatis sehingga meningkatkan frekuensi jantung, tekanan darah,
kekuatan kontraksi dan respon fisiologis kedua adalah terjadinya retensi air
dan natrium, akibat adanya penurunan volume darah filtrasi.
Patofisiologi
decompensasi cordis/ gagal jantung menurut Price (1995) adalah sebagai
berikut:
1. Gagal jantung kiri
Kegagalan dari
pemompaan oleh ventrikel kiri mengakibatkan curah jantung menurun. Akibat ke
depan menimbulkan gejala kelemahan atau kelelahan. Sedangkan akibat ke belakang
mengakibatkan toleran dan volume akhir diastole meningkat sehingga terjadi
bendungan vena pulmonalis, kemudian terjadi di paru-paru. Akibat adanya sisa
tekan di ventrikel kiri mengakibatkan rangsang hipertrofi sel yang
menyebabkan kardiomegali. Beban atrium kiri meningkat dan akhirnya
terjadi peningkatan beban vena pulmonalis, kemudian mendesak paru-paru dan
akhirnya terjadi oedema. Hemoptisis dapat terjadi pada dekompensasi
kordis karena dinding kapiler jantung sangat tipis dan rentan sehingga dapat
mengakibatkan perdarahan.
2. Gagal jantung kanan
Gangguan pompa
ventrikel kanan mengakibatkan aliran darah ke paru-paru menurun ada akhirnya
curah jantung menurun. Tekanan dan volume akhir diastole ventrikel meningkat
sehingga terjadi bendungan di atrium kanan yang mengakibatkan bendungan vena
kava. Akibat bendungan di vena kava maka aliran vena hepatikum, vena dari lien
terbendung akhirnya timbul hepatosplenomegali, asites, edema perifer terutama
kaki.
D. KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi Decompensasi
Cordis adalah, gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri (Tambayong,
2000).
1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung
kiri
Dengan berkurangnya curah jantung pada
gagal jantung mengakibatkan pada akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih
banyak dari keadaan keadaan normal sehingga pada masa diatol berikutnya akan
bertambah lagi mengakibatkan tekanan distol semakin tinggi, makin lama terjadi
bendungan didaerah natrium kiri berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas
normal pada atrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan
vena pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan
masih sehat memompa darah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam
waktu cepat tekanan hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi
sehingga melampui 18 mmHg dan terjadi transudasi cairan dari pembuluh kapiler
paru-paru.
Pada saat peningkatan tekanan arteri
pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanin tertisiel
bronkus mengakibatkan edema aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukan
adanya bunyi eksspirasi dan menjadi lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial
fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan di kapiler makin meninggi
cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari saluran limfatik karena
ketidaka mampuan limfatik untuk, menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan
tertahan dijaringan intertissiel paru-paru yang makain lama akan menggangu
alveoli sebagai tempat pertukaran udara mengakibatkan udema paru disertai sesak
dan makin lama menjadi syok yang lebih dikenal dengan syak cardiogenik
diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan rendah serta perfusi menjadi
sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang berakibat
kematian.
Gagalnya kkhususnya pada ventrikel
kiri untuk memompakan darah yang mengandung oksigen tubuh yang berakibat dua
antara lain:
Tanda-tanda dan gejela penurunan
cardiak output seperit dyspnoe de effort (sesak nafas pada akktivitas fisik,
ortopnoe (sesak nafas pada saat berbaring dan dapat dikurangi pada saat duduk
atau berdiri.kemudian dispnue noktural paroksimalis (sesak nafas pada malam
hari atau sesak pada saat terbangun)
Dan kongesti paru seperti menurunnya
tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan pada pusat pernafasan,
edema paru, takikakrdia,
Disfungsi diatolik, dimana
ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses aktif yang tergantung pada energi
) dan kekakuan dindiing ventrikel.
2. Decompensasi cordis kanan / gagal
jantung kanan
Kegagalan venrikel kanan akibat bilik
ini tidak mampu memeompa melawan tekanan yang naik pada sirkulasi pada
paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam sirkulasi sistemik,
peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk
kedalam (edema perifer) (long, 1996). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak
dapat khususnya ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi dengan optimal ,
terjadi bendungan diatrium kanan dan venakapa superior dan inferiordan tampak
gejal yang ada adalah udemaperifer, hepatomegali, splenomegali, dan tampak
nyata penurunan tekanan darah yang cepat. Hal ini akibat vetrikel kanan pada
saat sisitol tidak mampu memompa darah keluar sehingga saat berikutnya tekanan
akhir diastolik ventrikel kanan makin meningkat demikian pula mengakibatkan
tekanan dalam atrium meninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava supperior
dan vena kava inferior serta seluruh sistem vena. Tampak gejala klinis adalah
terjadinya bendungan vena jugularis eksterna, vena hepatika (tejadi
hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan bendungan-bedungan pada pada
vena-vena perifer. Dan apabila tekanan hidristik di pembuluh kapiler meningkat
melampui takanan osmotik plasma maka terjadinya edema perifer.
Berdasarkan hubungan antara aktivitas
tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai
berikut :
I.
Pasien
dg P. Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari
II.
Pasien
dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit, akan
tetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta
angina
III.
Pasien
dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya
merasa sehat jika beristirahat.
IV.
Pasien
dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak
nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.
E. MANIFESTASI
KLINIK
Adapun tanda dan gejala decompensasi cordis menurut Chung (1995)
adalah sebagai berikut:
1.
Kelelahan/ kelemahan.
2.
Dispnea.
3.
Ortopne.
4.
Dispne nokturia paroksimal.
5.
Batuk.
6.
Nokturia.
7.
Anoreksia.
8.
Nyeri kuadran kanan atas.
9.
Takikardia.
10. Pernapasan cheyne-stokes.
11. Sianosis.
12. Ronkhi
basah
13. Peninggian
tingkat pulsasi vena jugularis.
14. Hepatosplenomegali.
15. Asites.
16. Edema perifer
Menurut Tambayong (2000), gagal jantung (decompensasi cordis) dimanifestasikan
sesuai klasifikasinya:
1. Gagal jantung kiri, ditandai :
a. Edema Pulmo (penumpukan cairan pada rongga dada)
b. Dispnea (sesak nafas)
c. Wheezing (mengi’jawa)
d. Mudah lelah
e. Ansietas (perasaan cemas)
2. Gagal jantung kanan, ditandai :
a. Oedem depend (penumpukan cairan pada daerah distal
dari jantung)
b. Hepatomegali (pembesaran hati)
c. Asites (penumpukan cairan pada rongga peritoneum)
d. Distensi vena jugularis
(adanya bendungan pada vena jugularis)
F. PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1) EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler,
penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis
: takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau
lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2) Scan jantung (Multigated
Alquistion/MUGA), tindakan
penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
3) Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal
merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi
kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri
kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal
dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas (Wilson Lorraine M, 2003).
4)
Rontgen
dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, perubahan pembuluh darah mencerminkan peningkatan
tekanan pulmonal, bulging pada perbatasan jantung kiri dapat menunjukkan
aneurisma ventrikel.
5)
Enzim
hepar : meningkat dalam gagal kongesti hepar.
6) Elektrolit serum yang mengungkapkan
kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodilusi darah dari adanya kelebihan
retensi air.
7)
Oksimetri
nadi : saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal jantung kanan akut
memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau gagal jantung kronis.
8)
Blood
Urea Nitrogen, Kreatinin : peningkatan blood nitrogen menandakan penurunan
fungsi ginjal. Kenaikan baik blood urea nitrogen dan kreatin merupakan indikasi
gagal ginjal.
9)
Albumin
: mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sintesis
protein dalam hepar yang mengalami kongesti.
10) Hitung sel darah merah : mungkin
terjadi anemia, polisitemia atau perubahan kepekatan menandakan retensi urine.
Sel darah putih mungkin meningkat mencerminkan miokard infark akut,
perikarditas atau status infeksi lain.
11) Pemeriksaan tiroid : peningkatan
aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid sebagai pre pencetus gagal
jantung kanan.
12) Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi
pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas
ventricular.
13) Foto thorak dapat mengungkapkan adanya
pembesaran jantung, edema atau efusi fleura yang menegaskan diagnisa CHF.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dari dekompensasi
kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk menunggu saat terbaik untuk
melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially curable. Dasar
pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :
1)
Non
medikamentosa.
Dalam
pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja
jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar dengan tirah
baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering
tampak gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet
umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan
kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi
protein. Cairan diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500
ml/hari.
2)
Medikamentosa
Pengobatan dengan cara
medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun parenteral yang masih
merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai edema atau asites
hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.
Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan
ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila
ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) dimana
digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan kecepatan
kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan.
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien
dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan
mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan
efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide (Nesiritide)
masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization
Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator)
sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun
non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun
mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala
dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti
miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
3)
Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a.
Revaskularisasi
(perkutan, bedah).
b.
Operasi
katup mitral.
c.
Aneurismektomi.
d.
Kardiomioplasti.
e.
External
cardiac support.
f.
Pacu
jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
g.
Implantable
cardioverter defibrillators (ICD).
h.
Heart
transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
i.
Ultrafiltrasi,
hemodialisis
H. PROGNOSIS
Pada bayi dan anak lebih baik daripada
orang dewasa bila ditolong dengan segera. Hal ini disebabkan oleh karena belum
terjadi perburukan pada miokardium.
Ada
beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :
v
Waktu
timbulnya gagal jantung.
v
Timbul
serangan akut atau menahun.
v
Derajat
beratnya gagal jantung.
v
Penyebab
primer.
v
Kelainan
atau besarnya jantung yang menetap.
v
Keadaan
paru.
v
Cepatnya
pertolongan pertama.
v
Respons
dan lamanya pemberian digitalisasi.
v
Seringnya
gagal jantung kambuh
I. KOMPLIKASI
Komplikasi
dari decompensatio cordis adalah:
1. Syok kardiogenik.
2. Episode tromboemboli.
3. Efusi dan tamporiade pericardium
KONSEP DASAR ASUHAN
KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
KEPERAWATAN
Menurut
Doenges (2002), hal-hal yang perlu dikaji pada penderita decompensasi cordis
antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat
a.
Gejala
: keletihan atau kelelahan, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas dispnea pada
istirahat atau pada pengerahan tenaga.
b.
Tanda
: gelisah perubahan status mental (misal : letargi), tanda vital berubah pada
aktivitas.
2. Sirkulasi
a.
Gejala
: riyawat hipertensi infark miokartd akut, episode gagal jantung kanan
sebelumnya, penyakit katup jantung, endokarditis siskemik lupus eritema tosus,
anemia, syok septik, bengkak pada telapak kaki, abdomen.
b.
Tanda
: tekanan darah mungkin rendah (gagal pemompaan),normal (gagal jantung kanan
ringan atau kronis) atau tinggi (kelebihan beban cairan). Tekanan nadi :
mungkin sempit menunjukkan penurunan volume sekuncup. Frekuensi jantung
takikardi (gagal jantung kiri). Irama jantung: disritmia (misal: fibrilasi
atrium, kontraksi ventrikel premature atau takikardi, blok jantung). Nadi
apikal penyakit miokard infark mungkin menyebar dan berubah posisi secara
inferior ke kiri. Bunyi jantung : S3 (galiop), S4 dapat terjadi, S1 dan S2
melemah murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya stenosis katup
atau insufisiensi : nadi perifer berkurang perubahan dalam kekuatan dapat
terjadi, nadi sentral mungkin kuat (misal nadi jugularis, karotis,
abdominalis). Warna kulit : sianosis, pucat, abuabu, kebiruan. Punggung kuku:
pucat sianotik dan pengisian kapiler lambat. Hepar membesar. Bunyi nafas :
krekels, ronkhi, edem mungkin depend, edem piting, khususnya
ekstremitas,distensi vena jugularis.
3.
Integritas
Ego
a.
Gejala
: ansietas, kuatir, takut, stress, berhubungan dengan finansial atau penyakit.
b.
Tanda
: berbagai manifestasi perilaku, (misal: ansietas, marah, ketakutan mudah
tersinggung).
4. Makanan atau cairan
a.
Gejala
: kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, penambahan berat badan signifikan,
pembengkakan pada ekstrimitas kbawah, pakaian atau sepatu terasa sesak, diet
tinggi garam atau makanan yang telah diproses lemak, gula dan garam, kafein,
penggunaan diuretik.
b.
Tanda
: penambahan berat badan cepat, distensi abdomen(asites), edem (umum, dependen,
tekanan, pitting).
5. Hygiene
a.
Gejala
: keletihan atau kelemahan, kelelahan selama aktivitas perawatan diri.
b.
Tanda
: penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
6. Neurosensori
a.
Gejala
: kelemahan, pening, episode pingsan.
b.
Tanda
: latergi, kusut pikir, disorientasi, perubahan perilaku, mudah tersinggung.
7. Nyerti atau kenyamanan
a.
Gejala
: nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas, sakit pada
otot.
b.
Tanda
: tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri), perilaku melindungi
diri.
8.
Pernafasan
a.
Gejala
: dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk
dengan tanpa pembentukan sputum, riwayatpenyakit paru kronis, penggunaan
bantuan pernafasan, misal: oksigen atau medikasi.
b.
Tanda
: pernafasan; takipnea, nafas dangkal, penggunaan otot aksesoris pernafasan.
Batuk kering atau nyaring atau non produktif atau mungkin batuk terus menerus
dengan atau tanpa sputum. Bunyi nafas : mungkin tidak terdengar krekels, mengi.
Fungsi mental mungkin menurun, letargi, kegelisahan. Warna kulit pucat atau
sianosis.
9. Keamanan
Gejala
: perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan atau tonus otot, kulit
lecet.
10. Interaksi
Gejala : penurunan keikutsertaan
dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
11. Pengajaran
a.
Gejala
: lupa menggunakan obat-obat jantung.
b.
Tanda
: bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkat.
B. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Penurunan
curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas miocard atau perubahan inotropik,
perubahan frekwensi, irama, konduksi listrik, perubahan struktural (misal :
kelainan katup, aneurisme ventrikular)
2. Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung) meningkatnya produksi antidiuretik hormone dan
retensi natrium atau air.
3. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 kebutuhan,
kelemahan umum, tirah baring lama.
4. Resiko
tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan faktor resiko perubahan
membran kapiler alveolus.
5. Resiko
tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko tirah baring
lama, oedema, penurunan defusi.
C. INTERVENSI
KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas
miocard atau perubahan inotropik, perubahan frekwensi, irama, konduksi listrik,
perubahan struktural (misal : kelainan katup, aneurisme ventrikular)
a. Tujuan dan kriteria hasil :
Setelah diberikan tindakan
keperawatan terjadi penurunan episode dispnea angine menujukan tanda vital dalam
batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gerak
gagal jantung (misal : parameter hemodirakit dalam batas normal, haluan urine
adekuat), ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
b. Intervensi
1)
Auskultasi
nadi apikal, kaji frekuensi irama jantung
Rasional : biasanya
terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat), untuk mengkompensasi
penurunan kontraktivitas ventrikuker.
2)
Pantau
tekanan darah
Rasional : pada gejala
dini, sedang/kronis TD dapat meningkat sehubungan dengan SVR.
3)
Kaji
kulit terdapat pucat dan diagnosis
Rasional : pucat
menunjukan menurunnya perfusi perifer sekunder terhadap tidak adekuatnya curah
jantung vasokontriksi, dan anemia, area yang sakit sering berwarna biru/ belang
karena peningkatan kongesti vena.
4)
Kaji
perubahan pada sensori, contoh letergi
Rasional : dapat
menunjukan tidak adekuatnya perfusi cerebral sekunder terhadap penurunan curah
jantung.
5)
Berikan
is tirahat Psikologi dengan lingkungan tenang.
Rasional : stres, emosi
menghasilkan vasokonstriksi yang meningkatkan TD dan meningkatkan frekuensi
kerja jantung.
6)
Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan
Rasional : meningkatkan
sediaan O2 untuk kebutuhan miocard untuk melawan efek hipoksia/Ischemia.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya
laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung) meningkatnya produksi
antidiuretik hormone dan retensi natrium atau air.
a. Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan, paien mampu mendomentrasikan volume cairan stabil dengan
keseimbangan masukan dan pengeluaran bunyi nafas bersih/jelas, vital dalam
rentang yang dapat diterima, BB stabil, tak ada oedem, pasien menyatakan paham
dengan pembatasan cairan.
b. Intervensi
1) Pantau keseimbangan pemasukan dan
pengeluaran selama 24 jam
Rasional : terapi diuretik
dapat disebabkan untuk kehilangan cairan tiba-tiba atau berlebihan
(hipovolemik) meskipun oedema/asites masuk ada.
2) Pertahankan duduk atau tirah baring
semifowler selama masa akut Rasional : posisikan telentang meningkatkan filtrasi
ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
3) Timbang BB tiap hari
Rasional ; cata t
perubahan ada/hilangnya oedema sehingga respon terhadap terapy, peningkatan 25
kg menunjukan 2 lt cairan.
4) Ubah posisi dengan sering, tinggikan
kaki bila duduk, pertahankan permukaan kulit tetap kering, berikan bantalan.
Rasional : pembentukan
oedema, sirkulasi melambat, gangguan pemasukan nutrisi dan imobilisasi atau
tirah bar ing lama merupakan kumpulan stresor yang mempengaruhi intergritas
kulit.
5) Kolaborasi : mempertahankan cairan
atau pembatasan nutrium sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan air
total tubuh atau mencegah reakumulasi cairan.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai O2 kebutuhan, kelemahan umum, tirah baring
lama.
a. Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan, pasien dapat berpatisipasi pada aktivitas yang diinginkan,
memenuhi kebutuhan perawat sendiri.
b.
Intervensi
1)
Periksa
tanda vital sebelum dan setelah aktivitas
Rasional : hipotensi
ortostastik dapat terjadi dengan aktivitas karena otot-otot perpindahan
cairan/pengaruh fungsi jantung.
2)
Catat
respon kardiopulmonal terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, dispnea,
berkeringat, pucat).
Rasional :
penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama
aktivitas dapat menyebabkan peningkatan segera pada frekuensi jantung dan
kebutuhan O2. Peningkatan kelelahan dan kelemahan.
3)
Kaji
presipitasi atau penyebab kelemahan . Contoh : nyeri pengobatan.
Rasional : kelemahan atau
efek samping beberapa obat (Beta Blocker).
4)
Berikan
batuan dalam aktivitas perawat diri, sesuai indikasi
Rasional : pemenuhan
kebutuhan perawat diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard atau kebutuhan
O2 berlebihan.
5)
Kolaborasi
: Implementasi program rehabilitasi jantung atau aktivitas konsumsi berlebihan.
Rasional : peningkatan
bertahap pada aktivitas menghindari kerja/konsumsi O2 berlebihan, penjualan dan
perbaikan fungsi jantung dibawa stess.
Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
faktor resiko perubahan membran kapiler alveolus.
a. Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah diberikan tindakan
keperawatan pasien mampu memdemontrasikan ventilasi dan oksigensi adekuat,
analisa gas darah rentang normal.
b. Intervensi :
1) Auskultasi bunyi nafas, catat krekles,
mengi
Rasional : menyatakan
adanya kongesti paru atau pengumpulan secret menunjukan kebutuhan untuk
intervensi lanjut.
2) Anjurkan batuk efektif dan nafas dalam
Rasional : membersihkan
jalan nafas dan memudahkan aliran O2
3) Dorong untuk mengubah posisi dengan
sering
Rasional ; membantu
mencegah atelektasis dan pneumonia
4) Pertahankan duduk dan tirah baring
dengan posisi semifowler
Rasional menurunkan
konsumsi O2 atau kebutuhan dan meningkatkan inflamasi paru maksimal.
5) Kolaborasi : beri O2 sesuai dengan
indikasi
Rasional : meningkatkan
konsentrasi O2 alveolar, yang dapat memperbaiki atau menurunkan hipoksia
jaringan.
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan
faktor resiko tirah baring lama, oedema, penurunan defusi.
a. Tujuan dan
Kriteria Hasil :
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
pasien dapat mempertahankan integritas kulit, mendemonstrasikan
perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
b. Intervensi
1) Lihat kulit, catat adanya penonjolan
tulang, oedema
Rasional : kulit beresiko
karena gangguan sirkulasi perifer, imobilitas fisik dan gangguan status
nutrisi.
2) Pijat area kemerahan atau yang memutih
Rasional : meningkatkan
aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan
3) Ubah posisi sering di kursi/tempat
tidur, bantu latihan gerak aktif/pasif
Rasional : memperbaiki
sirkulasi atau menurunkan waktu satu area yang menggangu aliran darah.
4) Berikan perawatan kulit sering dan
meminimalkan kelembaban atau ekskresi
Rasional : terlalu kering
atau lembab merusak kulit dan mempercepat kerusakan.
5) Kolaborasi : berikan tekanan
alternatif, perlindungan siku/tumit.
Rasional : menurunkan
tekanan pada kulit dapat memperbaiki sirkulasi.
PENATALAKSANAAN
NYERI AKUT DAN KRONIK
1.
Definisi
Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association
for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang
tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
2.
Patofisiologi
Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)
ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan
dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub
kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua
komponen yaitu:
a.
Reseptor
A Delta
Merupakan serabut komponen
cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam
yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b.
Serabut
C
Merupakan serabut komponen
lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih
dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri
somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh
darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga
adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
3.
Teori
Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)
Terdapat berbagai teori
yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan
rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling
relevan (Tamsuri, 2007).
Teori gate control
dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau
dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan
aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur
proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih
cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok
punggung pasien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka
akan membuka pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi nyeri.
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih
tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden
melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi,
konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin
(Potter, 2005).
4.
Respon
Psikologis
Respon psikologis sangat
berkaitan dengan pemahaman pasien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri
bagi pasien. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya.
Arti nyeri bagi setiap
individu berbeda-beda, antara lain:
a.
Bahaya
atau merusak
b.
Komplikasi
seperti infeksi
c.
Penyakit
yang berulang
d.
Penyakit
baru
e.
Penyakit
yang fatal
f.
Peningkatan
ketidakmampuan
g.
Kehilangan
mobilitas
h.
Menjadi
tua
i.
Sembuh
j.
Perlu
untuk penyembuhan
k.
Hukuman
untuk berdosa
l.
Tantangan
m.
Penghargaan
terhadap penderitaan orang lain
n.
Sesuatu
yang harus ditoleransi
o.
Bebas
dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
5.
Respon
Fisiologis terhadap Nyeri
Respon
fisiologi terhadap nyeri terdiri atas dua stimulus, yaitu stimulus simpatik
(nyeri ringan, moderat, dan superficial) dan stimulus
parasimpatik (nyeri berat dan dalam).
a.
Stimulasi Simpatik
1)
Dilatasi
saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
2)
Peningkatan
heart rate
3)
Vasokonstriksi
perifer, peningkatan BP
4)
Peningkatan
nilai gula darah
5)
Diaphoresis
6)
Peningkatan
kekuatan otot
7)
Dilatasi
pupil
8)
Penurunan
motilitas GI
b.
Stimulus Parasimpatik
1)
Muka
pucat
2)
Otot
mengeras
3)
Penurunan
HR dan BP
4)
Nafas
cepat dan irreguler
5)
Nausea
dan vomitus
6)
Kelelahan
dan keletihan
6.
Respon
Tingkah Laku terhadap Nyeri
Respon
perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
a.
Pernyataan
verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur)
b.
Ekspresi
wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)
c.
Gerakan
tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan)
d.
Kontak
dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak
sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami
nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang
berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan
keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis.
Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan
terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian
terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a.
Fase
Antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan
merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan
nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada pasien.
b.
Fase
Sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika
pasien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang
dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus
kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Pasien dengan tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan
endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat
nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu
dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin
merasakan nyeri lebih besar.
Pasien bisa mengungkapkan
nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan
gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan pasien itulah yang digunakan perawat
untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila pasien sedikit mengekspresikan nyerinya,
karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami
nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk
membantu pasien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c.
Fase
Akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri
sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrol
dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan pasien
mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila pasien mengalami episode nyeri
berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan
yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
7.
Faktor
yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri, antara lain:
a.
Usia
Anak belum bisa
mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak.
Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b.
Jenis
Kelamin
Gill (1990) mengungkapkan
laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri,
justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c.
Kultur
Orang belajar dari
budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti
suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima
karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
d.
Makna
Nyeri
Berhubungan dengan
bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
e.
Perhatian
Tingkat seorang pasien
memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut
Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan
tehnik untuk mengatasi nyeri.
f.
Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi
terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
g.
Pengalaman
Masa Lalu
Seseorang yang pernah
berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul,
maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h.
Pola
Koping
Pola koping adaptif akan
mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang
maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
i.
Dukungan
Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami
nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan dan perlindungan.
8.
Intensitas
Nyeri
Intensitas nyeri adalah
gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran
intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti
tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer, S.C bare
B.G (2002) adalah sebagai berikut:
a.
Skala Intensitas Nyeri Deskritif
b.
Skala Identitas Nyeri Numerik
c.
Skala Analog Visual
d.
Skala Nyeri Menurut Bourbanis
Keterangan:
0 :
Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif pasien dapat
berkomunikasi dengan baik
4-6 :
Nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik
7-9 :
Nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang
dan distraksi
10 :
Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul
Karakteristik paling
subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut.
Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan
pasien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan
alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi
verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan pasien
skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang
ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling
menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.
Alat VDS ini memungkinkan
pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti
alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk
menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Priharjo,
1993).
Skala analog visual (Visual
Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus,
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter,
2005).
Skala nyeri harus dirancang
sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu
saat pasien melengkapinya. Apabila pasien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja
dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan
kondisi pasien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala
menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter, 2005).
9.
Manifestasi
Klinik
Secara umum pasien mungkin
berada dalam keadaan distress (kesakitan) akut yang nyata (nyeri trauma) atau
tampak tidak menderita keluhan yang berarti (kronis/menetap).
Terdapat beberapa gejala
nyeri:
a. Nyeri
dapat digambarkan sebagai: tajam menusuk, pusing, panas seperti terbakar,
menyengat, pedih, nyeri merambat, rasa nyeri yang hilang timbul, dan berbeda
tempat rasa nyeri.
b.
Setelah
beberapa lama, rangsangan nyeri yang sama dapat memunculkan gejala yang sama
sekali berbeda (contoh : dari nyeri menusuk menjadi pusing, dari nyeri yang
terasa nyata menjadi samar – samar).
c.
Gejala
yang tidak spesifik meliputi kecemasan, depresi, kelelahan, insomnia (gangguan
pola tidur), rasa marah dan ketakutan.
Manifestasi klinik nyeri
dapat dibagi menjadi tiga kategori mayor, yakni nyeri akut, nyeri kronik, dan
nyeri neuropatik.
a.
Nyeri
Akut
Nyeri
akut terjadi akibat luka atau karena pembedahan, bertempat lokal, dan semakin
reda ketika luka tersebut hilang. Nyeri akut yang tidak ditangani dapat
menyebakan gejala-gelala psikologis seperti tachypnea, tachycardia, dan
meningkatnya aktivitas sistem syaraf simpatik seperti pucat, diaphoresis, dan
dilatasi pupil. Penanganan nyeri akut yang buruk dapat menyebabkan stess
psikologis, yang berpengaruh juga pada sistem imun, dimana tubuh akan
mengeluakan kortikosteroid endogen. Kondisi ini diikuti juga dengan penurunan
kemampuan bergerak dan penurunan kapasitas paru-paru, yang juga dapat
memperlambat penyembuhan luka. Nyeri akut somatik muncul karena adanya luka di
kulit, tulang, persendian, otot, dan jaringan konektif, yang pada umumnya
terlokalisasi di tempat luka. Nyeri viseral termasuk luka syaraf pada organ
internal (seperti hati dan usus) dapat menyebar. Nyeri akut harus segera
ditangani bahkan sebelum ada diagnosis, kecuali pada kondisi luka di kepala dan
usus dimana nyeri dapat membantu dalam diagnosis.
b.
Nyeri
Kronik
Nyeri
kronik berlangsung melebihi batas normal waktu yang diharapkan dalam proses
penyembuhan. Nyeri kronik menyebabkan
nosiseptif, peradangan, dan neuropatik. Nyeri
kronik dapat berlangsung pada waktu tertentu dan dapat berkepanjangan. Respon
psikologis yang terjadi pada nyeri akut jarang muncul pada nyeri kronik. Pasien
dengan nyeri kronik dapat menyebabkan masalah psikologis, ketergantungan,
toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, dan kepekaan terhadap
perubahan lingkungan yang dapat memperparah nyeri.
c.
Nyeri
Neuropatik
Nyeri
neuropatik bersifat seperti nyeri kronik nonmalignant,
yang termasuk penyakit dalam sistem syaraf sentral dan periferal. Contoh dari
nyeri neuropatik adalah Post Herpetic
Neuralgia (PHN). Periferal atau
polineuropatik berhubungan dengan polineuropati distal pada diabetes, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan beberapa kemoterapi. Tipe nyeri sentral yaitu
nyeri stroke sentral, trigeminal neuralgia, dan sindrom yang disebut Complex
Regional Pain Syndrome (CRPS). Contoh dari CPRS adalah distofi simpatik reflek
dan kausalgia, dimana keduanya adalah nyeri neuropatik yang berhubungan dengan
fungsi abnormal dari sistem syaraf autonom.
Gejala nyeri neuropatik yaitu gatal, terasa terbakar, seperti
ditusuk-tusuk, dan seperti disengat listrik. Kondisi lainnya seperti denyut melemah, nyeri
seperti terbakar. Seringkali kerusakan syaraf periferal dapat dijadikan
petunjuk tempat terjadinya kerusakan dari syaraf tersebut.
Penanganan nyeri yang rasional dari nyeri ini harus memperhatikan hasil
evaluasi dari neuropati dan hubungannya dengan kerusakan periferal dan sentral.
Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri ini adalah opioid seperti
metadon yang merupakan golongan antagonis reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA).
Penggunaan antikonvulsan juga dapat digunakan untuk memblok chanel Na+
pada serabut syaraf aferen periferal. Obat-obatan lain seperti antidepresan
trisiklik, bupropion, dan venlafaxine dapat memblok mekanisme penghambatan pengeluaran
target monoamin dorsal horn.
Adapun beberapa tanda dari nyeri, antara lain:
a) Nyeri
akut dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, diaforesis, midriatik dan pallor
(pucat), tetapi gejala tersebut tidak memastikan diagnosis nyeri.
b)
Nyeri
selalu bersifat subyektif ; jadi lebih baik diagnosa didasarkan pada gambaran
dan riwayat penyakit yang diceritakan oleh pasien.
c)
Nyeri
nosiseptik seringkali akut, terlokalisasi, dapat digambarkan dengan jelas, dan
membaik dengan analgesik konvensional. Nyeri biasanya berupa nyeri seperti dipukul
dan rasa tidak nyaman yang terlokalisasi, tetapi nyeri viseral rasanya seperti
berasal dari struktur lain atau timbul sebagai fenomena yang terlokalisasi.
d)
Nyeri
neuropatik seringkali kronis, tidak dapat dijelaskan dengan dengan baik dan
tidak mudah diobati dengan analgesik
konvensional. Pasien umumnya merasakan nyeri yang seperti membakar, pedih,
seperti tersengat listrik, atau menusuk, respon nyeri berlebihan terhadap
rangsangan yang membahayakan (hiperalgesia), atau respon nyeri terhadap
rangsangan yang secara normal tidak membahayakan (allodynia)
e)
Pengobatan
nyeri yang tidak efektif dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan oksigen), hypercapnea, hipertensi, aktivitas
jantung berlebihan dan gangguan emosional.
f)
Nyeri
kronis dapat dibagi menjadi 4 subtipe :
1. Nyeri yang menetap lebih dari waktu
sembuh normal untuk luka akut
2. Nyeri akibat penyakit kronis
3. Nyeri yang tidak jelas organ
penyebabnya, serta
4. Nyeri baik akut maupun kronis yang
disebabkan oleh kanker
g)
Pasien
dengan nyeri kronis mungkin timbul masalah psikologik ketergantungan dan
toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, serta peka terhadap
perubahan lingkungan yang justru memperparah nyeri (Sukandar et al., 2008).
10.
Diagnosa
Nyeri akut
Nyeri
akut yaitu suatu keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa
ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama enam
bulan atau kurang.
Batasan Karakteristik :
1)
Subjektif : Komunikasi (verbal atau
penggunaan kode) tentang nyeri dideskripsikan. Untuk pasien
dewasa dan dalam kondisi sadar penuh, rasa nyeri ini bisa dikaji secara verbal
menggunakan skala 0-10 atau 0-5 (tergantung kebijakan RS menggunakan yang mana) (Yenichrist, 2008).
2)
Objektif
a.
Perilaku sangat berhati-hati
b.
Memusatkan diri
c.
Fokus perhatian rendah (perubahan
persepsi waktu, menarik diri dari hubungan sosial, gangguan proses berpikir)
d.
Perilaku distraksi (mengerang,
menangis)
e.
Raut wajah kesakitan (wajah kuyu,
meringis)
f.
Perubahan tonus otot
g.
Respon autonom (diaforesis, perubahan
tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil, penurunan atau peningkatan frekuensi
pernafasan)
h.
rubor
(kemerahan jaringan)
i.
kalor
(kehangatan jaringan)
j.
tumor
(pembengkakan jaringan)
k.
dolor
(nyeri jaringan)
l.
fungsio
laesa (kehilangan fungsi jaringan) (Dharmayana, 2009)
Nyeri kronis
Nyeri
kronis yaitu
keadaan dimana seseorang individu mengalami nyeri yang menetap atau intermiten
dan berlangsung lebih dari enam bulan.
Batasan Karakteristik :
1) Mayor (harus
terdapat), individu
melaporkan bahwa nyeri telah ada lebih dari 6 bulan
2)
Minor (mungkin terdapat)
a.
Ketidaknyamanan
b. Marah, frustasi,
depresi karena situasi
c. Raut wajah
kesakitan
d. Anoreksia,
penurunan berat badan
e. Insomnia
f. Gerakan yang
sangat berhati-hati
g. Spasme otot
h. Kemerahan,
bengkak, panas
i. Perubahan warna
pada area terganggu
j.
Abnormalitas refleks
11.
Diagnosa Tambahan
- Kecemasan
yang berhubungan dengan hilangnya kontrol
- Ketakutan
yang berhubungan dengan nyeri
- Kelemahan
yang berhubungan dengan pengobatan pada penyakit
- Perubahan
penampilan peran yang behrubungan dengan perubahan status kesehatan dan kerusakan koping
- Perubahan
pola seksualitas yang berhubungan dengan kesakitan dan nyeri
- Kerusakan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan
- Aktivitas
intoleran yang berhubungan dengan nyeri dan/atau depresi
- Gangguan
pola tidur yang berhubungan dengan nyeri
- Kurang
perawatan diri (total atau sebagian) yang berhubungan dengan nyeri
- Perubahan
pemeliharaan kesehatan yang berhubungan dengan perasaan tak berdaya (Ramali, 2000)
12. Alat Pengukur Nyeri
13.
Penanganan
Penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan menggunakan terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi.
6.1 Terapi farmakologi
Terapi farmakologi adalah terapi
menggunakan obat-obatan sintetik, semisintetik, maupun bahan alam.
Obat
golongan analgesik akan merubah persepsi dan
interpretasi nyeri dengan jalan mendepresi Sistem Saraf Pusat pada Thalamus dan
Korteks Cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan
nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri. Untuk alasan ini maka
analgesik dianjurkan untuk diberikan secara teratur dengan interval, seperti
setiap 4 jam (q 4h) setelah pembedahan (Irman,
2007).
a.
Obat
Nonopioid
·
Analgesik
yang diberikan harus dimulai dengan analgesik yang paling efektif dengan efek
samping terendah.
Analgesik Nonopioid yang mendapat ijin
FDA untuk Orang Dewasa
Golongan dan nama
generik |
Rentang dosis lazim
(mg) |
Dosis maks (mg hr) |
Salisilat |
||
Asam
asetil salisilat (aspirin)b |
325-650
tiap 54 jam |
4000 |
Kolin
b |
870
tiap 3 – 4 jam |
5220 |
Magnesium
b |
650
tiap 4 jam atau 1090
Tiga kali sehari |
4800 Dalam
dosis terapi |
Natrium
b |
325
– 650 tiap 4 jam |
5400 |
Diflusinal |
500
– 1000 pada awal 250
– 500 tiap 8 – 12 jam |
1500 |
Para-Aminofenol |
||
Parasetamol
b |
325
– 1000 tiap 4 – 6 jam |
4000 |
Fenamat |
||
Meklofemat |
50-100
tiap 4 -6 jam |
400 |
Asam
mefenamat |
Awal
500 250
tiap 6 jam ( Maks 7 hari) |
1000c |
Asam
pianokarboksilat |
||
Etodolak |
200
– 400 tiap 6 – 8 jam Hanya
utk pelepasan segera |
1000 |
Asam
Asetat |
||
Kalium
diklofenak |
Pada
beberapa pasien, Awal
100, 50 tiga kali sehari |
150d |
Asam
Propionat |
||
Ibuprofen
b |
200
– 400 tiap 4 – 6 jam |
3200 1200e |
Fenoprofen |
200
– 400 tiap 4 – 6 jam |
3200 |
Ketoprofen
b |
25
– 50 tiap 6 – 8 jam 12,5
– 25 tiap 4 – 6 jamd |
300 75e |
Naproksen |
500
saat awal 500
tiap 12 jam atau 250
tiap 6 – 8 jam |
1000c |
Natrium
Naproksen b |
Pd
beberapa pasien 440 saat awale 220 tiap 8 – 12 jam e |
660e |
Naproksen,
delayed released |
500
tiap 12 jam |
1000 |
Naproksen,
controlled released |
200
– 1000 tiap 24 jam |
|
Asam
Pirozolin karboksilat |
||
Ketorolak
(parenteral) |
30
– 60 mg (dosis im tunggal saja) 15
– 30 tiap 6 jam (maks 5 hari) |
30-60 120 |
Ketorolak
(oral) (Indikasi
hanya untuk lanjutan/setelah parenteral saja) |
Pada
beberapa pasien, dosis awal 20 – 10 tiap 4 – 6 jam (maks 5 hari, termasuk
dosis parenteral) |
40 |
Penghambat
siklooksigenase-2 |
||
Selekoksib |
Awal
400 diikuti dengan 200 pd hari yang sama, lalu 200 dua kali seharig |
400g |
Valdekoksib |
20
dua kali seharih |
40h |
a Tidak termasuk obat yang diberi ijin hanya untuk
osteoporosis atau rematoid arthritis
b Tersedia sebagai obat bebas maupun dengan resep dokter
c Sampai dengan 1250 mg pada hari pertama
d Sampai dengan 200 mg pada hari pertama
e Obat bebas
f Tidak untuk terapi
awal nyeri akut
g Untuk nyeri akut dismenore primer
h Untuk dismenore primer
·
Obat-obat
ini (kecuali parasetamol) menurunkan produksi prostaglandin melalui mekanisme
berantai asam arakidonat, oleh karenanya mengurangi jumlah rangsangan nyeri
yang diterima oleh SSP.
·
Aspirin
yang diberikan bersama dengan anti inflamasi non steroid (AINS) yang lain lebih
berisiko menyebabkan efek samping pada saluran cerna. Garam salisilat kurang
menyebabkan efek samping dibandingkan dengan aspirin dan tidak menghambat agregasi
platelet.
·
Senyawa
dengan struktur mirip aspirin tidak boleh diberikan kepada anak atau remaja
yang menderita influenza atau chickenpox (cacar air), karena sindrom reye dapat
terjadi.
·
Parasetamol
mempunyai aktivitas analgesik dan antipiretik tetapi hanya sedikit efek
antiinflamasi. Juga bersifat sangat hepatotoksik jika overdosis.
Nama obat |
Keterangan |
Aspirin (asam asetilsalisilat
atau asetosal) |
|
Asetaminofen (parasetamol) |
|
Ibuprofen |
|
Asam mefenamat |
Mempunyai
efek analgesik dan antinflamasi, tetapi tidak memberikan efek anipiretik. |
Diklofenak |
Diberikan
untuk antinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simtomatik jangka panjang
untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. |
Indometasin |
Mempunyai
efek anipiretik, antinflamasi dan analgesik sebanding dengan aspirin, tetapi
lebih toksik. |
Fenilbutazon |
Hanya
digunakan untuk antinflamasi dan mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam
urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout. |
Kelompok obat gout |
|
b.
Obat
Opioid
Opioid
merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin. Semua obat
dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor opioid spesifik pada
susunan saraf pusat untuk meghasilkan efek yang meniru efek neurotransmiter
peptida endogen, opiopeptin (misal endorfin dan enkefalin). Opioid analgesik
penggunaan utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas
yang menyertainya, baik karena operasi atau sebagai akibat luka atau suatu
penyakit misal kanker.
Reseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem
saraf pusat yang dikelompokkan menjdi 3 tipe utama yaitu μ-, κ-, dan
σ-reseptor. μ-reseptor memiliki jumlah yang paling banyak di otak dan merupakan
reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid analgesik untuk mengasilkan
efek analgesik. Sedangkan κ- dan σ-reseptor menunjukkan selektivitas terhahap
enkefalin dan dinorfin secara respektif. Aktivasi κ-reseptor juga dapat
menghasilkan efek analgesik, namun berlawanan dengan μ-agonis, yang dapat
menyebabkan euforia. Beberapa opioid analgesik mengahsilkan efek stimulan dan
psikomotorik dengan beraksi pada σ-reseptor. Aktivasi pada μ- dan σ-reseptor
dapat menyebabkan hiperpolarisasi pada saraf dengan cara mengaktivasi K+
chanel melalui proses yang melibatkan G-protein. Sedangkan aktivasi
κ-reseptor dapat menghambat membran Ca2+ chanel. Sehingga dapat
merintangi peletuoan neuronal dan pelepasan transmitter (Tusthi, 2007)
Kerja pada
pusat Hipnoanalgetika:
a.
Menurunkan
rasa nyeri dengan cara stimulasi reseptor opiate (kerja analgetika),
b.
Sebaliknya
tidak mempengaruhi kualitas indra lain pada dosis terapi,
c.
Mengurangi
aktivitas kejiwaan (kerja sedasi),
d.
Meniadakan
rasa takut dan rasa bermasalah (kerja
trankuilansia),
e.
Menghambat
pusat pernafasan dan pusat batuk (kerja
depresi pernapasan dan kerja antitusiva),
f.
Seringkali
mula-mula menyebabkan mual dan muntah akibat stimulasi pusat muntah (kerja emetika), selanjutnya menyebabkan
inhibisi pusat muntah (kerja antiemetika),
g.
Menimbulkan
miosis (kerja miotika),
h.
Meningkatkan
pemnbebasan ADH (kerja antidiuretika),
dan
i.
Pada
pemakaian berulang kebanyakan menyebabkan terjadinya toleransi dan sering juga
ketergantungan.
Kerja perifer Opiat:
a.
Memperlambat
pengosongan lambung dengan mengkonstriksi
pylorus,
b.
Mengurangi
motilitas dan meningkatkan tonus saluran cerna (obtipasi spastic),
c.
Mengkontraksi sfinkter
dalam saluran empedu,
d.
Meningkatkan tonus otot kandung kemih dan juga otot sfinkter kandung kemih,
e. Mengurangi
tonus pembuluh darah
dengan bahaya reaksi ortostatik, dan
f.
Menimbulkan
pemerahan kulit, urtikaria, rangsang gatal, serta pada penderita asma suatu
bronkhospasmus, akibat pembebasan histamine(1) (Mutschler, 1991)
Mula kerja analgesik oral biasanya
sekitar 45 menit, dan efek puncak umumnya terlihat dalam 1 sampai 2 jam.
Golongan dan Nama
Generik |
Rute |
Kesetaraan Dosis Analgesik (mg)
Dewasa |
Agonis
– Mirip Morfin |
||
Morfin |
Im |
10 |
Po |
30 |
|
Hidromorfin |
Im |
1,5 |
Po |
7,5 |
|
Oksimorfin |
Im |
1 |
R |
5
a |
|
Triorfanol |
im
(akut) |
2 |
po
(akut) |
4 |
|
im
(kronis) |
1 |
|
po
(kronis) |
1 |
|
Codein |
Im |
15
– 30 b |
Po |
15
– 30 b |
|
Hidrocodon |
Po |
5
– 10 b |
Oksikodon |
Po |
20
– 30 c |
Agonis-Mirip
Meperidin |
||
Meperidin |
Im |
75 |
Po |
300c,
tidak disarankan |
|
Pentanil |
Im |
0,1
– 0,2 |
Transdermal |
25mcg/jamd |
|
Transmukosal
hanya untuk nyeri berat |
||
Agonis-Mirip
Metadon |
||
Metadon |
im
(akut) |
bervariasie |
po
( akut) |
bervariasie |
|
im
(kronis) |
bervariasie |
|
po
(kronis) |
bervariasie |
|
Propoksilen |
Po |
65b |
Turunan
Agonis-Antagonis |
||
Protazosin |
Im |
Tidak
dianjurkan |
|
Po |
50b |
Butorfanol |
Im |
2 |
intranasal |
1
b (satu spray) |
|
Nalbufin |
Im |
10 |
Buprenorfin |
Im |
0,4 |
Dezosin |
Im |
10 |
Antagonis |
||
Nalokson |
Iv |
0,4
– 1,2 f |
Analgesik
Sentral |
||
Tramadol |
Po |
50
– 100 b |
a
50 mg morfin rectal
= 5 mg oksimorfin rectal
b Dosis awal saja (kesetaraan dosis
analgesik tidak ada)
c Dosis awal lebih rendah (oksikodon 5
– 10 mg)
d Kesetaraan dosis morfin im = 8 – 22
mg / hari
e
Kesetaraan dosis
analgesik metadon, jikadibandingkan dengan opioid lain akan menurun secara
progresif sejalan dengan makin tingginya dosis opioid sebelumnya.
f Dosis awal yang digunakan hanya pada keadaan overdosis
opioid
·
Agonis
dan antagonis parsial bersaing dengan agonis pada reseptor opiat dan
menimbulkan efek campuran antara agonis dan antagonis. Obat-obat tersebut
mungkin mempunyai selektivitas f<reseptor analgesik dan menyebabkan efek
samping yang lebih sedikit. Pada tahap awal pengobatan nyeri akut, analgesik
harus diberikan secara ‘around the clock’
(sebelum nyeri muncul). Saat kondisi nyeri berkurang, pengobatan diberikan
juka perlu.
·
Pada
penggunaan patient-controlled analgesia
(PCA), pasien memberikan sendiri sejumlah tertentu opioid intravena melalui
alat suntik ‘pump’ yang dihubungkan
secara elektronis dengan alat pengatur waktu; sehingga, pasien dapat
menyeimbangkan antara kontrol rasa nyeri dengan efek sedasi.
·
Pemberian
golongan opioid langsung kedalam SSP (rute epidural dan intratekal/subarachnoid) makin menonjol untuk
mengobati nyeri akut. Cara ini pernafasan pruritus (gatal), mual, muntah,
retensi urin dan hipotensi. Naloxone digunakan untuk mengatasi depresi saluran
nafas, tetapi mungkin perlu diberikan secara infus berkelanjutan. Efek
analgesik pada dosis tunggal golongan opioid secara epidural tercantum dibawah
ini:
1. Morfin, 1-6 mg (mula kerja 30 menit,
lama kerja 6-24 jam)
2. Hidromorfin, 1-2 mg (mula kerja 15
menit, lama kerja 6-16 jam)
3. Fentanil, 0,025-0,1 mg (mula kerja 5
menit, lama kerja 1-4 jam)
·
Opioid
intratekal dan epidural sering diberikan dengan infus berkelanjutan atau PCA.
Cara itu aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan anestesi local
intratekal dan epidural seperti bupivakain. Semua obat yang diberikan secara
langsung ke dalam SSP harus bebas pengawet.
·
Dosis
subarachoid lebih kecil dari pada epidural (misal, morfin 0,1-0,3 mg fentanil
0,005-0,025 mg).
Morfin
dan Struktur Sejenis
·
Morfin
dianggap oleh banyak klinisi sebagai obat pilihan pertama untuk nyeri sedang
sampai berat. Dapat diberikan secara oral, parenteral atau rektal.
·
Mual
dan muntah lebih sering ditemui pada pasien ‘ambulatory’ (tidak perlu dirawat
di rumah sakit) dan sejak dosis awal.
·
Depresi
pernafasan meningkat secara progresif jika dosis ditingkatkan. Seringkali
muncul sebagai penurunan laju nafas, dan refleks batuk tidak bekerja/diekan.
Pasien dengan penyakit disfungsi paru adalah yang beresiko karena peningkatan
gangguan pernafasan. Depresi pernafasan dapat diatasi dengan nalokson.
·
Kombinasi
analgesik opioid dengan alkohol atau depresan SSP yang lain akan menguatkan depresi nafas dan potensial berbahaya dan
kemungkinan bersifat letal (mematikan).
·
Morfin
menyebabakan dilatasi vena dan arteriol, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik. Pasien hipovolemik lebih mudah terkena hipotensi akibat morfin.
Morfin seringkali dianggap sebagai opioid pilihan jika menggunakan golongan
opioid untuk mengobati nyeri akibat infark miokard, karena menurunkan kebutuhan
oksigen miokardial.
·
Morfin
dapat menyebabkan konstipasi, spasme sphincter Oddi, retensi urin dan
pruritus/gatal (sekunder, akibat pelepasan histamine). Pada pasien trauma panas
yang tidak dapat bernfas dengan baik (not ventilated), defresi napas yang
dipicu oleh morfin dapat meningkatkan tekanan intracranial dan mengaburkan
hasil pemeriksaan neurologik.
Efek Samping Utama Analgesik Opioid
Efek |
Manifestasi |
Perubahan
suasana hati (mood) |
Disforia
(tidak merasa senang), eufhoria (rasa senang berlebihan) |
Somnolens |
Letargia
(lemah), mengantuk, apatis, tidak dapat konsentrasi |
Rangsangan
chemoreceptor |
Mual,
muntah |
Trigger zone |
|
Depresi
pernafasan |
Laju
nafas menurun |
Gerakan
saluran cerna berkurang |
Sembelit |
Tonus
spinchter meningkat |
Spasme
(kaku) saluran empedu, retensi urin (bervariasi antara satu obat dengan obat
lain) |
Pelepasan
Histamin |
Biduran,
kemerahan dan gatal, jarang terjadi eksaserbasi asam (bervariasi antara satu
obat dengan obat lain) |
Toleransi |
Dosis
harus lebih besar agar mendapat efek yang sama |
Ketergantungan
|
Gejala
putus obat, jika obat dihentikan mendadak |
Meperidin dan Struktur
Sejenis (Fenilpiperidin)
·
Meperidin
kurang poten dan lebih singkat lama kerjanya dibandingkan dengan morfin, tidak
lebih menguntungkan disbanding morfin.
·
Pada
dosis tinggi atau pada gagal ginjal, metabolitnya normepiridin menumpuk.
Menyebabkan tremor, hentakan otot, dan kemungkinan kejang (seizures).
·
Eperidin
dikombinasikan dengan penghambat monoamine oksidase karena kemungkinan depresi
atau eksitasi nafas berat, delirium hiperpiroksia (tidak sadar akibat panas
tinggi), dan konvulsi.
·
Fentonil adalah opioid sintesis dengan
struktur mirip meperidin. Seringkali digunakan pada anestesi sebagai tambahan
bagi anestesi umum. Fentanil lebih poten dengan lama kerja analgesik lebih
singkat dibandingkan dengan meperidin. Fentanil transdermal dapat digunakan
untuk pengobatan nyeri kronis yang membutuhkan anaalgesik opioid.
Meperidin dan Struktur Sejenis
Struktur dasar meperidine memiliki
aktivitas farmakologi yang sebanding dengan morfin, tetapi aktivitasnya tidak
sebaik morfin dan memiliki durasi analgesik yang lebih singkat. Oleh karena itu
untuk menghasilkan efek terapeutik yang sama diperlukan dosis yang lebih besar
dan frekuensi pemberian yang lebih sering. Meperidin dimetabolisme dalam tubuh
menjadi metabolit yang toksik (normeperidin) yang dapat menyebabkan eksitasi
sistem saraf pusat, seperti tremor, kejang otot dan serangan jantung.
Normeperidin dapat dibuang dari tubuh melalui ginjal sehingga orang resiko ini
lebih berpotensi pada pasien gagal ginjal atau pasien lansia. Kombinasi MAO inhibitor dengan meperidin tidak boleh
digunakan karena dapat meningkatkan depresi atau eksitasi pernapasan, delirium,
hiperpireksia dan konvulsi (Baumann and Strickland, 2008).
Pentanil adalah senyawa sintetik yang
strukturnya mirip dengan meperidin dan
sering digunakan dalam anestesiologi sebagai tambahan dalam anastesi umum.
Senyawa ini lebih poten, lebih lipofilik dan durasi kerja yang lebih singkat
daripada meperidin. Pentanil dapat digunakan secara parenteral, transmukosa,
dan transdermal. Pentanil trasdermal dapat memberikan efek analgesik sampai 72
jam, tetapi memerlukan waktu 12 sampai 24 jam untuk mencapai efek terapeutik
dan waktu 6 jam untuk mencapai konsentrasi steady
state. Koyo transdermal ini harus dibatasi penggunaannya pada pasien nyeri
kronik dan tidak cocok untuk pasien kronik akut. Sediaan bukal dan tablet
hisap pentanil juga dapat digunakan pada
pasien yang menderita kanker. Sediaan
transdermal kini telah banyak digunakan untuk menjaga kadar teurapeutik
analgesik pada pasien nyeri pasca operasi (Baumann and
Strickland, 2008).
Metadon dan Struktur Sejenis
Metadon efektif per oral, lama kerja panjang, dan
kemampuan untuk menekan gejala putus obat pada ketagihan heroin. Pada dosis
berulang, lama kerja metadon sebagai analgesik diperpanjang, tetapi mungkin
juga timbul sedasi berlebihan. Walaupun efektif untuk nyeri akut, namun umumya
digunakan untuk nyeri kronis.
Turunan
Opioid Agonis-Antagonis
Kelas ini dapat meredakan nyeri dan mempunyai efek
terbesar (ceiling effect), depresi napas serta potensial
penyalahgunaan yang lebih rendah daripada morfin. Namun, respon psikotomimetik
(misal: halusinasi dan disforia dengan pentazosin), efek analgesik terbesar dan
kecenderungan untuk putus obat lebih awal pada pasien yang tergantung opioid
telah membatasi penggunaannya.
Antagonis
Opioid
Nalokson
merupakan antagonis opioid murni yang terikat secara kompetitif ke reseptor
opioid, tetapi tidak menghasilkan respon analgesik. Tetapi digunakan untuk
mengatasi efek toksik dari opioid agonis dan opioid agonis-antagonis.
Analgesik
Sentral
·
Tramadol,
analgesik yang bekerja secara sentral untuk nyeri sedang sampai agak berat.
Terikat ke reseptor N opiate dan secara lemah menghambat ambilan kembali (reuptake) norefineprin dan serotonin.
·
Walaupun
kurang menyebabkan depresi napas
dibanding morfin pada dosis anjuran, tramadol mempunyai profil efek samping
serupa dengan analgesik opioid yang lain. Mungkin juga meningkatkan resiko
kejang. Dapat berguna untuk mengobati nyeri kronis, terutama yang bersifat
neuropatik, tetapi hanya sedikit bermanfaat disbanding opioid lain untuk nyeri
akut
Pedoman
Penentuan Dosis
Nama Obat |
Dosis (dinaikkan atau diturunkan sesuai
respon pasien) |
Keterangan |
AINS/ Parasetamol/ Aspirin |
Dosis sampai maksimum sebelum
diganti dengan obat lain |
Gunakan pada nyeri ringan sampai
sedang. Dapat digunakan bersama dengan obat
opioid untuk mengurangi dosis masing-masing. Konsumsi alcohol secara teratur dan
parasetamol dosis tinggi dapat menyebabkan toksisitas pada liver. Hindari kemungkinan over dosis jika
obat itu digunakan bersama. |
Morfin |
po 5 – 30 mg tiap 3-4 jama im 5 – 30 mg tiap 3-4 jama iv 1-2,5 mg tiap5 menit jika perlua Sustained Release 15-30 mg Rektal 10-20 mg tiap 4 jama |
Obat pilihan pertama pada nyeri
berat Kombinasikan produk sustained
release dengan lepas berkala untuk mengontrol nyeri berat pada pasien kanker. Tersedia produk yang dapat tiap 12
jam diberikan tiap 24 jam (ungkin bias tiap 8 jam pada pasien tertentu). |
Hidromorfin |
po 2 – 4 mg tiap 3-6 jama im 1 – 4 mg tiap 3-6 jama iv 0,1 – 0,5 mg tiap 5 menit jika
perlua Rektal 3 mg tiap 6-8 jama |
Gunakan pada nyeri berat Leih poten disbanding morfin;selain
hal itu tidak ada keuntungan lain Kombinasikan produk immediate
release dengan lepasberkala untuk mengonrol nyeri berat pada pasien kanker Gunakan hanya bentuk sediaan
Sustained Release pada pasien yang menunjukan toleransi terhadap opioid.
Tersedia kapsul lepas berkala 12 mg, 16 mg, 24 mgdan 32 mg dan harus
diberikan tiap 24 jam |
Oksimorfin |
im 1 – 1,5 mg tiap 4-6 jama iv 0,5 mg pada awal Rektal 5 mg tiap 4-6 jama |
Gunakan pada nyeri berat Tidak ada kelebihan dibandingkan
morfin |
Levorfanol |
po 2 – 3 mg tiap 6-8 jama im 1 – 2 mg tiap 6-8 jama |
Gunakan pada nyeri berat Waktu paruh yang diperpanjang dapat
berguna untuk pasien kanker pada nyeri kronis, tunggu 3 hari sebelum
menyesuaikan dosis. |
Kodein |
po 15 - 60 mg tiap 3-6 jama im 15 - 60 mg tiap 3-6 jama iv 15 - 60 mg tiap 3-6 jama (maks 360 mg per hari) |
Gunakan pada nyeri sedang Analgesik lemah, gunakan dengan
AINS, atau parasetamol, atau aspirin. |
Hidrokodon |
(po) po 5 - 10 mg tiap 3-6 jama |
Gunakan pada nyeri sedang/berat.
Paling efektif jika digunakan bersama dengan AINS atau parasetamol atau
Aspirin. |
Oksikodon (po) |
po 5 - 10 mg tiap 3-6 jama Controlled-release, 10-20 mg tiap 12
jam |
Gunakan pada nyeri sedang/berat Paling efektif jika digunakan bersama
dengan AINS atau parasetamol atau Aspirin. Kombinasikan poduk
Immediate-release denagan produk sustained-release untuk mengontrol nyeri
berat pada pasien kanker. |
Meperidin |
im 50 - 150 mg tiap 3-4 jama iv 5-10 mg tiap5 menit jika perlua |
Gunakan pada nyeri berat Oral tidak dianjurkan. Jangan diberikan pada gagal ginjal Dapat menimbulkan tremor, mioklonus
atau seizure (kejang) Penghambat MAO dapat menyebabkan
dan/atau seizure (kejang) atau gejala overdosis opioid |
Fentanil |
iv 25-50 mcg / jama im 0,05-0,1 mcg tiap 1-2 jama transdermal 25 mcg/jam tiap 72 jam transmukosal 200 mcg dapat diulang
satu kali, 30 menit setelah dosis pertama lalu dititrasi/disesuaikan secara
bertahap |
Gunakan pada nyeri berat Jangan digunakan secara transdermal
pada nyeri akut Transmukosal untuk kanker |
Metadon |
po 2,5 - 10 mg tiap 3-4 jam (akut)a im 2,5 - 10 mg tiap 3-4 jam (akut)a po 5 - 20 mg tiap 6-8 jam (kronis)a |
Efektif pada nyeri kronis yang berat Sedasi dapat menjadi masalah utama Pada beberapa pasien kronis dapat diberikan
tiap 12 jam Kesetaraan dosis analgesic Metadon
akan menurun secara progresif seiring makin tingginya dosis opioid yang
digunakan sebelumnya, jika dibandingkan dengan opioid yang lain. |
Profoksifen |
po 100 mg tiap 4 jama (napsilat) po 65 mg tiap 4 jama (HCL) (maks tiap hari 600 mg napsilat, 390
mg HCL) |
Gunakan pada nyeri sedang Analesik lemah paling efektif jika digunakan dengan AINS atau parasetamol
atau Aspirin dapat menyebabkan kadar karbamazepin meningkat 100 mg garanm
napsilat = 65 mg garam HCL |
Pentazosin |
po 50 - 100 mg tiap 3-4 jama (maks 600 mg per hari) |
Obat pilihan ketiga untuk nyeri
sedang sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat
pada pasien ketergantungan. Dosis parenteral tidak dianjurkan. |
Butorfanol |
im 1 - 4 mg tiap 3-4 jama iv 0,5 - 2 mg tiap 3-4 jama intranasal 1 mg (1 spray) tiap 3-4
jam jika tidak adekuat, dapat diulang pada lubang hidung yang lain satu kali
dalam 30-60 menit Maks 2 semprotan (1 semprot tiap lubang hidung) tiap 3-4
jam |
Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang
sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat
pada pasien ketergantungan |
Nalbufin |
im/iv 10 mg tiap 3-6 jam (maks dosis 20 mg, 160 mg/hari) |
Obat pilihan kedua untuk nyeri
sedang sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat
pada pasien ketergantungan |
Buprenorfin |
im 0,3 mg tiap 6 jamb iv lambat 0,3 mg tiap 6 jamb Dapat diulang satu kali, 30-60 menit
setelah dosis pertama |
Obat pilihan kedua untuk nyeri
sedang sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat
pada pasien ketergantungan Nalokson tidak efektif untuk
mengatasi depresi nafas. |
Dezosin |
im 5-20 mg tiap 3-6 jamb iv
2,5-10 mg tiap 2-4 jamb |
Obat pilihan kedua untuk nyeri
sedang sampai berat Dapat menimbulkan gejala putus obat
pada pasien ketergantungan |
Nalokson |
iv 0,4-1,2 mg |
Saat mengatasi efek samping opiate
pada pasien yang mmeerlukan analgesic, encerkan dan titrasi dosis (o,2-0,2 mg
tiap 2-3 menit) agar efek analgesic tidak hilang |
Tramadol |
po 50 – 100 mg tiap 4-6 jama Jika mula kerja (onset) obat yang
cepat tidak tercapai, mulailah dengan 25 mg/hari dan dititrasi/disesuaikan
dosisnya dalam waktu beberapa hari |
Dosis maksimum 400 mg/24 jam Turunkan dosis pada penderita
gangguan ginjal dan lanjut usia |
a.
Dapat dimulai dengan ‘round the clock’
(pencegahan) dan berubah jika perlu/ jika gejala reda atau episodic
b.
Dapat
mencapai efek analgesic pada batas atas / terbesar (celling effect)
Terapi kombinasi
Kombinasi analgesik oral opioid dan
nonopioid sering lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi dan memungkinkan
untuk mengurangi dosis obat masing-masing. AINS ditambah opioid dengan jadwal
tertentu seringkali efektif untuk nyeri kanker tulang metastase.
Anelgesik
Regional
·
Analgesik
regional dengan anestesi lokal dapat menghilangkan nyeri akut maupun kronis.
Anestesi dapat diberikan melalui injeksi(misal, pada tulang, di epidural atau
ruang intratekal, sepanjang akar saraf) atau secara topikal.
·
Kadar
plasma yang tinggi dapat menyebabkan eksitasi dan depresi SSP (pusing,
tinnitus, mengantuk, disorientasi, hentakan otot, kejang/seizures, henti nafas.
Efek kardiovaskular meliputi depresi miokardial dan efek lain. Diperlukan
teknik yang terlatih, pemberian yang sering, dan prosedur yangdilengkapi dengan
tindak lanjut.
(Mutschler, 1991)
Enzim fosfolipase
Enzim
lipoksigenase Enzim
siklooksigenase
PGE2, PGF2, PGD2 Prostasiklin
Leukotrien
Tromboksan A2
Gambar
Biosintesis prostaglandin (Wilmana, 2007)
6.2 Terapi nonfarmakologi
Menurut
Tamsuri (2007), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula
tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan
penanganan berdasarkan:
1.
Penanganan
fisik/stimulasi fisik meliputi:
a. Stimulasi kulit
Pijatan
pada kulit
memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau
menurunkan impuls nyeri
b. Stimulasi electric (TENS)
Cara kerja dari sistem ini masih
belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan endorfin,
sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan kantong es
dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan
stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan
melalui elektroda luar.
c.
Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang
sudah sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang
dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung
pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
d. Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan
zat tanpa kegiatan farmakologik dalam
bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan
injeksi dan sebagainya.
2.
Intervensi
perilaku kognitif meliputi:
a.
Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif
untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
1)
Relaksasi akan menurunkan ansietas
yang berhubungan dengan nyeri atau stress
2)
Menurunkan nyeri otot
3)
Menolong individu untuk melupakan
nyeri
4)
Meningkatkan periode istirahat dan
tidur
5)
Meningkatkan keefektifan terapi nyeri
lain
6)
Menurunkan perasaan tak berdaya dan
depresi yang timbul akibat nyeri
Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai
berikut:
1)
Klien menarik nafas dalam dan
menahannya di dalam paru
2)
Secara perlahan-lahan keluarkan udara
dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan betapa nyaman hal tersebut
3)
Klien bernafas dengan irama normal
dalam beberapa waktu
4)
Klien mengambil nafas dalam kembali
dan keluarkan secara perlahan-lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks.
Perawat minta kepada klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang
terasa ringan dan hangat.
5)
Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan
fikiran pada lengan, perut, punggung dan kelompok otot-otot lain
6)
Setelah klien merasa relaks, klien
dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri menjadi hebat klien dapat
bernafas secara dangkal dan cepat. (Irman,
2007)
b.
Umpan
balik biologis
Terapi perilaku yang dilakukan dengan
memberikan individu informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih
kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi
ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
c.
Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri
melalui pengaruh sugesti positif.
d.
Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau
pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan
(massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.
e.
Guided Imagination (Imajinasi
terbimbing)
Meminta
pasien berimajinasi
membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan
ruangan yang tenang serta konsentrasi dari pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus
dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri
akut.
3.
Evaluasi
Hasil Terapi
a. Intensitas nyeri, penyembuhan nyeri,
dan efek samping obat harus dikaji secara teratur. Waktu dan keteraturan pengkajian tergantung
kepada jenis nyeri dan obat yang digunakan.
b. Nyeri pasca bedah dan eksaserbasi akut
nyeri kanker mungkin memerlukan pengkajian setiap jam, sedangkan nyeri kronis
bukan keganasan mungkin hanya perlu dipantau tiap hari (atau lebih lama).
c.
Kualitas
hidup juga harus dikaji secara teratur pada semua pasien.
d. Penatalaksanaan terbaik dari efek
samping opioid berupa konstipasi (sembelit) adalah pencegahan. Pasien harus dikonseling mengenai asupan
cairan dan serat yang memadai, dan dapat ditambah laksatif jika diperlukan.
e. Jika nyeri akut tidak berkurang dalam
waktu yang telah diramalkan (biasanya 1-2 minggu), diharuskan memeriksa
penyebabnya lebih lanjut (Sukandar, 2008).
SYOK
A. Definisi
Syok merupakan gangguan sistem sirkulasi yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara volume darah dengan lumen pembuluh
darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.
B. Macam-macam Syok
Berdasarkan
sumber penyebabnya terdapat 4 macam
syok, yaitu
1.
Syok hipovolumik
Syok hipovolumik meruakan syok yang
disebabkan oleh hilangnya cairan/plasma (luka bakar, gagal ginjal, diare,
muntah), kehilangan darah (cedera parah, pasca operasi).
2. Syok
anafikaltik
Syok anafilaktik merupakan syok yang
disebabkan oleh pajanan zat allergen sehingga memicu reaksi elergi yang
akhirnya diikuti oleh vasodilatasi pembuluh darah massif.
3. Syok
neurogenik
Merupakan syok yang disebabkan kegagalan
pusat vasomotor yang ditandai dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara
mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara
massif.
4. Syok sepsis
Merupakan sindroma klinik ketidakadekuatan
perfusi jaringan akibat terjadinya sepsis.
5. Syok
kardiogenik
Merupakan syok yang disebabkan kegagalan
jantung yang ditandai dengan menurunnya kardiak out put sehingga mengakibatkan
ketidakadekuatan volume intravascular.
C.
Etiologi
Syok
Setiap jenis syok memiliki penyebab utama
yang berbeda-beda, seperti yang terlihat dalam tabel 1. Berikut ini.
Tabel 1 Etiologi Syok |
||
NO |
JENIS SYOK |
ETIOLOGI |
1 |
Syok hipovolumik |
1.
Perdarahan 2.
Kehilangan plasma (misal pada luka bakar) 3.
Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain |
2 |
Syok
Anafilaktik |
1.
Antibiotic Penisilin, sofalosporin,
kloramfenikol, polimixin, ampoterisin B 2.
Biologis Serum, antitoksin, peptide, toksoid
tetanus, dan gamma globulin 3.
Makanan Telur, susu, dan udang/kepiting 4.
Lain-lain Gigitan binatang, anestesi local. |
3 |
Syok
Neurogenik |
1.
Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang
belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis dengan quadriflegia atau
para flegia) 2.
Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misal nyeri
hebat 3.
Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan
obat anestesi 4.
Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan
bradikardi jantung mendadak. Hal ini terjadi pada orang yang pingan mendadak
akibat gangguan emosional |
4 |
Syok
Sepsis |
1.
Infeksi bakteri gram negative, misalnya: eschericia
coli, klibselia pneumonia, enterobacter, serratia, proteus, dan providential. 2.
Kokus gram positif, misal: stafilokokus, enterokokus,
dan streptokokus. |
5 |
Syok
Kardiogenik |
1.
Aritmia ·
Bradikardi / takikardi 2.
Gangguan fungsi miokard ·
Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan ·
Penyakit jantung arteriosklerotik ·
Miokardiopati 3.
Gangguan mekanis ·
Regurgitasi mitral/aorta ·
Rupture septum interventrikular ·
Aneurisma ventrikel massif ·
Obstruksi: ·
Out flow :
stenosis atrium ·
Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus. |
D. Patofisiologi
1.
Syok hipovolumik
Syok jenis ini dikenal pula sebagai syok
preload yang ditandai denga menurunnya volume inravaskular karena perdarahan,
dehidrasi, dan lain-lain. Menurunnya volume intravascular menyebabkan penurunan
intraventrikel kiri pada akhir diastole yang akan diikuti oleh menurunnya curah
jantung.
Kondisi ini secara fisiologis akan
menimbulkan mekanisme kompensasi berupa vasokontriksi pembuluh darah oleh
kotekolamin sehingga makin memperburuk perfusi ke jaringan tubuh.
2.
Syok anafilaktik
Ketika terjadi kontak dengan antigen makan
akan terjadi reaksi enzim pada sel mast dan sel basophil sehingga menyebabkan
lepasnya berbagai mediator seperti histamine, slo reacting substance of
anaphylaxis, serotonin, dan kinin.
Pelepasan mediator-mediator tersebut
menyebabkan dilatasi pembuluh darah, peningkatan permebilitas, perangsanga sekresi
mucus, dan kontraksi otot bronkus. Oleh
karena itulah disamping mengalami penurunan darah yang cepat, juga disertai
dengan gangguan pada sistem pernafasan
3. Syok
neurogenik
Cedera pada tulang belakang atau medulla
spinalis menyebabkan kegagalan pada pusat
vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada vena
perifer. Gagalnya pusat vasomotor akan diikuti dengan hilangnya tonus pembuluh
darah secara mendadak diseluruh tubuh
sehingga terjadi penurunan darah sistemik akibat vasodilatasi pembuluh darah
perifer dan penurunan curah jantung
Selain karena cedera, rangsangan pada medulla
spinalis juga bisa disebabkan oleh penggunaan obat ansestesi spinal. Sedangkan
letupan rangang parasimpatis ke jantung dapat memperlambat denyut jantung dan
menurunkan rangsangan simpatis pada pembuluh darah. Proses ini terjadi katika
seseorang mendapatkan rangsangan emosional yang sangat kuat, misal
mendengar/menyaksikan sesuatu yang membuatnya sangat marah atau sedih.
4. Syok
sepsis
Syok ini disebabkan karena adanya sumber
infeksi dalam tubuh terutama bakteri gram negatif. Endotoksin basil gram
negative dapat menyebabkan beberapa hal
yaitu:
a. vasodilatasi
kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer
b. peningkatan
permeabilitas kapiler.
Vasodilatasi perifer akan meningkatkan
kapasitas vaskuler sehingga menyebabkan hipovolumia relative, sedangkan
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan hilangnya cairan intravascular ke
interstitial dan menyebabkan udem. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan syok
Pada syok sepsis hipoksia sel, tidak terjadi
karena adanya penurunan perfusi jaringan, melainkan karena ketidakmampuan sel
menggunakan oksigen karena toksin kuman.
5. Syok
kardiogenik
Respon neurohormonal dan reflex adanya
hipoksia akan menaikan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, serta
kontraktilitas miokard. Kondisis diatas akan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard, sehingga makin memperburuk keadaan dimana sebelumnya perfusi miokard
telah menurun.
Efek selanjutnya adalah penurunan curah
jantung, penurunan tekanan darah, dan jika indeks jantung telah kurang dari 1,8
L/menit/m2 maka terjadilah syok kardiogenik tersebut.
E.
Manifestasi
klinis
Manifestasi klinis pada semua jenis shock
hampir sama, yaitu timbulnya tanda dan gejala sebagai berikut:
1. sistem
kardiovaskular
· gangguan
sirkulasi perifer: pucat, akral dingin, capillary refill lambat. dan penurunan
tekanan darah
· nadi
cepat dan halus
· tekanan
darah rendah à
tanda ini tidak bisa dijadikan pegangan karena terdapatnya mekanisme kompensasi
hingga kehilangan darah 1/3 volume total.
· Vena
perifer kolap, dimana vena leher merupakan penilaian paling baik
· CVP
rendah.
2. sistem
respirasi
· nafas
cepat dan dangkal
3. sistem
saraf pusat
· perubahan
status mental pasien. Bila tekanan darah rendah makan akan menyebabkan hipoksia
otak sehingga pasien tampak gelisah hingga kehilangan kesadaran.
4. sistem
gastrointestinal
· kurangnya
asupan oksigen ke saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa mual hingga muntah
5. sistem
perkemihn
·
produksi urin yang berkurang. Normal
rata-rata produksi urin dewasa adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)
F.
Pemeriksaan
Diagnostik
1. Anamnesa
Beberapa
hal penting yang perlu diketahui pada pasien baik dari keluarga maupun teman
dekatnya, antara lain:
a. Riwayat
trauma
b. Riwayat
penyakit jantung
c. Riwayat
infeksi
d. Riwayat
pemakaian anafilaktik
2. Pemeriksaan
Fisik
a. Kulit:
·
suhu dingin (hangat pada syok septic hanya
bersifat sementara)
·
warna
pucat (pada syok septi biasanya
kemerahan, sedangkan pada syok kardiogenik biasanya sianosis)
·
basah, terjadi jika syok telah memasuki fase
lanjutdan basah.
b. Tekanan
darah:
Hipotensi
dengan sistol < 80 mmHg
c. Jantung
Takikardi,
denyut lemah, dan sulit diraba
d. Respirasi
Respirasi
meningkat dan dangkal dan kemudian
melambat
e. Status
mental
Gelisah,
cemas, agitasi, tampak ketakutan, kesadaran menurun, spoor, dan koma.
f. Ginjal
Oliguria,
anuria (curah urin < 30 ml/jam
g. Fungsi
metabolic
·
Asidosis akibat timbunan asam laktat di
jaringan
·
Alkaliosis respirasi akibat takipneu
h. Sirkulasi
Tekanan
darah vena sentral menurun pada syok hipovolumik tetapi meninggi pada syok
kardiogenik
i. Keseimbangan
asam basa
Pada
awal syok, pO2 dan pCO2 menurun. Penurunan pCO2 karena adanya takipne,
sedangkan penurunan pO2 karena adanya aliran pintas paru.
3. Pemeriksaan
penunjang
a. Pemeriksaan
darah: Hb, Hmt, Leukosit, dan golongan darah
b. Kadar
elektrolit, kadar ureum, kreatinin, dan glukosa darah
c. Analisa
gas darah
d. EKG
G.
Penanganan
Penanganan setiap jenis syok membutuhkan
penghilangan penyebab utama syok tersebut. Misalnya pada syok anafilaktik maka
perlu pembuangan antigen penyebab baik dengancara menghentikan pemberian agen,
atau lewat obat-obatan untuk menghilangkan efek agen dengan cara memperbaiki
tonus otot.
sedangkan pada syok sepsis maka perlu
menghilangkan bakteri penyebab syok tersebut melalui pemberian obat-obatan
antibiotic. Selain itu memerlukan
pemulihan hemodinamik dengan cara pemberian cairan berdasarkan perubahan
fisiologis yang terjadi.
Selain penatalaksanaan umum pada syok terdapat
pula penatalaksanaan khusus berupa pemberian agen-agen untuk memperbaiki
hemodinamik pasien .
1. Penatalaksanaan
umum
a) Segera
baringkan panderita, dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
menaikan aliran balik vena. Usaha ini bertujuan untuk memperbaiki curah jantung
dan menaikan tekanan darah
b) Penilaian
ABC sebagai tahapan dari resusitasi
jantung paru
·
Air ways à
penilaian jalan nafas
Jaga
agar jalan nafas tetap terbuka, pastikan tidak ada sumbatan. Jika pasien dalam
kondisi tak sadar, posisikan kepala dan leher agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan nafas dengan cara melakukan ekstensi kepala
·
Breathing à
penilaian status pernafasan
Memberikan
bantuan nafas jika ada tanda-tanda pasien tidak mampu bernafas spontan, baik
mouth to mouth, mouth to nose, atau dengan menggunakan alat bagging.
Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring maka diperlukan obat-obatan
bronkodilator untuk mempertahankan jalan nafas terbuka. Sedangkan penderita yang mengalami obstruksi
jalan nafas total maka diperlukan tindakan intubasi segera melalui endotrakhe,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
·
Circulation
Jika
tidak teraba nadi pada arteri besar (carotid, atau femoralis) maka segera
lakukan kompresi jantung luar.
c) Menghilangkan
atau mengasi penyebab syok
2. Penatalaksanaan
khusus
a) Vasopressor
Pemberian obat-obatan ini adalah setelah
koreksi cairan dan ventilasi. Bila terjadi bradikardi, berikan terlebih dahulu
isoproterenol untuk meningkatkan O2 miokard, sehingga dapat mencegah meluasnya
infark miokard.
Yang termasuk agen vasopressor ini adalah
noradrenalin, dopamine, dobutamin, dan pentolamin.
Noradrenalin diberikan sebanyak 16 mg atau 10
mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5%. Sedangkan pemberian dopamine dan
dobutamin juga sangat dianjurkan untuk meningkatkan perfusi ginjal.
Dopamine mampu meningkatkan perfusi ginjal
melalui stimulasi reseptor dopaminergik pada dosis 0,5-2 mcg/kgBB/menit.
Sedangkan pada dosis 5-10 mcg/kgBB/menit akan menstimulasi reseptor beta yang
berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot jantung. Akan tetapi jika melebihi
10 mcg/kgBB/menit maka ia akan menstimulasi reseptor alfa yang meningkatkan
tahanan vascular sistemik sehingga memperburuk kondisi pada gagal jantung.
Dobutamin memberikan efek yang baik terhadap
peningkatan curah jantung tanpa mempengaruhi tekanan darah. Sedangkan akibat
lain yang ditimbulkan adalah penurunan tahanan sistemik, tekanan vena dan
denyut jantung.
b) Vasodilator
Obat-obatan ini terutama untuk syok
kardiogenik dimana jantung mengalami kelemahan. Nitrogliserin digunakan dengan
tujuan untuk mengurangi preload sehingga menurunkan beban jantung.
Na Nitrofusid digunakan untuk preload dan
afterload dengan dosis 0,5-3 mcg/kgBB/menit. Selain itu terdapat juga captropil
yang digunakan sebagai penurun preload dan afterload.
c) Inotropik
Obat ini digunakan terutama pada pasien syok
kardiogenik dengan tujuan untuk menurunkan aktivitas jantung yang berlebih,
sehingga menurunkan kebutuhan oksigen miokard.
H. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang bisa ditegakan antara lain:
1. Perfusi
jaringan tidak efektif: serebral/perifer/ginjal/gastrointestinal bd hipovolume,
kelemahan jantung
2. Panurunan
cardiac out put bd gangguan otot jantung
DAFTAR
PUSTAKA
Alfa.
2010. Nyeri dan Sebah Di Perut. Di
akses dari : http://panmedical.wordpress.com/2010/01/14/nyeri-dan-sebah-di-perut-2/ [diakses tanggal 23
September 2010]
Baumann,
Terry J. and Jennifer Strickland. 2008.
Pain Management. Dalam : L. Michael
Posey (editor). Pharmacotherapy A
Pathophysiological Approach. New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Hal
989-1001.
Dharmayana, D. 2009. Tata
Laksana Nyeri. Available at : http://malutpost.com/berita/index.php?option=com_content&task=view&id=110&Itemid=38 [diakses tanggal
22 September 2010]
Doenges
Marilynn E .(2002). Rencana
Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien)
Edisi 3. Jakarta : EGC.
Hudak
& Gallo.(1997).Keperawatan Kritis Pendekatam Holistik. Jakarta : EGC.
Irman. 2007. Konsep
Nyeri. Available at : http://irmanthea.blogspot.com/2007_07_15_archive.html [diakses
tanggal 22 September 2010]
Katzung,
Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan
Klinik. Buku Dua Penerjemah : Dr. Dripa Sjabana. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika.
Mutschler,
E. 1991. Dinamika Obat. Edisi V. Bandung : ITB.
NANDA,
Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2001-2002 , Philadelphia
Neal,
M. J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5.
Jakarta : Erlangga.
Nettina, Sandra M. (2002). Pedoman
Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC.
Potter.
2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price Sylvia A .(1995).Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Smeltzer,
S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar