Jumat, 18 November 2022

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS (IMA & DECOMCORDIS) PENATALAKSANAAN NYERI DAN SHOCK . PENGENDALIAN INFEKSI DI ICU, PASIEN SAFETY,

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Pada tahun-tahun belakang ini terlihat adanya kebutuhan organisasi jasa  ntuk memperbaiki cara berhubungan dengan pelanggan (Cook, 2002). Rumah sakit sebagai organisasi yang bergerak dibidang jasa pelayanan dimana salah satu tujuannya adalah terciptanya kepuasan pelanggan. Untuk memenuhi tujuannya tersebut salah satunya dengan melakukan pengembangan sumber daya manusia melalui pemetaan tenaga kerja khusunya tenaga kerja perawat. Menurut DepKes (2000) mengatakan bahwa pengembangan tenaga kesehatan pada hakekatnya adalah proses pengembangan yang bersifat multidisiplin dan lintas sektor serta program untuk memeratakan dan meningkatkan mutu tenaga kesehatan melalui upaya penyusunan dan rencana, pedayagunaan, serta pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan.

Globalisasi memberikan dampak positif bagi setiap profesi kesehatan untuk selalu berupaya meningkatkan kinerja profesionalnya dalam berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan perkembangan pesat dalam teknologi kesehatan, perubahan sosial ekonomi, peningkatan konsumen terdidik dan peningkatan kesadaran klien akan haknya. Faktor tersebut membawa dampak bagi meningkatnya tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan kesehatan. Masyarakat mampu memilih jenis dan kualitas pelayanan yang diinginkan.

Tenaga profesional kesehatan termasuk didalamnya tenaga keperawatan dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang berkualitas hanya dapat diwujudkan dengan pemberian layanan kesehatan yang profesional, demikian juga dengan pemberian asuhan keperawatan harus dilaksanakan dengan praktik keperawatan yang profesional

Semakin tingginya kepedulian masyarakat akan kesehatan telah membuat masyarakat berpikir secara kritis terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya, baik pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter maupun perawat. Kesadaran masyarakat tentang kesehatan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai macam tuntutan antara lain pelayanan keperawatan yang berkualitas dan memberikan kepuasan kepada klien.

Perawat yang berkerja di unit perawatan intensif tentunya akan berhadapan dengan masalah kesehatan yang sangat kompleks baik dari penyakit klien sendiri maupun teknologi yang tersedia di unit tersebut, bahkan harus bermitra dengan dokter yang memiliki kemampuan pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu sangat diperlukan keterampilan dan kemampuan yang tinggi dalam menangani klien kritis bagi perawat tersebut.

Pada era globalisasi tingkat pengetahuan dan perubahan tata nilai yang berlaku di masyarakat menyebabkan meningkatnya tuntutan terhadap tenaga kesehatan, hal ini berdampak pada meningkatnya berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh rumah sakit sebab rumah sakit sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan rawat jalan dan rawat inap yang hidup dalam lingkungan dinamis dan komprehensif. Pengelolaan rumah sakit harus dikelola dengan manajemen tata kelola yang komprehensif yang harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang muncul akibat perubahan - perubahan tersebut. Oleh karena itu rumah sakit harus mengembangkan diri baik sarana fisik maupun kemampuan sumber daya manusia sehingga mampu memberikan pelayanan keperawatan secara profesional dan bermutu.

Pelayanan keperawatan profesional merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif ditujukan kepada individu keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan, untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri. Kegiatan dilakukan dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan serta pemeliharaan kesehatan dengan penekanan pada upaya pelayanan kesehatan utama (Primary Health Care) sesuai wewenang, tanggung jawab dan etika profesi keperawatan.

Kontribusi pelayanan keperawatan terhadap pelayanan kesehatan, yang dilaksanakan di sarana kesehatan sangat tergantung pada manajemen pelayanan keperawatan. Manajemen pelayanan  keperawatan merupakan suatu proses perubahan atau tranformasi dari sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan melalui pelaksanaan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengarahan, evaluasi, dan pengendalian mutu keperawatan.

Tata kelola manajemen keperawatan adalah suatu proses kerja yang dilakukan oleh anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan secara profesional. Dalam hal ini seorang manajer keperawatan dituntut untuk melakukan suatu proses yang meliputi lima fungsi utama yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan, pengarahan dan kontrol agar dapat memberikan asuhan keperawatan seefektif dan seefisien mungkin bagi klien dan keluarganya (Nursalam, 2002). Proses manajemen keperawatan dilaksanakan melalui tahap-tahap yaitu pengkajian (kajian situasional), perencanaan (strategi dan operasional), implementasi dan evaluasi.

Manajemen keperawatan di rumah sakit terdiri dari manajemen asuhan dan manajemen unit. Manajemen asuhan sangat penting diterapkan pada seluruh tatanan praktik keperawatan. Perawat secara tepat harus dapat mengkaji, mengidentifikasi, merencanakan dan melakukan proses keperawatan sesuai dengan karakterisrtik klien dan permasalahannya. Dalam prosesnya manajemen asuhan harus dilaksanakan sesuai dengan SOP dan standar asuhan yang berlaku sehingga perawat dapat memberitahukan pelayanan keperawatan secara aman dan berkualitas.

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

1.1  Pengendalian Infeksi di ICU

1.1.1     Terminologi

Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan terkena invasi mikro organisme pathogen, berkembang biak dan menyebabkan sakit. Mikro organisme, adalah agen penyebab infeksi berupa bakteri, virus, jamur, ricketsia, dan parasit.

Infeksi Nosokomial, yaitu infeksi yang diperoleh ketika seseorang dirawat di rumah sakit, tanpa adanya tanda-tanda infeksi sebelumnya dan minimal terjadi 3x24 jam sesudah masuk kuman.

1.1.2     Patogenesis

Interaksi antara pejamu (pasien, perawat, dokter, dll), agen (mikroorganisme pathogen) dan lingkungan (lingkungan rumah sakit, prosedur pengobatan, dll) menentukan seseorang dapat terinfeksi atau tidak.

Agen

Lingkungan

Pejamu

 

 

 

 

 

 

 


Untuk bakteri, virus, dan agen infeksi lainya agar bertahan hidup dan menyebabkan penyakit tergantung dari factor-faktor kondisi tertentu harus ada:

AGEN

Orang yang dapat terinfeksi

WADUK

TEMPAT

KELUAR

CARA
PENGELUARAN

PEJAMU YANG
RENTAN

TEMPAT
MASUK

Agen meninggalkan pejamu

Bagaimana agen berpindah dari tempat lain

Agen memasuki pejamu

Tempat hidup agen

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sebagaimana tampak pada gambar ini, suatu penyakit memerlukan keadaan tertentu untuk dapat menyebar ke orang lain:

1.  Harus ada agen

2.  Harus ada waduk / pejamu : manusia, binatang, tumbuhan-tumbuhan, tanah, udara, dan air.

3.  Harus ada lingkungan yang cocok di luar pejamu untuk dapat hidup.

4.  Harus ada orang untuk dapat terjangkit. Untuk dapat terjangkit penyakit infeksi harus rentan terhadap penyakit itu.

5.  Agen harus punya jalan untuk dapat berpindah dari pejamunya untuk menulasi pejamu berikutnya, terutama melalui: udara, darah atau cairan tubuh, kontak, fektal-oral, makanan, binatang atau serangga.

Mikroorganisme menjadi penyebab infeksi nosokomial tergantung dari factor dalam agen:

1.  Kemampuan menempel pada permukaan sel pejamu

2.  Dosis yang tidak efektif

3.  Kemampuan untuk invasi dan reproduksi

4.  Kemampuan memproduksi toksin

5.  Kemampuan menekan system imun pejamu

Sedangkan factor dalam pejamu yang mempengaruhi timbulnya infeksi nosokomial adalah:

1.  Usia

2.  Penyakit dasar

3.  System imun dan factor lingkungan:

4.  Factor fisik : suhu, kelembaban, lokasi (ICU, ruang rawat jangka panjang, sarana air).

5.  Factor biologik : serangga perantara

6.  Factor social : status ekonomi, perilaku, makanan dan cara penyajian.

1.1.3     Sumber Infeksi

Sumber infeksi nosokomial dapat dibagi dalam 4 bagian:

1.  Petugas rumah sakit (perilaku)

a.    Kurang memahami cara penularan penyakit

b.    Kurang memperhatikan kebersihan

c.    Kurang atau tidak memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic

d.    Menderita penyakit tertentu

e.    Tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan

2.  Alat yang dipakai

a.    Kotor

b.    Rusak

c.    Penyimpanan kurang baik

d.    Dipakai berulang-ulang

e.    Kadaluarsa

3.  Pasien

a.    Kondisi yang sangat lemah

b.    Kebersihan kurang

c.    Menderita penyakit kronis

d.    Menderita penyakit menular

4.  Lingkungan

a.    Tidak ada sinar matahari / penerangan yang masuk

b.    Ventilasi udara kurang baik

c.    Ruangan lembab

d.    Banyak serangga.

1.1.4     Transmisi Mikroorganisme

Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai cara, bias lebih dari satu cara. Ada lima cara terjadinya trasmisi mikroorganisme yaitu: contact, droplet, airbone, common vehicle, dan vertorborne.

1.    Contact transmission

Contact transmission adalah yang paling sering pada infeksi nosokomial, dibagi dalam dua grup; direct contact, dan indirect contact.

2.    Direct contact (kontak langsung)

Transmisi mikroorganisme langsung permukaan tubuh ke permukaan tubuh, seperti saat memandikan, membalikkan pasien, kegiatan asuhan keperawatan yang menyentuh permukaan tubuh pasien, dapat juga terjadi di antara dua pasien.

3.    Indirect contact (kontak tidak langsung)

Kontak dengan kondisi orang yang lemah melalui peralatan yang terkontaminasi, seperti peralatan instrument yang terkontaminasi : jarum, alat dressing, tangan yang terkontaminasi tidak dicuci, dan sarung tangan tidak diganti di antara pasien.

4.    Droplet transmission (Percikan)

Secara teoritikal merupakan bentuk kontak transmisi, namun mekanisme transfer mikroorganisme pathogen  ke pejamu agak ada jarak dari transmisi kontak. Mempunyai partikel sama atau lebih besar dari 5 mikron. Droplet transmisi dapat terjadi ketika batuk, bersin, beribicara, dan saat melakukan tindakan khusus, seperti saat melakukan pengisapan lendir, dan tidakan broschoskopi.

Transmisi terjadi ketika droplet berisi mikroorganisme yang berasal dari orang terinfeksi dalam jarak dekat melalui udara menetap / tinggal pada konjunctiva, mukosa, hidung, dan mulut yang terkena. Karena droplet tidak meninggalkan sisa di udara, maka penangan khusus udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet transmisi.

5.    Airbone transimisi (melalui udara)

Transimisi melalui udara yang terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen, memiliki partikel kurang atau sama dengan 5 mikron. Transmisi terjadi ketika menghirup udara yang mengandung mikroorganisme pathogen. Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu sehingga penanganan khusus udara dan ventilasi perlu dilakukan. Mikroorganisme yang ditransmisi melalui udara adalah mycrobacterium tubercolusis, rubeola, dan varicella virus.

6.    Common Vehicle Transmission

Transmisi mikroorganisme melalui makanan, minuman, alat kesehatan, dan peralatan lain yang terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen.

7.    Vectorborne transmission

Transmisi mikroorganisme melalui vector seperti nyamuk, lalat, tikus, serangga lainya.

1.1.5     Upaya Pengendalian Infeksi Nosokomial

Pengendalian infeksi nosokomial merupakana kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan denga tujuan untuk menurunkan kejadian infeksi nosokomial.

Pengendalian infeksi sudah dilakukan sejak lama di AS sedangkan di Indonesia baru mulai dilakukan pada tahun 1980an dan dianggap sebagai salah satu managemen resiko dan kendali mutu pelayanan rumah sakit.

Upaya pengendalian / pemberantasan infeksi nosokomial terutama ditujukan pada penurunan laju infeksi (VAP, ISK, decubitus, MRSA, dll). Untuk itu perlu disusun pedoman standar / kebijakan pengendalian infeksi nosokomial, meliputi:

1.    Penerapan standar precaution (cuci tangan dan penggunaan alat pelindung)

2.    Isolasi precaution

3.    Antiseptik dan aseptic

4.    Desinfeksi dan sterilisasi

5.    Edukasi

6.    Antibiotik

7.    Survelians

Tujuan pengendalian infeksi nosokomial ini terutama :

1.    Melindungi pasien

2.    Melindungi tenaga kesehatan, pengunjung

3.    Mencapai cost effective

Dampak yang dapat dirasakan apabila terjadi infeksi nosokomial adalah sebagai berikut:

1.    Bagi pasien

a.  LOS lebih panjang

b.  Cost / pembiayaan meningkat

c.   Penyakit lain yang mungkin lebih berbahaya daripada penyakit dasarnya

d.  GDR meningkat

2.    Bagi staff: medis dan non medis

a.  Beban kerja bertambah

b.  Terancam rasa aman dalam menjalankan tugas / pekerjaan

c.   Memungkinkan terjadi tuntutan malpraktek

1.1.6     Pencegahan Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial merupakan kontributror penting pada morbiditas dan mortalitas. Infeksi akan lebih penting sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan dampat ekonomis dan manusiawi karena:

1.    Peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk

2.    Semakin seringnya masalah dengan gangguan imunitas

3.    Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Ducci 1995).

Infeksi nosokomial merupakan focus penting pencegahan infeksi di negara berkembang. Infeksi ini adalah penyebab utama penyakit dan kematian yang dapat dicegah, yang paling penting adalah:

1.    Infeksi aliran darah

2.    Peritonitis (CAPD)

3.    Hepatitis (HD)

Pengelolaan benda-benda tajam

Benda-benda tajam yang sering dijumpai adalah :

1.    Jarum suntik / jarum hipodermik

2.    Jarum jahitan

3.    Silet

4.    Pisau scapel

Memerlukan penanganan khusus karena benda-benda tajam ini dapat menyebabkan luka bagi petugas kesehatan, dan juga masyarakat sekitar jika sampah dibuang di tempat sampah umum.

Enkapsulasi

Enkapsulasi dianjurkan sebagai cara termudah membuang benda-benda tajam, benda tajam dikumpulkan dalam wadah tahan tusukan dan antibocor. Sesudah ¾ penuh, bahan seperti semen, pasien, atau bubuk plastic dimasukkan dalam wadah sampai penuh. Sesudah bahan menjadi padat dan kering, wadah ditutup, disebarkan pada tanah rendah, ditimbun dan dapat dikuburkan. Bahan sisa kimia dapat dimasukkan bersama dengan benda-benda tajam. (WHO 1999).

Pembuangan di daerah tindakan

Ingat:

1.    Untuk menghindari luka tertusuk jarum, jangan membengkokkan, mematahkan, atau menyarugkan jarum ketika akan membuang.

2.    Tempatkan container di tempat yang mudah dicapai, sehingga petugas kesehatan tidak perlu membawa-bawa benda tajam.

Langkah-langkah:

1.    Jangan menyarungkan kembali penutup atau melepaskan jarum spuit

2.    Masukkan benda-benda tajam tersebut dalam wadah yang tahan tusukan misalnya kotak kardus tebal, botol plastic, atau kaleng berpenutup. Bukaan penutup harus cukup lebar untuk mudah memasukkan benda-benda tersebut, tatapi cukup kecil supaya sukar untuk dikeluarkan lagi. (botol cairan infuse intravena dapat digunakan tetapi mudah pecah).

3.    Jika wadah sudah terisi ¾, pindahkan dari area tindakan untuk dibuang.

4.    Waktu membuang benda-benda tajam:

a.    Pakailah sarung tangan rumah tangga yang tebal

b.    Jika container sudah ¾ penuh, tutup/sumbat atau plaster dengan rapat. Pastikan tidak ada bagian benda tajam yang menonjol keluar wadah.

c.    Buanglah wadah benda tajam tersebut secara dibakar, enkasulasi, atau dikubur.

d.    Lepaskan sarung tangan (cuci setiap hari atau setiap kali terlihat kotor dan keringkan)

e.    Cuci tangan dan keringkan dengan kain atau handuk bersih atau alat pengering lainya.

1.1.7     Isolasi

1.    Early Isolation Practise

Isolation precaution pertama kali dipublikasikan di AS pada tahun 1877, dimana pada waktu itu buku pegangan rumah sakit merekomendasikan penempatan pasien infeksi di fasilitas terpisah. Penempatan pasien penyakit infeksi pada fasilitas terpisah pada akhirnya menjadi dikenal sebagai rumah sakit penyakit infeksi. Walaupun demikian pasien penyakit infeksi dipisahkan dari pasien penyakit non infeksi, transmisi infeksi nosokomial berlangsung terus, sebab pasien penyakit infeksi tidak dipisahkan menurut jenis penyakit infeksinya.

Selanjutnya petugas di rumah sakit penyakit infeksi mulai memikirkn masalah transmisi penyakit infeksi nosokomial, dengan menata menempatkan pasien penyakit infeksi yang sama jenisnya dan melakukan teknik aseptic pada prosedur tindakan pada tahun 1890 – 1900.

Pada tahun 1910 praktek isolasi di AS diubah dengan memperkenalkan system kubikel, dimana pasien pada system kubikel ini pasien penyakit infeksi ditempatkan di ruang multiple bed. Pada system kubikel petugas rumah sakit memakai gaun terpisah dan mencuci tangan dengan larutan antiseptic setelah kontak dengan pasien dan melakukan desinfeksi peralatan yang terkontaminasi dengan pasien. Prosedur perawatan ini dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen kepada pasien lain dan petugas rumah sakit dan akhirnya prosedur ini dikenal sebagai “barrier nursing”.

Dengan menggunakan isolasi system kubikel dan prosedur “barrier nursing” maka rumah sakit umum mulai mengambil alternative menempatkan beberapa pasien di rumah sakit penyakit infeksi.

Sepanjang tahun 1950 di AS rumah sakit penyakit infeksi mulai tutup kecuali khusus untuk pasien infeksi tuberculosis. Pada pertengahan tahun 1960 rumah sakit penyakit infeksi tuberculosis juga mulai tutup, Karena pasien-pasien tuberculosis lebih menyukai rumah sakit umum dan rawat jalan. Akhirnya pada tahun 1960 pasien penyakit infeksi ditempatkan di rumah sakit umum dengan menempatkan di ruang isolasi satu kamar atau multiple-patient room.

 

2.    CDC Isolation Manual

Pada tahun 1970 di Centers of Dissease Control (CDC) mempublikasikan secara detail menual isolasi “isolation techniques for Use in Hospital” untuk membantu rumah sakit umum dalam isolation precaution. Direvisi pada tahun 1975. manual ini dapat diaplikasikan pada rumah sakit kecil dengan sumber-sumber terbatas.

Manual ini memperkenalkan isolation precaution dengan system kategori. Direkomendasikan bajwa rumah sakit menggunakan satu dari tujuh kategori isolasi. Ketujuh kategori isolasi adalah: Stric Isolation, Respiratory Isolation, Protective isolation, Enteric Isolation, Wound and Skin Precaution, Discharge precaution, dan  Blood Precaution. Pada pertengahan tahun 1970, 93% rumah sakit di US mengadopsi Isolation Manual ini.

Pada tahun 1980 rumah sakit mengalami endemic dan epidemic masalah infeksi nosokomial, beberapa disebabkan oleh multi-drug resistant mikroorganisme, adanya pathogen yang baru dikenal, yang memerlukan isolation precaution yang berbeda dari kategori isolasi yang ada. Adanya peningkatan kebutuhan isolasi precaution ditunjukkan lebih spesifik pada transmisi nosokomial di unit perawatan khusus / intensif. Selanjutnya sesuai dengan epidemiologi dan metode transmisi beberapa penyakit infeksi, CDC perlu merevisi isolation manual.

Pada tahun 1981 – 1983 CDC Hospital Infection Program  bersama spesialis penyakit infeksi, pediatric bedah, epidemiologi rumah sakit, petgas pengendalian infeksi melakukan revisi Isolation Manual.

1.1.8     Penerapan Isoslasi Protection Di Rumah Sakit

Isolation precaution merupakan bagian integral dari program pengendalian infeksi nosokomial

1.   Tujuan

Isolation Precaution bertujuan untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen dari satu pasien ke pasien lain dan dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya. Karena agen dan host lebih sulit dikontrol maka pemutusan mata rantai infeksi dengan cara Isolation Precaution sangat diperlukan.

2.   Airborne Precaution

a.     Penempatan pasien

Tempatkan pasien di kamar tersendiri yang mempunyai persyaratan sebagai berikut:

1)     Tekanan udara kamar negative dibandingkan dengan area skitarnya.

2)     Pertukaran udara 6 – 12 kali/jam.

3)     Pengeluaran udara keluar yang tepat mempunyai penyaringan udara yang efisien sebelum udara dialirkan ke area lain di rumah sakit.

4)     Selalu tutup pintu dan pasien berada di dalam kamar

5)     Bila kamar tersendiri tidak ada, tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien lain dengan infeksi mikroorganisme yang sama atau ditempatkan secara kohort.

6)     Tidak boleh menempatkan pasien satu kamar dengan infeksi berbeda.

b.     Respiratory Protection

1)    Gunakan perlindungan pernapasan (N 95 respirator) ketika memasuki rungan pasien yang diketahui infeksi pulmonary tuberculosis

2)    Orang yang rentan tidak diberarkan memasuki ruang pasien yang diketahui atau diduga mempunyai measles (rubeola) atau varicella, mereka harus memakai respiratory protection (N 95) respirator.

3)    Orang yang immune terhadap measles (rubeola), atau varicella tidak perlu memakai perlindungan pernafasan.

c.      Patient Transport

1)    Batasi area gerak pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya tujuan yang penting saja.

2)    Jika berpindah atau transportasi gunakan masker bedah pada pasien

3.   Droplet Precaution

a.     Penempatan Pasien

1)    Tempatkan pasien di kamar tersendiri

2)    Bila pasien tidak mungkin di kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart

3)    Bila hal ini tidak memungkinkan, tempatkan pasien dengan jarak 3 ft dengan pasien lainya

b.     Masker

1)    Gunakan masker bila bekerja dengan jarak 3 ft

2)    Beberapa rumah sakit menggunakan masker jika masuk ruangan

c.      Pemindahan pasien

1)    Batasi pemindahan dan transportasi pasien dari kamar pasien, kecuali untuk tujuan yang perlu

2)    Untuk meminimalkan penyebaran droplet selama transportasi, pasien dianjurkan pakai masker

4.   Contact Precaution

1)    Penempatan pasien

1)    Tempatkan pasien di kamar tersendiri

2)    Bila tidak ada kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart

2)    Sarung tangan dan cuci tangan.

1)    Gunakan sarung tangan sesuai prosedur

2)    Ganti sarung tangan jika sudah kontak dengan peralatan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme

3)    Lepaskan sarung tangan sebelum meninggalkan ruangan

4)    Segera cuci tangan dengan antiseptic / antimicrobial atau handscrub

5)    Setelah melepas sarung tangan dan cuci tangan yakinkan bahwa tangan tidak menyentuh peralatan atau lingkungan yang mungkin terkontaminasi, untuk mencegah berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain.

3)    Gaun

1)    Pakai gaun bersih / non steril bila memasuki ruang pasien bial diantisipasi bahwa pakaian akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau peratalan pasien di dalam kamar atau jika pasien menderita inkontaneia, diare, fleostomy, colonostomy, luka terbuka

2)    Lepas gaun setelah meninggalkan ruangan.

3)    Setelah melepas gaun pastikan pakaian tidak  mungkin kontak dengan permukaan lingkungan untuk menghindari berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain

4)    Transportasi pasien

5)    Batasi pemindahan pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya untuk tujuan yang penting saja. Jika pasien harus pindah atau keluar dari kamarnya, pastikan bahwa tindakan pencegahan dipelihara untuk mencegah dan meminimalkan resiko transmisi mikroorganisme ke pasien lain atau permukaan lingkungan dan peralatan.

5.   Peralatan Perawatan Pasien

a.  Jika memungkinkan gunakan peralatan non kritikal kepada pasien sendiri, atau secara kohort

b.  Jika tidak memungkinkan pakai sendiri atau kohort, lakukan pembersihan atau desinfeksi sebelum dipakai kepada pasien lain.

 

6.   Recommendation Isolation Precaution

administrative Controls”

a.    Pendidikan

Mengembangkan system pendidikan tentang pencegahan kepada pasien, petugas, dan pengunjung rumah sakit untuk meyakinkan mereka dan bertanggung jawab dalam menjalankanya.

Adherence to Precaution (ketaatan terhadap tindakan pencegahan)

b.    Secara periodic menilai ketaatan terhadap tindakan pencegahan dan adanya perbaikan langsung.

 

 

 

1.2  Pasien Safety

1.2.1     Pengertian

Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yan disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)

WHO Health Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang mendorong (urge) Negara untuk memberikan perhatian kepada problem Patient Safety meningkatkan keselamatan  dan system monitoring. Oktober 2004 WHO dan berbagai lembaga mendirikan “World Alliance for Patient Safety” dengan tujuan mengangkat Patient Safety Goal “First do no harm” dan menurunkan morbiditas, cidera dan kematian yang diderita pasien. (WHO: World Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2004)

1.2.2     Tujuan penanganan Pasien Safety

Enam tujuan penanganan patient safety menurut (Joint Commission International):

1.    Mengidentifikasi pasien dengan benar

2.    Meningkatkan komunikasi secara efektif

3.    Meningkatkan keamanan dari high-alert medications

4.    Memastikan benar tempat, benar prosedur

5.    Benar pembedahan pasien

6.    Mengurangi resiko infeksi dari pekerja kesehatan, mengurangi resiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien

Salah satu penyebab utama kesalahan yang tidak dapat dihindarkan oleh pasien dalam organisasi perawatan kesehatan adalah kesalahan pengobatan. Pengobatan dengan risiko yang paling tinggi yang menyebakan luka melalui pnyalahgunaan (meliputi kemoterapi, konsentrasi cairan elektrolit, heparin, IV digoxin, dan adrenergic agonists) adalah dkenal sebagai “high-alert drugs”. Namun mungkin kesalahan atau mungkin tidak menjadi lebih banyak dengan obat-obatan tersebut dibandingkan obat yang lainnya, mungkin berhubungan dapat juga lebih menghancurkan atau memperburuk.

1.2.3     Standar Keselamatan Pasien RS

1.     Hak pasien

Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.

Kriteria: Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.

2.     Mendidik pasien dan keluarga

Standar : RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

Kriteria : Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur, mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima konsekuensi pelayanan, mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS, memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dan emenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

3.     Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan

Standar : RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria : Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari RS, terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar, terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.

4.     Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien

Standar : RS harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria : Setiap RS harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan "Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien RS", setiap RS harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan, setiap RS harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap RS harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

5.     Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

Standar: Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organsasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah sakit”, pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan, pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan oordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien, pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan menigkatkan kinerja rumah sait serta meningkatkan keselamatan pasien dan pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas konribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria: Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien, tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari “kejadian nyaris cedera (Near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak Diharapkan” (Adverse event), Tersedia mekanisme kerja untuk menjmin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintregrasi dan berpatisipasi dalam program keselamatan pasien, tersedia prosedure “cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

6.     Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standar: rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriteria: Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing, setiap rumah sakit harus megintregasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yan jelas tentang pelaporan insiden dan setiap rumah sakit harus menyelenggarkan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

 

7.     Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

Standar: Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keelamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal, transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria: Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien, tesedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

 

(Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)

1.2.4     Indikator Pasien Safety (IPS)

Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien. (Dwiprahasto, 2008).

Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan.

1.    Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.

2.    Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik.

Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety

Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk menunjukkan:

1.      Adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu.

2.      bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi sebagaimana yang diharapkan

3.      tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan

4.      disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau urban vs rural). (Dwiprahasto, 2008).

Selain penjelasan diatas metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient safety karena metode tim merupakan  metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat professional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. (Sitorus, 2006). Pada metode ini juga  memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. (Nursalam, 2002). Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan.

1.2.5     Cara Mencapai Pasien Safety Di Rumah Sakit

10 Cara untuk meningkatkan “patient safety” di rumah sakit:

1.     Identifikasi pasien secara benar.

Gunakan setidaknya 2 cara untuk mengidentifikasi pasien. Contoh, gunakan nama pasien dan tanggal lahir. Ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa setiap pasien mendapatkan pengobatan dan tindakan yang sesuai untuk pasien yang bersangkutan.

Contoh : pastikan bahwa benar pasien mendapatkan darah yang benar ketika mereka mendapatkan tranfusi darah à dengan cara menanyakan 2 identitas pasien seperti : nama dan tanggal lahir

2.     Meningkatkan komunikasi karyawan.

a.    Baca kembali instruksi baik lisan maupun tulisan kepada orang yang memberikan instruksi.

b.    Buat daftar singkatan dan symbol yang tidak biasa digunakan untuk dijadikan standar RS.

c.    Dapatkan hasil pemeriksaan seperti : laboratorium, radiologi pada orang yang tepat/ petugas yang berwenang.

d.    Buat langkah – langkah/ SPO (standar Prosedur Operasional)  untuk karyawan ikuti ketika mengirimkan atau mengoperkan pasien kepada pengasuh selanjutnya/ keluarga. Langkah – langkah tersebut harus membantu karyawan menjelaskan tentang perawatan pasien. Pastikan ada waktu untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dari pasien/klg pasien kepada karyawan.

3.     Gunakan obat – obatan secara benar.

a.    Buat daftar obat – obatan yang memiliki nama yang mirip atau terdengar mirip. Revisi daftar tersebut setiap tahun.

b.    Berikan label pada semua obat – obatan yang belum diberi label. Contohnya, obat – obatan dalam spuit, mangkok atau container.

c.    Berikan perhatian khusus atau extra untuk pasien yang mendapatkan obat – obatan pengencer darah.

4.     Cegah Infeksi.

a.    Gunakan cara – cara mencuci tangan yang bersih dari WHO atau Pusat pencegahan dan pengontrolan infeksi.

b.    Laporkan adanya kematian atau kecelakaan yang diakibatkan infeksi pada pasien yang terjadi di RS.

c.    Gunakan petunjuk yang telah teruji untuk mencegah infeksi yang sulit untuk diobati.

d.    Gunakan petunjuk yang telah teruji untuk mencegah infeksi pada darah.

e.    Gunakan langkah – langkah yang aman untuk mengobati/merawat bagian tubuh yang telah dioperasi.

5.     Cek obat – obatan pasien.

a.    Cari tau setiap obat yang dipakai/ diminum oleh pasien. Pastikan bahwa penggunaan obat baru tidak ada kontraindikasi jika digunakan bersamaan dengan obat yang sedang diminum.

b.    Berikan daftar obat pasien kepada pasien/ keluarga pasien sebelum pasien pulang ke rumah. Dan jelaskan obat – obatan yang diberikan.

c.    Beberapa pasien kadang mendapatkan obat – obatan dalam jumlah yang kecil atau dalam waktu yang singkat. Pastikan bahwa obat – obatan tersebut tidak memiliki kontraindikasi pada pasien yang saat ini sedang menggunakaan obat – obatan.

6.     Cegah pasien jatuh.

Identifikasi pasien – pasien yang berpotensial jatuh. Seperti: Apakah pasien menggunakan obat– obatan yang bisa menyebabkan mereka lemah, pusing atau mengantuk? Ambil tindakan untuk mencegah pasien tersebut jatuh.

7.     Bantu pasient untuk terlibat dalam perawatan.

Beritahukan setiap pasien dan keluarganya bagaimana melaporkan keluhan mereka tentang keselamatan.

8.     Identifikasi resiko keselamatan pasien.

Identifikasi pasien mana yang beresiko untuk bunuh diri.

9.     Awasi pasien secara seksama jika ada perubahan dalam kondisi kesehatannya dan respon segera jika mereka membutuhkan bantuan.

Buat sistem alur bagaimana mendapatkan pertolongan dari petugas yang terlatih khusus ketika kesehatan pasien terlihat memburuk.

10.  Cegah kesalahan dalam pembedahan.

a.    Buat SPO (standar Prosedur Operasional) untuk petugas ikuti sehingga semua dokumen yang dibutuhkan untuk operasi diselesaikan sebelum operasi dimulai.

b.    Tandai bagian tubuh mana yang akan dilakukan operasi. Libatkan pasien dalam melakukan hal tersebut.

 

 

 

 

 

1.3  Asuhan Keperawatan Kritis Dengan Gangguan Sistem Cardiovaskuler Pada pasien dengan infark miocard acut (IMA)

1.3.1      Konsep Penyakit

1.    Pengertian

Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplaii darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. (Brunner & Sudarth, 2002 ; )

Infark miocard akut adalah nekrosis miocard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. (Sudoyo, 1999 ; 437)

Infark Miokard (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokard yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah 20 menit mengalami kekurangan oksigen. (Corwin, 2009 : 495).

Acute Myocard Infark (AMI) adalah suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinik berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard (Wikipedia, Maret 23,2010)

 


2.    Penyebab/Etiologi

Infark Miokard akut (AMI) terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga menyebabkan kematian sel-sel jantung. Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut diantaranya:

 

a.    Berkurangnya suplai oksigen ke miokard

Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain:

1)      Faktor pembuluh darah

Kaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis (arteroma mengandung kolesterol), spasme (kontraksi otot secara mendadak/ penyempitan saluran), dan arteritis (peradangan arteri).

Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal antara lain: (i) mengkonsumsi obat-obatan tertentu, (ii) stress emosional atau nyeri, (iii) terpapar suhu dingin yang ekstrim, (iv) merokok.

2)       Faktor Sirkulasi

        Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung ke seluruh tubuh sampai lagi ke jantung. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis (penyempitan aorta dekat katup) maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-katup jantung (aorta, maupun trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardiak out put (COP)

b.    Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh

Pada penderita penyakit jantung, meningkatnya kebutuhan oksigen tidak mampu dikompensasi diantaranya dengan meningkatnya denyut jantung untuk meningkatkan COP. Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivitas berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karena semakin banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen menurun akibat dari pemompaan yang tidak efektive.

Faktor risiko :

a.    Merokok terlalu berlebihan selama bertahun-tahun 

Menghirup asap rokok menyebabkan peningkatan kadar CO. Hemoglobin lebih mudah berikatan dengan CO daripada oksigen. Jadi oksigen yang disuplai ke jangtung juga berkurang sehingga kerja jantung semakin berat. Selain itu, asam nikotinat pada tembakau memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan vasokonstrisi pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan adhesi trombosit yang menyebabkan peningkatan terbentuknya trombus.

b.    Diabetes Mellitus

Penderita Diabetes Mellitus memiliki prevalensi, prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi. DM menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna meningkatkan timbulnya aterosklerosis. DM juga berkaitan dengan propilerasi sel otot polos dalam pembuluh arteri koroner; sintesis kolesterol; trigliserida; dan pospolipid ; peningkatan ADL/C ; dan kadar HDL yang rendah. Hiperglikemi yang terjadi pada penderita Dm juga menyebabkan peningkatan agregasi trombus.

c.    Hipertensi

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri; sehingga beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya, terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan kompensasi hipertropi akhirnya terlampaui, terjadi dilatasi dan payah jantung. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokradium terjadi akibat hipertropi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan menyebabkan Angina atau Infark Miokard.

Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris yang kemudian dapat berkembang menjadi AMI.  Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.

d.    Hiperlipidemia

Penyempitan dan penyumbatan pembuluh arteri koroner disebabkan oleh penumpukan dari zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) yang makin lama makin banyak dan menumpuk di bawah lapisan terdalam (endotelium) dari dinding pembuluh nadi. Hal ini mengurangi atau menghentikan aliran darah ke otot jantung sehingga mengganggu kerja jantung sebagai pemompa darah.

Kolesterol Total

Kadar kolesterol total yang sebaiknya adalah ( 200 mg/dl, bila > 200 mg/dl berarti resiko untuk terjadinya PJK meningkat . Kadar kolesterol Total normal <200 mg/dl , agak tinggi (Pertengahan) 200-239 mg/dl, Tinggi >240 mg/dl.

LDL Kolesterol

LDL (Low Density Lipoprotein) kontrol merupakan jenis kolesterol yang bersifat buruk atau merugikan (bad cholesterol) : karena kadar LDL yang meninggi akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah. Kadar LDL Kolesterol;

v  Normal < 130 mg/dl

v  Agak tinggi (Pertengahan) 130-159 mg/dl

v  Tinggi >160 mg/dl

HDL Koleserol

HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol merupakan jenis kolesterol yang bersifat baik atau menguntungkan (good cholesterol)  karena mengangkut kolesterol dari pembuluh darah kembali ke hati untuk di buang sehingga mencegah penebalan dinding pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses arterosklerosis.

Kadar HDL Kolesterol

v  Normal <45 mg/dl

v  Agak tinggi (Pertengahan) 35-45 mg/dl

v  Tinggi >35 mg/dl

Jadi makin rendah kadar HDL kolesterol, makin besar kemungkinan terjadinya PJK. Kadar HDL kolesterol dapat dinaikkan dengan mengurangi berat badan, menambah exercise dan berhenti merokok.

Kadar Trigliserida

Trigliserid terdiri dari 3 jenis lemak yaitu Lemak jenuh, Lemak tidak tunggal dan Lemak jenuh ganda. Kadar trigliserid yang tinggi merupakan faktor resiko untuk terjadinya PJK.

Kadar Trigliserid

v  Normal < 150 mg/dl

v  Agak tinggi 150 – 250 mg/dl

v  Tinggi 250-500 mg/dl

v  Sangat Sedang >500 mg/dl

e.    Obesitas

Obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan berperan pada gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan (terutama obesitas abdominal) dan ketidakaktifan fisik berperan dalam terbentuknya resistensi insulin.

 

f.      Diet.

Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cenderung tinggi. Sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada orang Amerika.

(Brunner & Suddarth. 2002 : 778 ; Wikipedia, Maret 23, 2010)

3.    Tanda dan Gejala

·         Nyeri dada yang terasa berat dan menekan biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri dapat menyebar ke lengan atau rahang,kadang gejala terutama timbul dari epigastrium.

·         Sesak nafas dapat disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan ventrikel kiri.

·         Terjadi mual dan muntah yang mungkin berkaitan dengan nyeri hebat

·         Perasaan lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke otot rangka

·         Kulit yang dingin dan pucat akibat vasokontriksi simpatis

·         Takikardi akibat peningkatan stimulasi simpatis jantung

·         Keadaan mental berupa perasaan sangat cemas disertai perasaan mendekati kematian sering terjadi, mungkin berhubungan dengan pelepasan hormon stres dan ADH (vasopresin)

·         Pengeluaran urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta peningkatan aldosteron dan ADH

·         Diaporesis (keringat berlebihan),sakit kepala,mual muntah,palpitasi, gangguan tidur

·         Kehilangan kesadaran karena perfusi cerebral yang tidak adekuat dan syok kardiogenik, bisa juga menyebabkan kematian yang tiba-tiba.

 (Corwin, 2009 : 497; Gray dkk,2002 : 136-137)

 

 

 

 


                 

 

 

 

Gambar : Ciri orang Infark Miokard Akut

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar : Area yang mengalami nyeri

Area yang merah adalah daerah yang paling sering mengalami nyeri.

Area merah muda adalah daerah lain yang memungkinkan terkena penyebaran nyeri.

 

4.    Patofisiologi dan Pohon Masalah Keperawatan

Arterosklerosis, spasme pembuluh darah, dan emboli trobus merupakan etiologi yang paling sering menyebabkan terjadinya infark miokardium. Terjadinya  penyumbatan pembuluh darah koroner menyebabkan aliran darah ke seluruh miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut menjadi terhambat.

Dengan terhambatnya aliran darah maka oksigen juga tidak dapat disuplai ke sel-sel miokardium. Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya infark miokardium.. Sel-sel miokardium tersebut mulai mati setelah 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Berkurangnya oksigen mendorong miokardium untuk mengubah metabolism aerob menjadi metabolism anaerob.

Metabolism anaerob melalui jalur glikolitik jauh lebih tidak efisien apabila dibandingkan dengan metabolism aerob melalui fosforilasi oksidatif dan siklus krebs. Pembentukkan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir metabolism anaerob yaitu penimbunan asam laktat yang menyebabkan nyeri dada yang bisa menyebar ke lengan atau rahang,kadang gejala terutama timbul dari epigastrium. Tanpa ATP, pompa natrium kalium berhenti dan sel terisi ion natrium dan air yang akhirnya menyebabkan sel pecah (lisis). Dengan lisis, sel melepaskan kalium intrasel dan enzim intrasel, yang mencederai sel-sel di sekitarnya.

Protein intrasel mulai mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik dan ruang interstitial dan ikut menyebabkan edema dan pembengkakan interstitial di sekitar sel miokardium. Akibat dari kematian sel, tercetus reaksi inflamasi. Di tempat inflamasi, terjadi penimbunan trombosit dan pelepasan faktor pembekuan. Terjadi degranulasi sel mast yang menyebabkan pelepasan histamin dan berbagai prostaglandin. Sebagian bersifat vasokontriksi. Dengan dilepaskannya berbagai enzim intrasel dan ion kalium serta penimbunan asam laktat, jalur hantaran listrik jantung terganggu. Hal ini dapat menyebabkan hambatan depolarisasi atrium atau ventrikel atau terjadinya distritmia. Dengan matinya sel otot, pola listrik jantung berubah, pemompaan jantung menjadi kurang terkoordinasi sehingga kontraktilitasnya menurun.

Volume sekuncup menurun sehingga terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Penurunan tekanan darah merangsang respon baroreseptor, sehingga terjadi pengaktifan sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, dan peningkatan pelpasan hormon antidiuretik. Hormon stres (ACTH dan kortisol) juga dilepaskan disertai peningkatan produksi glukosa. Pengaktifan sistem saraf parasimpatis berkurang. Dengan berkurangnya perangsangan saraf parasimpatis dan meningkatnya rangsangan simpatis ke nodus SA, kecepatan denyut jantung meningkat. Demikian juga pada ginjal, terjadi penurunan aliaran darah sehingga produksi urin juga berkurang dan ikut merangsang sistem renin-angiotensin. Perangsangan simpatis ke kelenjar keringat dan kulit menyebabkan individu berkeringat dan merasa dingin.

Secara singkat, semakin banyak darah (peningkatan preload) disalurkan ke jantung, jantung akan memompa lebih cepat untuk melawan arteri yang menyempit (peningkatan afterload) akibatnya beban jantung yang telah rusak tersebut meningkat. Kebutuhan oksigen jantung juga meningkat. Hal ini mengakibatkan semakin banyak sel jantung yang mengalami hipoksia.

Apabila kebutuhan oksigen sel miokard tidak dapat dipenuhi, maka terjadi perluasan daerah sel yang cedera dan iskemik di sekitar zona nekrotik yang akan berisiko mengalami kematian. Akibatnya kemampuan pompa jantung semakin berkurang dan terjadi hipoksia semua jaringan dan organ. Ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa darah menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan tekanan ventrikel kiri dan vena pulmonal. Hal ini meningkatkan tekanan hidrostatik yang mengakibatkan cairan merembes keluar dan lolos ke jaringan alveoli di sekitarnya melalui hubungan antara bronkioli dan bronki. Cairan ini kemudian bercampur dengan udara selama pernapasan. Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang dan udara tidak dapat masuk sehingga gangguan pertukaran O2 dan CO2.

Metabolisme anaerob / mediasi kimia

Arterosklerosis

Spasme pembuluh darah

Emboli Trombus

Penyumbatan pembuluh darah koroner

Iskemia miocard

Necrosis miocard

Peningkatan asam laktat

Nyeri dada

Cardiak out put menurun

Fungsi pompa jantung menurun

Nutrisi dan O2 ke jaringan menurun

Gangguan Perfusi jaringan

↓Difusi O2 dan CO2

Kerusakan pertukaran gas

Terjadi bendungan di paru-paru

 

Cairan plasma keluar ke  alveoli dan jaringan sekitarnya

Edema paru

Mekanisme kompensasi (↑Kerja Surfaktan)

↑Produksi mukus

Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

Pola Nafas Tidak Efektif

Hipoksia

Kelemahan

Intoleransi aktivitas

PK Syok Kardiogenik

Volume darah menurun

Ekspansi paru tak maksimal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


5.    Klasifikasi

Ada dua jenis infark miokardial (Sylvia, 1995 ; 590)

1.    Infark  Transmural

Infark yang mengenai seluruh tebal dinding ventrikel. Biasanya disebabkan oleh aterosklerosis koroner yang parah, plak yang mendadak robek dan trombosis oklusif yang superimposed.

 

2.    Infark Subendokardial

Terbatas pada sepertiga sampai setengah bagian dalam dinding ventrikel yaitu daerah yang secara normal mengalami penurunan perfusi.


 

6.    Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

1.    Pemeriksaan EKG

Hasil EKG yang menunjukkan infark myocardium akut dikelompokkan menjadi infark gelombang Q, dan infark gelombang non-Q. Perubahan hasil EKG yang  berhubungan dengan infark miocardium gelombang Q mencakup peningkatan segmen ST, inversi gelombang T dan gelombang Q yang nyata pada sadapan yang terpasang pada miocardium yang mengalami infark. Selang beberapa waktu segmen ST dan gelombang T akan kembali normal; hanya gelombang Q tetap bertahan pada hasil EKG yang menunjukkan adanya infark miocardium gelombang Q. Namun hanya separuh hingga dua per tiga pasien infark miocardium akut yang menunjukkan pemulihan elektrokardiografis klasik ini. Infark miocardium gelombang non-Q (non-Q-wave MI, NQWMI) terjadi pada sekitar 30% pasien yang didiagnosa menderita infark miocardium. Hasil pemeriksaan EKG pada NQWMI adalah penurunan segmen ST sementara atau inversi gelombang T (atau keduanya) pada sadapan yng dipasang pada daerah infark.

2.    Kreatinin kinase merupakan suatu enzim yang dilepaskan saat terjadi cedera otot dan memiliki 3 fraksi isoenzim, yaitu CK-MM, CK-BB, dan CK-MB, CK-BB paling banyak terdapat pada jaringan otak dan biasanya tidak terdapat dalam serum. Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB merupakan pertanda cedera otot yang paling spesifik seperti infark miocardium. Setelah infark miocardium akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam dengan kadar puncak dalam 18 hingga 24 jam dan kembali menurun hingga normal setelah 2 hingga 3 hari.

3.    Troponin jantung spesifik (yaitu cTnT dan cTnI) juga merupakan petunjuk adanya cedera miocardium. Troponin akan meningkat 4 hingga 6 jam setelah cedera moocardium setelah menetap selama 10 hari.

4.    Proten C-reaktiv (CRP) juga dianggap sebagai penanda biokimia pada cedera miocardium, meningkat 4 sampai 6 jam dan mencapai puncaknya selama 10 hari.   

5.    Elektrolit : Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan dapat mempengaruhi kontraktilitas, contoh hipokalemia atau hiperkalemia.

6.    Sel Darah Putih : Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari kedua setelah IM sehubungan dengan proses inflamasi.

7.    Kecepatan sedimentasi : Meningkat pada hari kedua sampai ketiga setelah MI, menunjukkan inflamasi.

8.    Kimia : Mungkin normal tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau kronis.

9.    GDA/Oksimetri nadi : Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.

10.  Kolesterol/Trigeliserida serum : Meningkat, menunjukkan arteriosklerosis sebagai penyebab IM.

11.  Foto dada : Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau aneurisme ventrikuler.

12.  Ekokardiogram :   Mungkin dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup/dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Terdapat gerakan  abnormal  dinding  yang  baru  terjadi  (namun  sangat  tergantung operator dan kecermatan pembacaan)   

13.  Pemeriksaan Pencitraan nuklir: 

- Thalium : Mengevaluasi aliran darah miokardia dan status sel miokardia,

contoh lokasi/luasnya IM akut/sebelumnya.

- Technetium : Terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik.

14.  Pencitraan darah jantung/MUGA: Mengevaluasi penamoilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional, dan fraksi ejeksi (aliran darah).

15.  Angiografi koroner : Menggambarkan penyempitan/sumbatan arteri koroner dan biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase akut IM kecuali mendekati bedah jantung angioplasty/emergensi.

16.  Digital substraction angiography (DSA): Teknik yang digunakan untuk menggambarkan status penanganan arteri dan untuk mendeteksi penyakit arteri perifer.

17.  Nuclear magnetic resonance (NMR): Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung/katup ventrikel, katup, lesi vaskuler, pembentukan plak, area nekrosis/infark, dan bekuan darah.

18.  Test stress olahraga : Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktivitas (sering dilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan).

19.  Pemeriksaan radiologi disini seperti pemeriksaan EKG:

Daerah Infark

Perubahan EKG

Anteriol

Elevasi segmen ST pada lead V3-V4, perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.

Inferior

Elevasi segmen T pada lead II, II, aVF, perubahan resiproakal (depresi ST) V1-V6, I, aVL

Lateral

Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5-V6

Posterior

Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama gelombang R pada V1-V2

Vetrikel kanan

Perubahan gambaran dinding inferior

 

Gambaran spesifik pada rekaman EKG:

    1. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai stemi
    2. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD sebagai center untuk menentukan terapi
    3. EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen st.

(Corwin, 2009 : 496 ; Doenges, 1999 : 85 ; Hudag & Gallo : 386-387 ; Brunner & Suddarth. 2002 : 790).

7.    Komplikasi

·        Tromboembolus : akibat kontraktilitas miokard berkurang

·        Gagal jantung kongesti  yang merupakan kongesti akibat disfungsi miokardium. Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanisme yang paling sering terjadi setelah infark miokardium.

·        Distritmia : paling sering terjadi, terjadi akibat perubahan keseimbangan elektrolit dan penurunan pH

·        Syok kardiogenik : apabila curah jantung sangat kurang dalam waktu lama. Syok kardiogenik terjadi akibat disfungsi  nyata ventrikel kiri sesudh mengalami infark yang masih, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.

·        Ruptur miokardium

·        Perikarditis : terjadi sebagai bagian dari reaksi inflamasi setelah cedera dan kematian sel

·        Setelah, infark miokard sembuh, muncul jaringan parut yang menggantikan sel-sel miokardium yang mati.

·        Aneurisme ventrikel. penonjolan paradoks sementara pada iskemia miokardium sering terjadi, dan pada 15% pasien, aneurisme ventrikel akan menetap. Aneurisme ini sering terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.

·         Defek septum ventrikel ruptur jantung

·         Disfungsi otot papilaris

·         Oedema paru akut adalah timbunan cairan abnormal dalam paru,baik di rongga interstisial maupun dalam alveoli. Oedema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes ke luar dan menimbulkan dispnu yang sangat berat. Oedema terutama paling sering ditimbulkan oleh kerusakan otot jantung akibat MI acut. Perkembangan oedema paru menunjukan bahwa fungsi jantung  sudah sangat tidak adekuat.

(Corwin, 2009 : 498 ; Sylvia, A Price,1995 : 594-596 Brunner & Suddarth. 2002 : 798).

 

8.    Terapi/Penatalaksanaan

Rencana tindakan yang dapat dilakukan :

a.    Pertahankan kepatenan jalan nafas

b.    Antisipasi dalam penggunaan alat bantu pernafasan

c.    Antisipasi dalam menggunakan ventilasi dengan bag valve mars (BVM) jika usaha ventilasi tidak adekuat.

d.    Persiapakan untuk ventilasi mekanik (dengan atau tanpa PEEP /  positive End Exspiratory Pressure) Setelah menempatkan alat bantu nafas seperti inkubasi.

e.    Diberikan oksigen untuk meningkatkan oksigenasi darah sehingga beban atas jantung berkurang dan perfusi sistemik meningkat

f.     Jika tidak ada nadi awali dengan bantuan hidup dasar/Lanjutan (RJP)

g.     Dapatkan akses untuk IV, ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan berikan Normal salin dengan frekuensi terbuka, Pada pasien IMA di indikasikan untuk terapi trombolitik, pemasukan jarum/ tindakan penusukan yang berlebihan seharusnya di hindari seperti untuk AGD dan kateter IV.

h.    Dapatkan rekaman EKG 12-15 lead dan koreksi gejala disritmia (Misalnya : Bradikardi dan Prematur Kontraksi Ventrikel).

i.      Koreksi awal adanya kekurangan cairan atau meningkatkan preload (Infark Ventrikel Kanan) dengan hati-hati, ini di kontraindikasikan pada pasien dengan kongesti Pulmonal.

j.      Berikan caiaran Infus dengan bolus kecil, normal salin, larutan ringer laktat, produk darah (Jika data laboratorium mendukung).

k.    Monitor status hemodinamik pasien

l.       Dapatkan sampel AGD untuk menetapkan :

m.   Koreksi ketidak seimbangan asam basa, alkalosis respiratori kemungkinan terjadi pada fase kompensasi, tidak diperlukan tindakan, kemungkinan asidosis metabolic pada fase trdak terkompensasi dan fase irreversible, pemberian sodium bikarbonat tidak di anjurkan untuk meningkatkan PH (koreksi asidosis metabolic terjadi sebagai hasil perbaikan perfusi dan oksigenasi)

n.    Atasi hipoksemia

o.    Pasang kateter urine

p.    Pasang NGT jika di indikasikan untuk mencegah aspirasi

q.    Berikan agen farmokologis tunggal atau kombinasi :

·         Menurunkan preload ; furosemid (lasik), nitrat (nitrogliserin), morphin sulfat (digunakan untuk mengurangi nyari, reduksi preload adalah efek sekundernya).

·         Meningkatkan kontraktilitas ; dofamin hidroklorida (intropin), dobutamin hidroklorida (dobutrex), amrinone laktat (inocor), milrinone (promacor).

·         Menurunkan afterload ; nitropruside sodium (nipride), nitrat (nitrogliserin), angiotensin convertin enzim (ACE) inhibitor misalnya ; captopril (capoten), enapril (vasotec)

·         Meningkatkan afterload ; norepinephrine bitartrate (levophed), epinefrin.

r.     Berikan agen farmokologis melalui IV atau rute intraosseous

s.    Persiapakan pasien untuk terapi reperfusi atau kaji  alat misalnya ; PTCA /  Percutaneous Transluminal Coronary Angiplasty, Intra Aortic Ballon Pump / IABP jika diperlukan.

t.      Pertahankan ketenangan

u.    Minimalkan rangsangan lingkungan .

v.    Monitoring secara berkelanjutan dan kaji respon pasien.

(ENA, 2000 : 69 ;  Corwin, 2009 : 499).

 

1.3.2      KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.    Pengkajian

Primer assessment

a.    Data Subjektif

a)    Keluhan utama

Pasien mengatakan sesak

b)    Riwayat penyakit saat ini

c)    Riwayat sebelumnya

Riwayat merokok, riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, riwayat penyakit hipotensi, hipertensi, diabetes melitus, hipoksia, obesitas, hiperlipidemia

 

b.    Data Objektif

a)    Airway

§  Terdapat sumbatan atau penumpukan secret

b)    Breathing

§  Pasien tampak sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat

§  RR lebih dari 24 kali/menit,

§  irama irreguler dangkal

§  terdapat suara nafas wheezing, krekel

§  pasien tampak menggunakan otot bantu nafas

§  tampak ekspansi dada tidak penuh

c)    Circulation

§  Takikardi / nadi teraba lemah dan cepat (Normal : 60 – 100 x/menit)

§  TD meningkat / menurun

§  Edema pada ekstremitas

§  Akral dingin dan berkeringat

§  Kulit pasien tampak pucat, sianosis pada mukosa mulut dan kuku

§  Output urine menurun

§  Mual dan muntah

§  penurunan turgor kulit

§  diaphoresis

§  palpitasi

d)    Disability

§  Lemah/fatique

§  Kehilangan kesadaran

 

Sekunder assessment

a)     Eksposure

§  Tidak ada jejas atau kontusio pada dada, punggung dan abdomen.

§  Adanya edema.

b)    Five Intervention/Full set of vital sign

§  Perubahan hasil EKG yang  berhubungan dengan infark miocardium gelombang Q mencakup peningkatan segmen ST

§  Pemeriksaan Tanda Vital (terjadi peningkatan denyut nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah)

§  GDA/Oksimetri nadi : Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.

c)    Give Confort

§  Nyeri dada yang terasa berat dan menekan biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri dapat menyebar ke lengan atau rahang,kadang gejala terutama timbul dari epigastrium.

d)    Head to toe

§  Kepala dan leher        :    Adanya sianosis dan bendungan vena jugularis

§  Daerah dada               :    Tidak ada jejas akibat trauma, suara nafas ronchi, suara jantung S4 / murmur.

§  Daerahy Abdomen     :    Adanya hematomegali.

§  Daerah Ektremitas     :    Adanya edema, penurunan kekuatan otot karena kelemahan, Kulit yang dingin dan pucat akibat vasokontriksi simpatis

e)    Inspect the posterior surface

§  Tidak ada jejas

2.    Diagnosa Keperawatan

1.    Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret

2.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi

3.    Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan.

4.    Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kegagalan pompa jantung

5.    Nyeri akut berhubungan dengan ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen pada miokardium

6.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai energy.

7.    Pk : Syok kardiogenik

 

 

 

 

 


3.    Rencana Tindakan

NO.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

TUJUAN DAN KRITERIA HASIL

INTERVENSI

RASIONAL

1.

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus

 

Setelah diberikan askep selama...x 5 menit  diharapkan jalan nafas pasien kembali efektif.

 Dengan kriteria hasil:

·    Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang

·    Frekuensi pernafasan dalam rentang normal ( 16 – 24 x / menit)

·    Suara napas normal (vesikular)

·    Pasien tampak dapat batuk efektif

·    Tidak terdapat mukus

 

Mandiri

1.    Auskultasi adanya suara napas tambahan seperti wheezing, krekel

 

 

 

2.    Berikan posisi semi fowler jika tidak terdapat kontraindikasi.

3.    Bantu dan ajarkan pasien nafas dalam dan batuk efektif.

4.    Pantau tanda- tanda vital pasien terutama frekuensi pernafasan.

5.    Lakukan suction atas indikasi.

 

 

 

 

Kolaborasi

  1. Berikan O2 sesuai indikasi
  2. Berikan  pengobatan atas indikasi: mukolitik, ekspoktoran, bronkodilator, serta analgesik.

 

Mandiri

1.    Suara napas bronkial normal diatas bronkus dapat juga, ronkhi, terdengar sebagai respon dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi saluran napas.

2.    Memberikan kenyamanan dan meningkatkan ekspansi paru-paru.

3.    Batuk efektif merangsang secret untuk keluar.

4.    Adanya secret pada saluran pernafasan mempengaruhi frekuensi pernafasan.

5.    Menstimulasi batuk atau pembersihan saluran napas secara mekanis pada pasien yang tidak mampu melakukannya dikarenakan ketidakefektifan batuk atau penurunan kesadaran.

Kolaborasi

  1. Membantu pemenuhan oksigen pasien.
  2. Membantu mengurangi bronkospasme dengan mobilisasi dri sekret. Analgesik diberikan untuk meningkatkan usaha batuk dengan mengurangi rasa tidak nyaman, tetapi harus digunakan sesuai penyebabnya.

2.

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru tak maksimal

 

Setelah diberikan askep selama ....x 5 menit diharapkan pola nafas pasien kembali efektif.

 Dengan kriteria:

  • Secara verbal tidak ada keluhan sesak
  • Tidak menggunakan otot bantu pernafasan
  • Jumlah pernapasan dalam batas normal sesuai usia (16-20x/mnt)
  • Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100 x/menit)
  • Oksigen terpenuhi

 

 

Mandiri

1.    Mengkaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan otot bantu/pelebaran nasal.

 

 

 

 

2.    Auskultasi bunyi napas dan catat adanya napas ronchi.

 

 

 

3.    Pantau tanda vital

 

 

 

Kolaborasi

1.    Panatu nadi oksimetri

 

2.    Berikan oksigen dengan metode yang tepat.

Mandiri

  1. Kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi penigkatan kerja nafas (pada awal atau hanya tanda Efusi Pleura subakut). Kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada pleuritik
  2. Suara napas bronkial normal diatas bronkus dapat juga, ronkhi, terdengar sebagai respon dari akumulasi cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi saluran napas.
  3. Takikardia, takipnea dan perubahan pada tekanan darah terjadi dengan beratnya hipoksemia dan asidosis

Kolaborasi

  1. Menentukan keefektifan dari ventilasi dan intervensi
  2. Memaksimalkan sedíaan oksigen untuk pertukaran gas.

3.

Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan difusi O2 dan CO2

 

Setelah diberikan askep selama...x 5 menit diharapkan pertukaran gas kembali efektif.

Dengan kriteria :

1.    Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang

2.    Tidak terjadi sianosis

3.    Hasil AGD dalam batas normal (PCO2 : 35-45 mmHg, PO2 : 95-100 mmHg)

Mandiri

1.    Mengkaji frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas bibir, ketidak mampuan berbicara / berbincang

2.     Mengobservasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, serta mencatat adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis pusat (circumoral)

 

 

3.    Mengobservasi kondisi yang memburuk. Mencatat adanya hipotensi,pucat, cyanosis, perubahan dalam tingkat kesadaran, serta dispnea berat dan kelemahan.

4.     Menyiapkan untuk dilakukan tindakan keperawatan kritis jika diindikasikan

 

 

 

 

 

 

Kolaborasi

  1. Memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan, misalnya: nasal kanul dan masker
  2. Memonitor ABGs, pulse oximetry.

 

Mandiri

  1. Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan atau kronisnya proses penyakit

 

 

  1.  Sianosis kuku menggambarkan vasokontriksi/respon tubuh terhadap demam. Sianosis cuping hidung, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut dapat mengindikasikan adanya hipoksemia sistemik
  2.  Mencegah kelelahan dan mengurangi komsumsi oksigen untuk memfasilitasi resolusi infeksi.

 

 

  1. Shock dan oedema paru-paru merupakan penyebab yang sering menyebabkan kematian memerlukan intervensi medis secepatnya. Intubasi dan ventilasi mekanis dilakukan pada kondisi insufisiensi respirasi berat.

 

 

Kolaborasi

  1. Pemberian terapi oksigen untuk menjaga PaO2 diatas 60 mmHg, oksigen yang diberikan sesuai dengan toleransi dengan pasien
  2.  Untuk memantau perubahan proses penyakit dan memfasilitasi perubahan dalam terapi oksigen

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER

PADA KLIEN DENGAN DECOMCORDIS (GAGAL JANTUNG)

 

 


A.     DEFINISI

v  Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh (Dr. Ahmad Ramali, 1994).

v  Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani, 1998; Price ,1995).

v  Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan pengisian ventrikel kiri (Noer,1996) .

v  Gagal jantung sering disebut gagal jantung kongestif, adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer,2001).

 

B.    ETIOLOGI

Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).

Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga penyebab :

Ø Stroke volume : isi sekuncup

Ø Kontraksi kardiak

Ø Preload dan afterload

Meliputi :

1.  Kerusakan langsung pada jantung (berkurang kemampuan berkontraksi), infark myocarditis, myocarial fibrosis, aneurysma ventricular.

2.  Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle.

·      Overload tekanan (kebanyakan pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri pulmonal, hipertensi pulmonary.

·      Keterbatasan pengisian sistolik ventricular.

·      Pericarditis konstriktif atau cardomyopati, atau aritmi, kecepatan yang tinggi,tamponade, mitral stenosis.

·      Ventrucular overload (kebanyakan preload) regurgitasi dari aourta, defek seftum ventricular.

Menurut Smeltzer, (2001) ,penyebab gagal jantung meliputi :

1)  Kelainan otot jantung misalnya : aterosklerosis koroner (keadaan patologis dimana terjadi penebalan arteri koronoris oleh lemak “streak”).

2)  Hipertensi sistemik (peningkatan tekanan darah diatas 140/90 MmHg) atau hipertensi pulmonal (peningkatan tekanan darah diparu-paru akibat kongesti pulmonal).

3)  Peradangan dan penyakit degeneratif, misalnya : miokarditis (peradangan pada otot jantung), endokarditis (penyakit infeksi pada endokard atau katup jantung) rematik (setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada musculoskeletal)

4)  Penyakit jantung lain, misalnya : pada mekanisme gangguan aliran darah melalui jantung (stenosis atau penyempitan katup semilunar dan katup alveonar), pada peningkatan afterload mendadak hipertensi maligna (peningkatan tekanan darah berat disertai kelainan pada retina,ginjal dan kelainan serebal).

5)  Faktor siskemik, misal : pada meningkatnya laju metabolisme (demam tiroktosikosis) meningkatnya kebutuhan oksigen jaringan (hipoksia atau berkurangnya oksigen dalam darah, anemia atau berkurangnya kadar hemoglobin), asidosis metabolik dan abnormal elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas otot jantung.

 

C.    PATOFISIOLOGI

Penyebab Decompensasi Cordis menurut Smeltzer (2001), yaitu mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal, bila curah jantung berkurang system saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai maka volume sekuncuplah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung masalah utamanya adalah kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung dan volume sekuncup itu dipengaruhi tiga factor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload ,jika salah satu dari ketiga factor tersebut terganggu maka curah jantungnya akan berkurang. Curah jantung yang menurun menyebabkan kongesti jaringan yang terjadi akibat peningkatan tekanan arteri atau vena kongesti paru terjadi karena ventrikel kiri gagal memompa darah dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong keparu, manifestasinya meliputi dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi, bunyi jantung S3, kecemasan dan kegelisahan.

Bila ventrikel kanan gagal mengakibatkan kongesti visera dan jaringan perifer, sebagai akibat sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan darah secara adekuat. Manifestasinya yaitu Oedema dependen, hepatomegali, pertambahan berat badan, asites, distensi vena jugularis.

Menurut Nettina (2002), penurunan kontraktilitas miokardium, pada awalnya hal ini hanya timbul saat aktivitas berat atau olah raga dan tekanan vena juga mulai meningkat dan terjadilah vasokontiksi luas, hal ini kemudian meningkatkan afterload sehingga curah jantung semakin turun.

Menurut Hudak (1997), respon terhadap penurunan curah jantung untuk mempertahankan perfusi normal yaitu peningkatan tonus otot simpatis sehingga meningkatkan frekuensi jantung, tekanan darah, kekuatan kontraksi dan respon fisiologis kedua adalah terjadinya retensi air dan natrium, akibat adanya penurunan volume darah filtrasi.

 

Patofisiologi decompensasi cordis/ gagal jantung menurut Price (1995) adalah sebagai berikut:

1.  Gagal jantung kiri

Kegagalan dari pemompaan oleh ventrikel kiri mengakibatkan curah jantung menurun. Akibat ke depan menimbulkan gejala kelemahan atau kelelahan. Sedangkan akibat ke belakang mengakibatkan toleran dan volume akhir diastole meningkat sehingga terjadi bendungan vena pulmonalis, kemudian terjadi di paru-paru. Akibat adanya sisa tekan di ventrikel kiri mengakibatkan rangsang hipertrofi sel yang menyebabkan kardiomegali. Beban atrium kiri meningkat dan akhirnya terjadi peningkatan beban vena pulmonalis, kemudian mendesak paru-paru dan akhirnya terjadi oedema. Hemoptisis dapat terjadi pada dekompensasi kordis karena dinding kapiler jantung sangat tipis dan rentan sehingga dapat mengakibatkan perdarahan.

2.  Gagal jantung kanan

Gangguan pompa ventrikel kanan mengakibatkan aliran darah ke paru-paru menurun ada akhirnya curah jantung menurun. Tekanan dan volume akhir diastole ventrikel meningkat sehingga terjadi bendungan di atrium kanan yang mengakibatkan bendungan vena kava. Akibat bendungan di vena kava maka aliran vena hepatikum, vena dari lien terbendung akhirnya timbul hepatosplenomegali, asites, edema perifer terutama kaki.   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D.    KLASIFIKASI

Adapun klasifikasi Decompensasi Cordis adalah, gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri (Tambayong, 2000).

1.  Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri

Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan pada akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan normal sehingga pada masa diatol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan tekanan distol semakin tinggi, makin lama terjadi bendungan didaerah natrium kiri berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas normal pada atrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat memompa darah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan terjadi transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-paru.

Pada saat peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanin tertisiel bronkus mengakibatkan edema aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi eksspirasi dan menjadi lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk, menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan tertahan dijaringan intertissiel paru-paru yang makain lama akan menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara mengakibatkan udema paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang lebih dikenal dengan syak cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan rendah serta perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang berakibat kematian.

Gagalnya kkhususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang mengandung oksigen tubuh yang berakibat dua antara lain:

*   Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak output seperit dyspnoe de effort (sesak nafas pada akktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada saat berbaring dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri.kemudian dispnue noktural paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun)

*   Dan kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru, takikakrdia,

*   Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses aktif yang tergantung pada energi ) dan kekakuan dindiing ventrikel.

2.  Decompensasi cordis kanan / gagal jantung kanan

Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memeompa melawan tekanan yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam sirkulasi sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk kedalam (edema perifer) (long, 1996). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan diatrium kanan dan venakapa superior dan inferiordan tampak gejal yang ada adalah udemaperifer, hepatomegali, splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang cepat. Hal ini akibat vetrikel kanan pada saat sisitol tidak mampu memompa darah keluar sehingga saat berikutnya tekanan akhir diastolik ventrikel kanan makin meningkat demikian pula mengakibatkan tekanan dalam atrium meninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena kava inferior serta seluruh sistem vena. Tampak gejala klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan bendungan-bedungan pada pada vena-vena perifer. Dan apabila tekanan hidristik di pembuluh kapiler meningkat melampui takanan osmotik plasma maka terjadinya edema perifer.

Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :

                    I.       Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari

                  II.       Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit, akan tetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta angina

                 III.       Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya merasa sehat jika beristirahat.

                IV.       Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.

E.     MANIFESTASI KLINIK

Adapun tanda dan gejala decompensasi cordis menurut Chung (1995) adalah sebagai berikut:

1.      Kelelahan/ kelemahan.

2.      Dispnea.

3.      Ortopne.

4.      Dispne nokturia paroksimal.

5.      Batuk.

6.      Nokturia.

7.      Anoreksia.

8.      Nyeri kuadran kanan atas.

9.      Takikardia.

10.  Pernapasan cheyne-stokes.

11.  Sianosis.

12.  Ronkhi basah

13.  Peninggian tingkat pulsasi vena jugularis.

14.  Hepatosplenomegali.

15.  Asites.

16.  Edema perifer

Menurut Tambayong (2000), gagal jantung (decompensasi cordis) dimanifestasikan sesuai klasifikasinya:

1.  Gagal jantung kiri, ditandai :

a. Edema Pulmo (penumpukan cairan pada rongga dada)

b. Dispnea (sesak nafas)

c. Wheezing (mengi’jawa)

d. Mudah lelah

e. Ansietas (perasaan cemas)

2. Gagal jantung kanan, ditandai :

a. Oedem depend (penumpukan cairan pada daerah distal dari jantung)

b. Hepatomegali (pembesaran hati)

c. Asites (penumpukan cairan pada rongga peritoneum)

d. Distensi vena jugularis (adanya bendungan pada vena jugularis)

 

F.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1)     EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.

2)     Scan jantung (Multigated Alquistion/MUGA), tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.

3)     Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas (Wilson Lorraine M, 2003).

4)     Rontgen dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, perubahan pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal, bulging pada perbatasan jantung kiri dapat menunjukkan aneurisma ventrikel.

5)     Enzim hepar : meningkat dalam gagal kongesti hepar.

6)     Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air.

7)     Oksimetri nadi : saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal jantung kanan akut memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau gagal jantung kronis.

8)     Blood Urea Nitrogen, Kreatinin : peningkatan blood nitrogen menandakan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik blood urea nitrogen dan kreatin merupakan indikasi gagal ginjal.

9)     Albumin : mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.

10)  Hitung sel darah merah : mungkin terjadi anemia, polisitemia atau perubahan kepekatan menandakan retensi urine. Sel darah putih mungkin meningkat mencerminkan miokard infark akut, perikarditas atau status infeksi lain.

11)  Pemeriksaan tiroid : peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kanan.

12)  Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.

13)  Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi fleura yang menegaskan diagnisa CHF.

G.    PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :

 

 

 

1)  Non medikamentosa.

Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.

2)  Medikamentosa

                        Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.

                        Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.

                        Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.

3)  Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :

a.  Revaskularisasi (perkutan, bedah).

b.  Operasi katup mitral.

c.   Aneurismektomi.

d.  Kardiomioplasti.

e.  External cardiac support.

f.    Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.

g.  Implantable cardioverter defibrillators (ICD).

h.  Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.

i.    Ultrafiltrasi, hemodialisis

H.    PROGNOSIS

Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan segera. Hal ini disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada miokardium.

Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :

v  Waktu timbulnya gagal jantung.

v  Timbul serangan akut atau menahun.

v  Derajat beratnya gagal jantung.

v  Penyebab primer.

v  Kelainan atau besarnya jantung yang menetap.

v  Keadaan paru.

v  Cepatnya pertolongan pertama.

v  Respons dan lamanya pemberian digitalisasi.

v  Seringnya gagal jantung kambuh

 

I.       KOMPLIKASI

Komplikasi dari decompensatio cordis adalah:
1. Syok kardiogenik.
2. Episode tromboemboli.
3. Efusi dan tamporiade pericardium

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A.     PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Menurut Doenges (2002), hal-hal yang perlu dikaji pada penderita decompensasi cordis antara lain :

1.  Aktivitas atau istirahat

a.      Gejala : keletihan atau kelelahan, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas dispnea pada istirahat atau pada pengerahan tenaga.

b.      Tanda : gelisah perubahan status mental (misal : letargi), tanda vital berubah pada aktivitas.

2.  Sirkulasi

a.      Gejala : riyawat hipertensi infark miokartd akut, episode gagal jantung kanan sebelumnya, penyakit katup jantung, endokarditis siskemik lupus eritema tosus, anemia, syok septik, bengkak pada telapak kaki, abdomen.

b.      Tanda : tekanan darah mungkin rendah (gagal pemompaan),normal (gagal jantung kanan ringan atau kronis) atau tinggi (kelebihan beban cairan). Tekanan nadi : mungkin sempit menunjukkan penurunan volume sekuncup. Frekuensi jantung takikardi (gagal jantung kiri). Irama jantung: disritmia (misal: fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel premature atau takikardi, blok jantung). Nadi apikal penyakit miokard infark mungkin menyebar dan berubah posisi secara inferior ke kiri. Bunyi jantung : S3 (galiop), S4 dapat terjadi, S1 dan S2 melemah murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya stenosis katup atau insufisiensi : nadi perifer berkurang perubahan dalam kekuatan dapat terjadi, nadi sentral mungkin kuat (misal nadi jugularis, karotis, abdominalis). Warna kulit : sianosis, pucat, abuabu, kebiruan. Punggung kuku: pucat sianotik dan pengisian kapiler lambat. Hepar membesar. Bunyi nafas : krekels, ronkhi, edem mungkin depend, edem piting, khususnya ekstremitas,distensi vena jugularis.

3.    Integritas Ego

a.      Gejala : ansietas, kuatir, takut, stress, berhubungan dengan finansial atau penyakit.

b.      Tanda : berbagai manifestasi perilaku, (misal: ansietas, marah, ketakutan mudah tersinggung).

4.  Makanan atau cairan

a.      Gejala : kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, penambahan berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstrimitas kbawah, pakaian atau sepatu terasa sesak, diet tinggi garam atau makanan yang telah diproses lemak, gula dan garam, kafein, penggunaan diuretik.

b.      Tanda : penambahan berat badan cepat, distensi abdomen(asites), edem (umum, dependen, tekanan, pitting).

5.  Hygiene

a.      Gejala : keletihan atau kelemahan, kelelahan selama aktivitas perawatan diri.

b.      Tanda : penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.

6.  Neurosensori

a.      Gejala : kelemahan, pening, episode pingsan.

b.      Tanda : latergi, kusut pikir, disorientasi, perubahan perilaku, mudah tersinggung.

7.  Nyerti atau kenyamanan

a.      Gejala : nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas, sakit pada otot.

b.      Tanda : tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri), perilaku melindungi diri.

8.    Pernafasan

a.      Gejala : dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengan tanpa pembentukan sputum, riwayatpenyakit paru kronis, penggunaan bantuan pernafasan, misal: oksigen atau medikasi.

b.      Tanda : pernafasan; takipnea, nafas dangkal, penggunaan otot aksesoris pernafasan. Batuk kering atau nyaring atau non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan atau tanpa sputum. Bunyi nafas : mungkin tidak terdengar krekels, mengi. Fungsi mental mungkin menurun, letargi, kegelisahan. Warna kulit pucat atau sianosis.

9.  Keamanan

Gejala : perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan atau tonus otot, kulit lecet.

10. Interaksi

Gejala : penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.

11.  Pengajaran

a.      Gejala : lupa menggunakan obat-obat jantung.

b.      Tanda : bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkat.

 

B.    DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Penurunan curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas miocard atau perubahan inotropik, perubahan frekwensi, irama, konduksi listrik, perubahan struktural (misal : kelainan katup, aneurisme ventrikular)

2.      Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung) meningkatnya produksi antidiuretik hormone dan retensi natrium atau air.

3.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 kebutuhan, kelemahan umum, tirah baring lama.

4.      Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan faktor resiko perubahan membran kapiler alveolus.

5.      Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko tirah baring lama, oedema, penurunan defusi.

 

C.    INTERVENSI KEPERAWATAN

Penurunan curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas miocard atau perubahan inotropik, perubahan frekwensi, irama, konduksi listrik, perubahan struktural (misal : kelainan katup, aneurisme ventrikular)

a.  Tujuan dan kriteria hasil :

Setelah diberikan tindakan keperawatan terjadi penurunan episode dispnea angine menujukan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gerak gagal jantung (misal : parameter hemodirakit dalam batas normal, haluan urine adekuat), ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.

b.  Intervensi

1)    Auskultasi nadi apikal, kaji frekuensi irama jantung

Rasional : biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat), untuk mengkompensasi penurunan kontraktivitas ventrikuker.

2)    Pantau tekanan darah

Rasional : pada gejala dini, sedang/kronis TD dapat meningkat sehubungan dengan SVR.

3)    Kaji kulit terdapat pucat dan diagnosis

Rasional : pucat menunjukan menurunnya perfusi perifer sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung vasokontriksi, dan anemia, area yang sakit sering berwarna biru/ belang karena peningkatan kongesti vena.

4)    Kaji perubahan pada sensori, contoh letergi

Rasional : dapat menunjukan tidak adekuatnya perfusi cerebral sekunder terhadap penurunan curah jantung.

5)    Berikan is tirahat Psikologi dengan lingkungan tenang.

Rasional : stres, emosi menghasilkan vasokonstriksi yang meningkatkan TD dan meningkatkan frekuensi kerja jantung.

6)    Kolaborasi

Berikan oksigen tambahan

Rasional : meningkatkan sediaan O2 untuk kebutuhan miocard untuk melawan efek hipoksia/Ischemia.

 

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung) meningkatnya produksi antidiuretik hormone dan retensi natrium atau air.

a.  Tujuan dan Kriteria Hasil :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, paien mampu mendomentrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan dan pengeluaran bunyi nafas bersih/jelas, vital dalam rentang yang dapat diterima, BB stabil, tak ada oedem, pasien menyatakan paham dengan pembatasan cairan.

b.  Intervensi

1)  Pantau keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam

Rasional : terapi diuretik dapat disebabkan untuk kehilangan cairan tiba-tiba atau berlebihan (hipovolemik) meskipun oedema/asites masuk ada.

2)  Pertahankan duduk atau tirah baring semifowler selama masa akut Rasional : posisikan telentang meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.

3)  Timbang BB tiap hari

Rasional ; cata t perubahan ada/hilangnya oedema sehingga respon terhadap terapy, peningkatan 25 kg menunjukan 2 lt cairan.

4)  Ubah posisi dengan sering, tinggikan kaki bila duduk, pertahankan permukaan kulit tetap kering, berikan bantalan.

Rasional : pembentukan oedema, sirkulasi melambat, gangguan pemasukan nutrisi dan imobilisasi atau tirah bar ing lama merupakan kumpulan stresor yang mempengaruhi intergritas kulit.

5)  Kolaborasi : mempertahankan cairan atau pembatasan nutrium sesuai indikasi.

Rasional : menurunkan air total tubuh atau mencegah reakumulasi cairan.

 

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 kebutuhan, kelemahan umum, tirah baring lama.

a.  Tujuan dan Kriteria Hasil :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien dapat berpatisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi kebutuhan perawat sendiri.

b.    Intervensi

1)     Periksa tanda vital sebelum dan setelah aktivitas

Rasional : hipotensi ortostastik dapat terjadi dengan aktivitas karena otot-otot perpindahan cairan/pengaruh fungsi jantung.

2)     Catat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat).

Rasional : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dapat menyebabkan peningkatan segera pada frekuensi jantung dan kebutuhan O2. Peningkatan kelelahan dan kelemahan.

3)     Kaji presipitasi atau penyebab kelemahan . Contoh : nyeri pengobatan.

Rasional : kelemahan atau efek samping beberapa obat (Beta Blocker).

4)     Berikan batuan dalam aktivitas perawat diri, sesuai indikasi

Rasional : pemenuhan kebutuhan perawat diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard atau kebutuhan O2 berlebihan.

5)     Kolaborasi : Implementasi program rehabilitasi jantung atau aktivitas konsumsi berlebihan.

Rasional : peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja/konsumsi O2 berlebihan, penjualan dan perbaikan fungsi jantung dibawa stess.

 

Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan faktor resiko perubahan membran kapiler alveolus.

a.  Tujuan dan Kriteria Hasil :

Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien mampu memdemontrasikan ventilasi dan oksigensi adekuat, analisa gas darah rentang normal.

b.  Intervensi :

1)  Auskultasi bunyi nafas, catat krekles, mengi

Rasional : menyatakan adanya kongesti paru atau pengumpulan secret menunjukan kebutuhan untuk intervensi lanjut.

2)  Anjurkan batuk efektif dan nafas dalam

Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2

3)  Dorong untuk mengubah posisi dengan sering

Rasional ; membantu mencegah atelektasis dan pneumonia

4)  Pertahankan duduk dan tirah baring dengan posisi semifowler

Rasional menurunkan konsumsi O2 atau kebutuhan dan meningkatkan inflamasi paru maksimal.

5)  Kolaborasi : beri O2 sesuai dengan indikasi

Rasional : meningkatkan konsentrasi O2 alveolar, yang dapat memperbaiki atau menurunkan hipoksia jaringan.

 

Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko tirah baring lama, oedema, penurunan defusi.

a.  Tujuan dan Kriteria Hasil :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat mempertahankan integritas kulit,  mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.

b.  Intervensi

1)  Lihat kulit, catat adanya penonjolan tulang, oedema

Rasional : kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi.

2)  Pijat area kemerahan atau yang memutih

Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan

3)  Ubah posisi sering di kursi/tempat tidur, bantu latihan gerak aktif/pasif

Rasional : memperbaiki sirkulasi atau menurunkan waktu satu area yang menggangu aliran darah.

4)  Berikan perawatan kulit sering dan meminimalkan kelembaban atau ekskresi

Rasional : terlalu kering atau lembab merusak kulit dan mempercepat kerusakan.

5)  Kolaborasi : berikan tekanan alternatif, perlindungan siku/tumit.

Rasional : menurunkan tekanan pada kulit dapat memperbaiki sirkulasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENATALAKSANAAN NYERI AKUT DAN KRONIK

 

1.     Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2.     Patofisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

     Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

a.    Reseptor A Delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

 

 

b.    Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

3.     Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung pasien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.

Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005).

 

4.     Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman pasien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi pasien. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda, antara lain:

a.    Bahaya atau merusak

b.    Komplikasi seperti infeksi

c.    Penyakit yang berulang

d.    Penyakit baru

e.    Penyakit yang fatal

f.     Peningkatan ketidakmampuan

g.    Kehilangan mobilitas

h.    Menjadi tua

i.      Sembuh

j.      Perlu untuk penyembuhan

k.    Hukuman untuk berdosa

l.      Tantangan

m.   Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

n.    Sesuatu yang harus ditoleransi        

o.    Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

 

5.     Respon Fisiologis terhadap Nyeri

Respon fisiologi terhadap nyeri terdiri atas dua stimulus, yaitu stimulus simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superficial) dan stimulus parasimpatik (nyeri berat dan dalam).

a.    Stimulasi Simpatik

1)    Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

2)    Peningkatan heart rate

3)    Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

4)    Peningkatan nilai gula darah

5)    Diaphoresis

6)    Peningkatan kekuatan otot

7)    Dilatasi pupil

8)    Penurunan motilitas GI

b.    Stimulus Parasimpatik

1)    Muka pucat

2)    Otot mengeras

3)    Penurunan HR dan BP

4)    Nafas cepat dan irreguler

5)    Nausea dan vomitus

6)    Kelelahan dan keletihan

 

6.     Respon Tingkah Laku terhadap Nyeri

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

a.    Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur)

b.    Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)

c.    Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari  dan tangan)

d.    Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a.    Fase Antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa   mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada pasien.

b.    Fase Sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika pasien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Pasien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Pasien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan pasien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila pasien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu pasien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

c.    Fase Akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan pasien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila pasien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

 

7.     Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri, antara lain:

a.    Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

b.    Jenis Kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

c.    Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

d.    Makna Nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

e.    Perhatian

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

f.     Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

g.    Pengalaman Masa Lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

 

h.    Pola Koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

i.      Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

8.     Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut:

a.    Skala Intensitas Nyeri Deskritif

b.    Skala Identitas Nyeri Numerik

 

 

 

 

c.    Skala Analog Visual

d.    Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan:

0                 : Tidak nyeri

1-3             :  Nyeri ringan, secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik

4-6             : Nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik

7-9             : Nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10               : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul

 

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan pasien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.

Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.

Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Priharjo, 1993).

Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat pasien melengkapinya. Apabila pasien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi pasien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

 

9.     Manifestasi Klinik

Secara umum pasien mungkin berada dalam keadaan distress (kesakitan) akut yang nyata (nyeri trauma) atau tampak tidak menderita keluhan yang berarti (kronis/menetap).

Terdapat beberapa gejala nyeri:

a.    Nyeri dapat digambarkan sebagai: tajam menusuk, pusing, panas seperti terbakar, menyengat, pedih, nyeri merambat, rasa nyeri yang hilang timbul, dan berbeda tempat rasa nyeri.

b.    Setelah beberapa lama, rangsangan nyeri yang sama dapat memunculkan gejala yang sama sekali berbeda (contoh : dari nyeri menusuk menjadi pusing, dari nyeri yang terasa nyata menjadi samar – samar).

c.    Gejala yang tidak spesifik meliputi kecemasan, depresi, kelelahan, insomnia (gangguan pola tidur), rasa marah dan ketakutan.

Manifestasi klinik nyeri dapat dibagi menjadi tiga kategori mayor, yakni nyeri akut, nyeri kronik, dan nyeri neuropatik.

a.    Nyeri Akut

Nyeri akut terjadi akibat luka atau karena pembedahan, bertempat lokal, dan semakin reda ketika luka tersebut hilang. Nyeri akut yang tidak ditangani dapat menyebakan gejala-gelala psikologis seperti tachypnea, tachycardia, dan meningkatnya aktivitas sistem syaraf simpatik seperti pucat, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Penanganan nyeri akut yang buruk dapat menyebabkan stess psikologis, yang berpengaruh juga pada sistem imun, dimana tubuh akan mengeluakan kortikosteroid endogen. Kondisi ini diikuti juga dengan penurunan kemampuan bergerak dan penurunan kapasitas paru-paru, yang juga dapat memperlambat penyembuhan luka. Nyeri akut somatik muncul karena adanya luka di kulit, tulang, persendian, otot, dan jaringan konektif, yang pada umumnya terlokalisasi di tempat luka. Nyeri viseral termasuk luka syaraf pada organ internal (seperti hati dan usus) dapat menyebar. Nyeri akut harus segera ditangani bahkan sebelum ada diagnosis, kecuali pada kondisi luka di kepala dan usus dimana  nyeri dapat membantu dalam diagnosis.

 

 

b.    Nyeri Kronik

Nyeri kronik berlangsung melebihi batas normal waktu yang diharapkan dalam proses penyembuhan. Nyeri kronik menyebabkan nosiseptif, peradangan, dan neuropatik. Nyeri kronik dapat berlangsung pada waktu tertentu dan dapat berkepanjangan. Respon psikologis yang terjadi pada nyeri akut jarang muncul pada nyeri kronik. Pasien dengan nyeri kronik dapat menyebabkan masalah psikologis, ketergantungan, toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan yang dapat memperparah nyeri.

c.    Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik bersifat seperti nyeri kronik nonmalignant, yang termasuk penyakit dalam sistem syaraf sentral dan periferal. Contoh dari nyeri neuropatik adalah Post Herpetic Neuralgia (PHN). Periferal atau polineuropatik berhubungan dengan polineuropati distal pada diabetes, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan beberapa kemoterapi. Tipe nyeri sentral yaitu nyeri stroke sentral, trigeminal neuralgia, dan sindrom yang disebut Complex Regional Pain Syndrome (CRPS). Contoh dari CPRS adalah distofi simpatik reflek dan kausalgia, dimana keduanya adalah nyeri neuropatik yang berhubungan dengan fungsi abnormal dari sistem syaraf autonom.

Gejala nyeri neuropatik yaitu gatal, terasa terbakar, seperti ditusuk-tusuk, dan seperti disengat listrik. Kondisi lainnya seperti denyut melemah, nyeri seperti terbakar. Seringkali kerusakan syaraf periferal dapat dijadikan petunjuk tempat terjadinya kerusakan dari syaraf tersebut.

Penanganan nyeri yang rasional dari nyeri ini harus memperhatikan hasil evaluasi dari neuropati dan hubungannya dengan kerusakan periferal dan sentral. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri ini adalah opioid seperti metadon yang merupakan golongan antagonis reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Penggunaan antikonvulsan juga dapat digunakan untuk memblok chanel Na+ pada serabut syaraf aferen periferal. Obat-obatan lain seperti antidepresan trisiklik, bupropion, dan venlafaxine dapat memblok  mekanisme penghambatan pengeluaran target   monoamin dorsal horn.

Adapun beberapa tanda dari nyeri, antara lain:

a)    Nyeri akut dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, diaforesis, midriatik dan pallor (pucat), tetapi gejala tersebut tidak memastikan diagnosis nyeri.

b)    Nyeri selalu bersifat subyektif ; jadi lebih baik diagnosa didasarkan pada gambaran dan riwayat penyakit yang diceritakan oleh pasien.

c)    Nyeri nosiseptik seringkali akut, terlokalisasi, dapat digambarkan dengan jelas, dan membaik dengan analgesik konvensional. Nyeri biasanya berupa nyeri seperti dipukul dan rasa tidak nyaman yang terlokalisasi, tetapi nyeri viseral rasanya seperti berasal dari struktur lain atau timbul sebagai fenomena yang terlokalisasi.

d)    Nyeri neuropatik seringkali kronis, tidak dapat dijelaskan dengan dengan baik dan tidak  mudah diobati dengan analgesik konvensional. Pasien umumnya merasakan nyeri yang seperti membakar, pedih, seperti tersengat listrik, atau menusuk, respon nyeri berlebihan terhadap rangsangan yang membahayakan (hiperalgesia), atau respon nyeri terhadap rangsangan yang secara normal tidak membahayakan (allodynia)

e)    Pengobatan nyeri yang tidak efektif dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan oksigen), hypercapnea, hipertensi, aktivitas jantung berlebihan dan gangguan emosional.

f)     Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 4 subtipe :

1.  Nyeri yang menetap lebih dari waktu sembuh normal untuk luka akut

2.  Nyeri akibat penyakit kronis

3.  Nyeri yang tidak jelas organ penyebabnya, serta

4.  Nyeri baik akut maupun kronis yang disebabkan oleh kanker

g)    Pasien dengan nyeri kronis mungkin timbul masalah psikologik ketergantungan dan toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, serta peka terhadap perubahan lingkungan yang justru memperparah nyeri (Sukandar et al., 2008).

 

10.  Diagnosa

Nyeri akut

Nyeri akut yaitu suatu keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama enam bulan atau kurang.

Batasan Karakteristik :

1)    Subjektif : Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri dideskripsikan. Untuk pasien dewasa dan dalam kondisi sadar penuh, rasa nyeri ini bisa dikaji secara verbal menggunakan skala 0-10 atau 0-5 (tergantung kebijakan RS menggunakan yang mana) (Yenichrist, 2008).

2)    Objektif

a.    Perilaku sangat berhati-hati

b.    Memusatkan diri

c.    Fokus perhatian rendah (perubahan persepsi waktu, menarik diri dari hubungan sosial, gangguan proses berpikir)

d.    Perilaku distraksi (mengerang, menangis)

e.    Raut wajah kesakitan (wajah kuyu, meringis)

f.     Perubahan tonus otot

g.    Respon autonom (diaforesis, perubahan tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil, penurunan atau peningkatan frekuensi pernafasan)

h.    rubor (kemerahan jaringan)

i.      kalor (kehangatan jaringan)

j.      tumor (pembengkakan jaringan)

k.    dolor (nyeri jaringan)

l.      fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan) (Dharmayana, 2009)

Nyeri kronis

Nyeri kronis yaitu keadaan dimana seseorang individu mengalami nyeri yang menetap atau intermiten dan berlangsung lebih dari enam bulan.

Batasan Karakteristik :

1)    Mayor (harus terdapat), individu melaporkan bahwa nyeri telah ada lebih dari 6 bulan

2)    Minor (mungkin terdapat)

a.    Ketidaknyamanan

b.    Marah, frustasi, depresi karena situasi

c.    Raut wajah kesakitan

d.    Anoreksia, penurunan berat badan

e.    Insomnia

f.     Gerakan yang sangat berhati-hati

g.    Spasme otot

h.    Kemerahan, bengkak, panas

i.      Perubahan warna pada area terganggu

j.      Abnormalitas refleks

11.  Diagnosa Tambahan

  1. Kecemasan yang berhubungan dengan hilangnya kontrol
  2. Ketakutan yang berhubungan dengan nyeri
  3. Kelemahan yang berhubungan dengan pengobatan pada penyakit
  4. Perubahan penampilan peran yang behrubungan dengan perubahan status   kesehatan dan kerusakan koping
  5. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan kesakitan dan nyeri
  6. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan     ketidaknyamanan
  7. Aktivitas intoleran yang berhubungan dengan nyeri dan/atau depresi
  8. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan nyeri
  9. Kurang perawatan diri (total atau sebagian) yang berhubungan dengan nyeri
  10. Perubahan pemeliharaan kesehatan yang berhubungan dengan perasaan tak berdaya (Ramali, 2000)

 

12.  Alat Pengukur Nyeri

 

13.  Penanganan

Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi.

 

6.1       Terapi farmakologi

            Terapi farmakologi adalah terapi menggunakan obat-obatan sintetik, semisintetik, maupun bahan alam.

Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan jalan mendepresi Sistem Saraf Pusat pada Thalamus dan Korteks Cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri. Untuk alasan ini maka analgesik dianjurkan untuk diberikan secara teratur dengan interval, seperti setiap 4 jam (q 4h) setelah pembedahan (Irman, 2007).

a.    Obat Nonopioid

·         Analgesik yang diberikan harus dimulai dengan analgesik yang paling efektif dengan efek samping terendah.

 

Analgesik Nonopioid yang mendapat ijin FDA untuk Orang Dewasa

Golongan dan nama generik

Rentang dosis lazim (mg)

Dosis maks (mg hr)

Salisilat

Asam asetil salisilat (aspirin)b

325-650 tiap 54 jam

4000

Kolin b

870 tiap 3 – 4 jam

5220

Magnesium b

650 tiap 4 jam atau

1090 Tiga kali sehari

4800

Dalam dosis terapi

Natrium b

325 – 650 tiap 4 jam

5400

Diflusinal

500 – 1000 pada awal

250 – 500 tiap 8 – 12 jam

1500

Para-Aminofenol

Parasetamol b

325 – 1000 tiap 4 – 6 jam

4000

Fenamat

Meklofemat

50-100 tiap 4 -6 jam

400

Asam mefenamat

Awal 500

250 tiap 6 jam ( Maks 7 hari)

1000c

Asam pianokarboksilat

Etodolak

200 – 400 tiap 6 – 8 jam

Hanya utk pelepasan segera

1000

Asam Asetat

Kalium diklofenak

Pada beberapa pasien,

Awal 100, 50 tiga kali sehari

150d

Asam Propionat

Ibuprofen b

200 – 400 tiap 4 – 6 jam

3200

1200e

Fenoprofen

200 – 400 tiap 4 – 6 jam

3200

Ketoprofen b

25 – 50 tiap 6 – 8 jam

12,5 – 25 tiap 4 – 6 jamd

300

75e

Naproksen

500 saat awal

500 tiap 12 jam atau

250 tiap 6 – 8 jam

1000c

Natrium Naproksen b

Pd beberapa pasien 440 saat awale 220 tiap 8 – 12 jam e

660e

Naproksen, delayed released

500 tiap 12 jam

1000

Naproksen, controlled released

200 – 1000 tiap 24 jam

 

Asam Pirozolin karboksilat

Ketorolak (parenteral)

30 – 60 mg (dosis im tunggal saja)

15 – 30 tiap 6 jam (maks 5 hari)

30-60

 

120

Ketorolak (oral)

(Indikasi hanya untuk lanjutan/setelah parenteral saja)

Pada beberapa pasien, dosis awal 20 – 10 tiap 4 – 6 jam (maks 5 hari, termasuk dosis parenteral)

40

Penghambat siklooksigenase-2

Selekoksib

Awal 400 diikuti dengan 200 pd hari yang sama, lalu 200 dua kali seharig

400g

Valdekoksib

20 dua kali seharih

40h

 

a Tidak termasuk obat yang diberi ijin hanya untuk osteoporosis atau rematoid arthritis

b Tersedia sebagai obat bebas maupun dengan resep dokter

c Sampai dengan 1250 mg pada hari pertama

d Sampai dengan 200 mg pada hari pertama

e  Obat bebas

f  Tidak untuk terapi awal nyeri akut

g Untuk nyeri akut dismenore primer

h Untuk dismenore primer

·         Obat-obat ini (kecuali parasetamol) menurunkan produksi prostaglandin melalui mekanisme berantai asam arakidonat, oleh karenanya mengurangi jumlah rangsangan nyeri yang diterima oleh SSP.

·         Aspirin yang diberikan bersama dengan anti inflamasi non steroid (AINS) yang lain lebih berisiko menyebabkan efek samping pada saluran cerna. Garam salisilat kurang menyebabkan efek samping dibandingkan dengan aspirin dan tidak menghambat agregasi platelet.

·         Senyawa dengan struktur mirip aspirin tidak boleh diberikan kepada anak atau remaja yang menderita influenza atau chickenpox (cacar air), karena sindrom reye dapat terjadi.

·         Parasetamol mempunyai aktivitas analgesik dan antipiretik tetapi hanya sedikit efek antiinflamasi. Juga bersifat sangat hepatotoksik jika overdosis.

 

Nama obat

Keterangan

Aspirin (asam asetilsalisilat atau asetosal)

  • Mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antinflamasi.
  • Efek samping utama : perpanjangan masa perdarahan, hepatotoksik (dosis besar) dan iritasi lambung. Diindikasikan pada demam, nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri otot dan sendi (artritis rematoid). Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya trombus (bekuan darah) pada pembuluh darah koroner janung dan pembuluh darah otak

Asetaminofen (parasetamol)

  • Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.
  • Parasetamol mempunyai efek analgesik dan anipiretik, tetapi kemampuan antinflamasinya sangat lemah.
  • Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol.

Ibuprofen

  • Mempunyai efek analgesik, anipiretik, dan antinflamasi, namun efek antinflamasinya memerlukan dosis lebih besar.
  • Efek sampingnya ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung ringan.

Asam mefenamat

Mempunyai efek analgesik dan antinflamasi, tetapi tidak memberikan efek anipiretik.

Diklofenak

Diberikan untuk antinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simtomatik jangka panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.

Indometasin

Mempunyai efek anipiretik, antinflamasi dan analgesik sebanding dengan aspirin, tetapi lebih toksik.

Fenilbutazon

Hanya digunakan untuk antinflamasi dan mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout.

Kelompok obat gout

  • Pada keadaan akut : kolkisin, fenilbutazon, dan indometasin.
  • Mengurangi kadar asam urat : probenesid, allopurinol dan sulfinpirazon

 

 

b.    Obat Opioid

Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor opioid spesifik pada susunan saraf pusat untuk meghasilkan efek yang meniru efek neurotransmiter peptida endogen, opiopeptin (misal endorfin dan enkefalin). Opioid analgesik penggunaan utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas yang menyertainya, baik karena operasi atau sebagai akibat luka atau suatu penyakit misal kanker.

Reseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem saraf pusat yang dikelompokkan menjdi 3 tipe utama yaitu μ-, κ-, dan σ-reseptor. μ-reseptor memiliki jumlah yang paling banyak di otak dan merupakan reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid analgesik untuk mengasilkan efek analgesik. Sedangkan κ- dan σ-reseptor menunjukkan selektivitas terhahap enkefalin dan dinorfin secara respektif. Aktivasi κ-reseptor juga dapat menghasilkan efek analgesik, namun berlawanan dengan  μ-agonis, yang dapat menyebabkan euforia. Beberapa opioid analgesik mengahsilkan efek stimulan dan psikomotorik dengan beraksi pada σ-reseptor. Aktivasi pada μ- dan σ-reseptor dapat menyebabkan hiperpolarisasi pada saraf dengan cara mengaktivasi K+ chanel melalui  proses yang melibatkan G-protein. Sedangkan aktivasi κ-reseptor dapat menghambat membran Ca2+ chanel. Sehingga dapat merintangi peletuoan neuronal dan pelepasan transmitter (Tusthi, 2007)

 

Kerja pada pusat Hipnoanalgetika:

a.    Menurunkan rasa nyeri dengan cara stimulasi reseptor opiate (kerja analgetika),

b.    Sebaliknya tidak mempengaruhi kualitas indra lain pada dosis terapi,

c.    Mengurangi aktivitas kejiwaan (kerja sedasi),

d.    Meniadakan rasa takut dan rasa bermasalah (kerja trankuilansia),

e.    Menghambat pusat pernafasan dan pusat batuk (kerja depresi pernapasan dan kerja antitusiva),

f.     Seringkali mula-mula menyebabkan mual dan muntah akibat stimulasi pusat muntah (kerja emetika), selanjutnya menyebabkan inhibisi pusat muntah (kerja antiemetika),

g.    Menimbulkan miosis (kerja miotika),

h.    Meningkatkan pemnbebasan ADH (kerja antidiuretika), dan

i.      Pada pemakaian berulang kebanyakan menyebabkan terjadinya toleransi dan sering juga ketergantungan.

 

Kerja perifer Opiat:

a.    Memperlambat pengosongan lambung dengan mengkonstriksi pylorus,

b.    Mengurangi motilitas dan meningkatkan tonus saluran cerna (obtipasi spastic),

c.    Mengkontraksi sfinkter dalam saluran empedu,

d.    Meningkatkan tonus otot kandung kemih dan juga otot sfinkter kandung kemih,

e.    Mengurangi tonus pembuluh darah dengan bahaya reaksi ortostatik, dan

f.     Menimbulkan pemerahan kulit, urtikaria, rangsang gatal, serta pada penderita asma suatu bronkhospasmus, akibat pembebasan histamine(1) (Mutschler, 1991)

 

Mula kerja analgesik oral biasanya sekitar 45 menit, dan efek puncak umumnya terlihat dalam 1 sampai 2 jam.

Golongan dan Nama Generik

Rute

Kesetaraan Dosis Analgesik (mg) Dewasa

Agonis – Mirip Morfin

Morfin

Im

10

Po

30

Hidromorfin

Im

1,5

Po

7,5

Oksimorfin

Im

1

R

5 a

Triorfanol

im (akut)

2

po (akut)

4

im (kronis)

1

po (kronis)

1

Codein

Im

15 – 30 b

Po

15 – 30 b

Hidrocodon

Po

5 – 10 b

Oksikodon

Po

20 – 30 c

Agonis-Mirip Meperidin

Meperidin

Im

75

Po

300c, tidak disarankan

Pentanil

 

Im

0,1 – 0,2

Transdermal

25mcg/jamd

Transmukosal hanya untuk nyeri berat

Agonis-Mirip Metadon

Metadon

im (akut)

bervariasie

po ( akut)

bervariasie

im (kronis)

bervariasie

po (kronis)

bervariasie

Propoksilen

Po

65b

Turunan Agonis-Antagonis

Protazosin

Im

Tidak dianjurkan

 

Po

50b

Butorfanol

Im

2

intranasal

1 b (satu spray)

Nalbufin

Im

10

Buprenorfin

Im

0,4

Dezosin

Im

10

Antagonis

Nalokson

Iv

0,4 – 1,2 f

Analgesik Sentral

Tramadol

Po

50 – 100 b

a 50 mg morfin rectal = 5 mg oksimorfin rectal

b Dosis awal saja (kesetaraan dosis analgesik tidak ada)

c Dosis awal lebih rendah (oksikodon 5 – 10 mg)

d Kesetaraan dosis morfin im = 8 – 22 mg / hari

e Kesetaraan dosis analgesik metadon, jikadibandingkan dengan opioid lain akan menurun secara progresif sejalan dengan makin tingginya dosis opioid sebelumnya.

f Dosis awal yang digunakan hanya pada keadaan overdosis opioid

·         Agonis dan antagonis parsial bersaing dengan agonis pada reseptor opiat dan menimbulkan efek campuran antara agonis dan antagonis. Obat-obat tersebut mungkin mempunyai selektivitas f<reseptor analgesik dan menyebabkan efek samping yang lebih sedikit. Pada tahap awal pengobatan nyeri akut, analgesik harus diberikan secara ‘around the clock’ (sebelum nyeri muncul). Saat kondisi nyeri berkurang, pengobatan diberikan juka perlu.

·         Pada penggunaan patient-controlled analgesia (PCA), pasien memberikan sendiri sejumlah tertentu opioid intravena melalui alat suntik ‘pump’ yang dihubungkan secara elektronis dengan alat pengatur waktu; sehingga, pasien dapat menyeimbangkan antara kontrol rasa nyeri dengan efek sedasi.

·         Pemberian golongan opioid langsung kedalam SSP (rute epidural dan intratekal/subarachnoid) makin menonjol untuk mengobati nyeri akut. Cara ini pernafasan pruritus (gatal), mual, muntah, retensi urin dan hipotensi. Naloxone digunakan untuk mengatasi depresi saluran nafas, tetapi mungkin perlu diberikan secara infus berkelanjutan. Efek analgesik pada dosis tunggal golongan opioid secara epidural tercantum dibawah ini:

1.  Morfin, 1-6 mg (mula kerja 30 menit, lama kerja 6-24 jam)

2.  Hidromorfin, 1-2 mg (mula kerja 15 menit, lama kerja 6-16 jam)

3.  Fentanil, 0,025-0,1 mg (mula kerja 5 menit, lama kerja 1-4 jam)

·         Opioid intratekal dan epidural sering diberikan dengan infus berkelanjutan atau PCA. Cara itu aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan anestesi local intratekal dan epidural seperti bupivakain. Semua obat yang diberikan secara langsung ke dalam SSP harus bebas pengawet.

·         Dosis subarachoid lebih kecil dari pada epidural (misal, morfin 0,1-0,3 mg fentanil 0,005-0,025 mg).

 

 

 

  Morfin dan Struktur Sejenis

·         Morfin dianggap oleh banyak klinisi sebagai obat pilihan pertama untuk nyeri sedang sampai berat. Dapat diberikan secara oral, parenteral atau rektal.

·         Mual dan muntah lebih sering ditemui pada pasien ‘ambulatory’ (tidak perlu dirawat di rumah sakit) dan sejak dosis awal.

·         Depresi pernafasan meningkat secara progresif jika dosis ditingkatkan. Seringkali muncul sebagai penurunan laju nafas, dan refleks batuk tidak bekerja/diekan. Pasien dengan penyakit disfungsi paru adalah yang beresiko karena peningkatan gangguan pernafasan. Depresi pernafasan dapat diatasi dengan nalokson.

·         Kombinasi analgesik opioid dengan alkohol atau depresan SSP yang lain akan menguatkan depresi nafas dan potensial berbahaya dan kemungkinan bersifat letal (mematikan).

·         Morfin menyebabakan dilatasi vena dan arteriol, sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Pasien hipovolemik lebih mudah terkena hipotensi akibat morfin. Morfin seringkali dianggap sebagai opioid pilihan jika menggunakan golongan opioid untuk mengobati nyeri akibat infark miokard, karena menurunkan kebutuhan oksigen miokardial.

·         Morfin dapat menyebabkan konstipasi, spasme sphincter Oddi, retensi urin dan pruritus/gatal (sekunder, akibat pelepasan histamine). Pada pasien trauma panas yang tidak dapat bernfas dengan baik (not ventilated), defresi napas yang dipicu oleh morfin dapat meningkatkan tekanan intracranial dan mengaburkan hasil pemeriksaan neurologik.

Efek Samping Utama Analgesik Opioid

Efek                      

Manifestasi

Perubahan suasana hati (mood)

Disforia (tidak merasa senang), eufhoria (rasa senang berlebihan)

Somnolens

Letargia (lemah), mengantuk, apatis, tidak dapat konsentrasi

Rangsangan chemoreceptor

Mual, muntah

Trigger zone

 

Depresi pernafasan

Laju nafas menurun

Gerakan saluran cerna berkurang

Sembelit

Tonus spinchter meningkat

Spasme (kaku) saluran empedu, retensi urin (bervariasi antara satu obat dengan obat lain)

Pelepasan Histamin

Biduran, kemerahan dan gatal, jarang terjadi eksaserbasi asam (bervariasi antara satu obat dengan obat lain)

Toleransi

Dosis harus lebih besar agar mendapat efek yang sama

Ketergantungan

Gejala putus obat, jika obat dihentikan mendadak

 

Meperidin dan Struktur Sejenis (Fenilpiperidin)

·         Meperidin kurang poten dan lebih singkat lama kerjanya dibandingkan dengan morfin, tidak lebih menguntungkan disbanding morfin.

·         Pada dosis tinggi atau pada gagal ginjal, metabolitnya normepiridin menumpuk. Menyebabkan tremor, hentakan otot, dan kemungkinan kejang (seizures).

·         Eperidin dikombinasikan dengan penghambat monoamine oksidase karena kemungkinan depresi atau eksitasi nafas berat, delirium hiperpiroksia (tidak sadar akibat panas tinggi), dan konvulsi.

·       Fentonil adalah opioid sintesis dengan struktur mirip meperidin. Seringkali digunakan pada anestesi sebagai tambahan bagi anestesi umum. Fentanil lebih poten dengan lama kerja analgesik lebih singkat dibandingkan dengan meperidin. Fentanil transdermal dapat digunakan untuk pengobatan nyeri kronis yang membutuhkan anaalgesik opioid.

Meperidin dan Struktur Sejenis

Struktur dasar meperidine memiliki aktivitas farmakologi yang sebanding dengan morfin, tetapi aktivitasnya tidak sebaik morfin dan memiliki durasi analgesik yang lebih singkat. Oleh karena itu untuk menghasilkan efek terapeutik yang sama diperlukan dosis yang lebih besar dan frekuensi pemberian yang lebih sering. Meperidin dimetabolisme dalam tubuh menjadi metabolit yang toksik (normeperidin) yang dapat menyebabkan eksitasi sistem saraf pusat, seperti tremor, kejang otot dan serangan jantung. Normeperidin dapat dibuang dari tubuh melalui ginjal sehingga orang resiko ini lebih berpotensi pada pasien gagal ginjal atau pasien lansia. Kombinasi MAO inhibitor dengan meperidin tidak boleh digunakan karena dapat meningkatkan depresi atau eksitasi pernapasan, delirium, hiperpireksia dan konvulsi (Baumann and Strickland, 2008).

Pentanil adalah senyawa sintetik yang strukturnya  mirip dengan meperidin dan sering digunakan dalam anestesiologi sebagai tambahan dalam anastesi umum. Senyawa ini lebih poten, lebih lipofilik dan durasi kerja yang lebih singkat daripada meperidin. Pentanil dapat digunakan secara parenteral, transmukosa, dan transdermal. Pentanil trasdermal dapat memberikan efek analgesik sampai 72 jam, tetapi memerlukan waktu 12 sampai 24 jam untuk mencapai efek terapeutik dan waktu 6 jam untuk mencapai konsentrasi steady state. Koyo transdermal ini harus dibatasi penggunaannya pada pasien nyeri kronik dan tidak cocok untuk pasien kronik akut. Sediaan bukal dan tablet hisap  pentanil juga dapat digunakan pada pasien yang menderita kanker. Sediaan transdermal kini telah banyak digunakan untuk menjaga kadar teurapeutik analgesik pada pasien nyeri pasca operasi (Baumann and Strickland, 2008).

 

Metadon dan Struktur Sejenis

Metadon efektif per oral, lama kerja panjang, dan kemampuan untuk menekan gejala putus obat pada ketagihan heroin. Pada dosis berulang, lama kerja metadon sebagai analgesik diperpanjang, tetapi mungkin juga timbul sedasi berlebihan. Walaupun efektif untuk nyeri akut, namun umumya digunakan untuk nyeri kronis.

 

      Turunan Opioid Agonis-Antagonis

Kelas ini dapat meredakan nyeri dan mempunyai efek terbesar (ceiling effect), depresi napas serta potensial penyalahgunaan yang lebih rendah daripada morfin. Namun, respon psikotomimetik (misal: halusinasi dan disforia dengan pentazosin), efek analgesik terbesar dan kecenderungan untuk putus obat lebih awal pada pasien yang tergantung opioid telah membatasi penggunaannya.

Antagonis Opioid

Nalokson merupakan antagonis opioid murni yang terikat secara kompetitif ke reseptor opioid, tetapi tidak menghasilkan respon analgesik. Tetapi digunakan untuk mengatasi efek toksik dari opioid agonis dan opioid agonis-antagonis.

Analgesik Sentral

·         Tramadol, analgesik yang bekerja secara sentral untuk nyeri sedang sampai agak berat. Terikat ke reseptor N opiate dan secara lemah menghambat ambilan kembali (reuptake) norefineprin dan serotonin.

·         Walaupun kurang menyebabkan depresi napas dibanding morfin pada dosis anjuran, tramadol mempunyai profil efek samping serupa dengan analgesik opioid yang lain. Mungkin juga meningkatkan resiko kejang. Dapat berguna untuk mengobati nyeri kronis, terutama yang bersifat neuropatik, tetapi hanya sedikit bermanfaat disbanding opioid lain untuk nyeri akut

Pedoman Penentuan Dosis

Nama Obat

Dosis

(dinaikkan atau diturunkan sesuai respon pasien)

Keterangan

AINS/

Parasetamol/

Aspirin

Dosis sampai maksimum sebelum diganti dengan obat lain

Gunakan pada nyeri ringan sampai sedang.

Dapat digunakan bersama dengan obat opioid untuk mengurangi dosis masing-masing.

Konsumsi alcohol secara teratur dan parasetamol dosis tinggi dapat menyebabkan toksisitas pada liver.

Hindari kemungkinan over dosis jika obat itu digunakan bersama.

Morfin

po 5 – 30 mg tiap 3-4 jama

im 5 – 30 mg tiap 3-4 jama

iv 1-2,5 mg tiap5 menit jika perlua

 

Sustained Release 15-30 mg

 

 

Rektal 10-20 mg tiap 4 jama

Obat pilihan pertama pada nyeri berat

 

Kombinasikan produk sustained release dengan lepas berkala untuk mengontrol nyeri berat pada pasien kanker.

Tersedia produk yang dapat tiap 12 jam diberikan tiap 24 jam (ungkin bias tiap 8 jam pada pasien tertentu).

Hidromorfin

po 2 – 4 mg tiap 3-6 jama

im 1 – 4 mg tiap 3-6 jama

 

iv 0,1 – 0,5 mg tiap 5 menit jika perlua

 

Rektal 3 mg tiap 6-8 jama

Gunakan pada nyeri berat

Leih poten disbanding morfin;selain hal itu tidak ada keuntungan lain

Kombinasikan produk immediate release dengan lepasberkala untuk mengonrol nyeri berat pada pasien kanker

Gunakan hanya bentuk sediaan Sustained Release pada pasien yang menunjukan toleransi terhadap opioid. Tersedia kapsul lepas berkala 12 mg, 16 mg, 24 mgdan 32 mg dan harus diberikan tiap 24 jam

Oksimorfin

im 1 – 1,5 mg tiap 4-6 jama

iv 0,5 mg pada awal

Rektal 5 mg tiap 4-6 jama

Gunakan pada nyeri berat

Tidak ada kelebihan dibandingkan morfin

Levorfanol

po 2 – 3 mg tiap 6-8 jama

im 1 – 2 mg tiap 6-8 jama

Gunakan pada nyeri berat

Waktu paruh yang diperpanjang dapat berguna untuk pasien kanker pada nyeri kronis, tunggu 3 hari sebelum menyesuaikan dosis.

Kodein

po 15 - 60 mg tiap 3-6 jama

im 15 - 60 mg tiap 3-6 jama

 

iv 15 - 60 mg tiap 3-6 jama

(maks 360 mg per hari)

Gunakan pada nyeri sedang

Analgesik lemah, gunakan dengan AINS, atau parasetamol, atau aspirin.

Hidrokodon

(po) po 5 - 10 mg tiap 3-6 jama

Gunakan pada nyeri sedang/berat. Paling efektif jika digunakan bersama dengan AINS atau parasetamol atau Aspirin.

Oksikodon (po)

po 5 - 10 mg tiap 3-6 jama

Controlled-release, 10-20 mg tiap 12 jam

Gunakan pada nyeri sedang/berat

Paling efektif jika digunakan bersama dengan AINS atau parasetamol atau Aspirin. Kombinasikan poduk Immediate-release denagan produk sustained-release untuk mengontrol nyeri berat pada pasien kanker.

Meperidin

im 50 - 150 mg tiap 3-4 jama

iv 5-10 mg tiap5 menit jika perlua

 

Gunakan pada nyeri berat

Oral tidak dianjurkan.

Jangan diberikan pada gagal ginjal

Dapat menimbulkan tremor, mioklonus atau seizure (kejang)

Penghambat MAO dapat menyebabkan dan/atau seizure (kejang) atau gejala overdosis opioid

Fentanil

iv 25-50 mcg / jama

im 0,05-0,1 mcg tiap 1-2 jama

 

transdermal 25 mcg/jam tiap 72 jam

transmukosal 200 mcg dapat diulang satu kali, 30 menit setelah dosis pertama lalu dititrasi/disesuaikan secara bertahap

Gunakan pada nyeri berat

Jangan digunakan secara transdermal pada nyeri akut

Transmukosal untuk kanker

Metadon

po 2,5 - 10 mg tiap 3-4 jam (akut)a

im 2,5 - 10 mg tiap 3-4 jam (akut)a

po 5 - 20 mg tiap 6-8 jam (kronis)a

 

 

Efektif pada nyeri kronis yang berat

 

Sedasi dapat menjadi masalah utama

 

Pada beberapa pasien kronis dapat diberikan tiap 12 jam

Kesetaraan dosis analgesic Metadon akan menurun secara progresif seiring makin tingginya dosis opioid yang digunakan sebelumnya, jika dibandingkan dengan opioid yang lain.

Profoksifen

po 100 mg tiap 4 jama (napsilat)

po 65 mg tiap 4 jama (HCL)

(maks tiap hari 600 mg napsilat, 390 mg HCL)

 

 

Gunakan pada nyeri sedang

Analesik lemah paling efektif  jika digunakan dengan AINS atau parasetamol atau Aspirin dapat menyebabkan kadar karbamazepin meningkat 100 mg garanm napsilat = 65 mg garam HCL

Pentazosin

po 50 - 100 mg tiap 3-4 jama

(maks 600 mg per hari)

Obat pilihan ketiga untuk nyeri sedang sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan. Dosis parenteral tidak dianjurkan.

Butorfanol

im 1 - 4 mg tiap 3-4 jama

 

iv 0,5 - 2 mg tiap 3-4 jama

 

intranasal 1 mg (1 spray) tiap 3-4 jam jika tidak adekuat, dapat diulang pada lubang hidung yang lain satu kali dalam 30-60 menit Maks 2 semprotan (1 semprot tiap lubang hidung) tiap 3-4 jam

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan

Nalbufin

im/iv 10 mg tiap 3-6 jam

(maks dosis 20 mg, 160 mg/hari)

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan

Buprenorfin

im 0,3 mg tiap 6 jamb

 

iv lambat 0,3 mg tiap 6 jamb

 

Dapat diulang satu kali, 30-60 menit setelah dosis pertama

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan

Nalokson tidak efektif untuk mengatasi depresi nafas.

Dezosin

im 5-20 mg tiap 3-6 jamb

 

iv  2,5-10 mg tiap 2-4 jamb

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat pada pasien ketergantungan

Nalokson

iv 0,4-1,2 mg

Saat mengatasi efek samping opiate pada pasien yang mmeerlukan analgesic, encerkan dan titrasi dosis (o,2-0,2 mg tiap 2-3 menit) agar efek analgesic tidak hilang

Tramadol

po 50 – 100 mg tiap 4-6 jama

Jika mula kerja (onset) obat yang cepat tidak tercapai, mulailah dengan 25 mg/hari dan dititrasi/disesuaikan dosisnya dalam waktu beberapa hari

Dosis maksimum 400 mg/24 jam

Turunkan dosis pada penderita gangguan ginjal dan lanjut usia

 

a.     Dapat dimulai dengan ‘round the clock’ (pencegahan) dan berubah jika perlu/ jika gejala reda atau episodic

b.    Dapat mencapai efek analgesic pada batas atas / terbesar (celling effect)

 

Terapi kombinasi

Kombinasi analgesik oral opioid dan nonopioid sering lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi dan memungkinkan untuk mengurangi dosis obat masing-masing. AINS ditambah opioid dengan jadwal tertentu seringkali efektif untuk nyeri kanker tulang metastase.

 

 

 

 

Anelgesik Regional

·            Analgesik regional dengan anestesi lokal dapat menghilangkan nyeri akut maupun kronis. Anestesi dapat diberikan melalui injeksi(misal, pada tulang, di epidural atau ruang intratekal, sepanjang akar saraf) atau secara topikal.

·            Kadar plasma yang tinggi dapat menyebabkan eksitasi dan depresi SSP (pusing, tinnitus, mengantuk, disorientasi, hentakan otot, kejang/seizures, henti nafas. Efek kardiovaskular meliputi depresi miokardial dan efek lain. Diperlukan teknik yang terlatih, pemberian yang sering, dan prosedur yangdilengkapi dengan tindak lanjut.

        (Mutschler, 1991)

                                        Trauma/luka pada sel

 

                                 Gangguan pada membran sel

 

                                          Fosfolipid

Enzim fosfolipase

  Dihambat kortikosteroid                                                    

 

                                           Asam arakidonat

Enzim lipoksigenase

Enzim siklooksigenase

 

 


                                                                                     Dihambat obat AINS

                                                                                             

Hidroperoksid                                                   Endoperoksid

                                                                           PGG2 /PGH

 

                                           PGE2, PGF2, PGD2                                    Prostasiklin                             

   Leukotrien                                                    

    Tromboksan A2

 

Gambar Biosintesis prostaglandin (Wilmana, 2007)

 

6.2       Terapi nonfarmakologi

Menurut Tamsuri (2007), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan berdasarkan:

1.    Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:

a.  Stimulasi kulit

Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri

b.  Stimulasi electric (TENS)

            Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.

c.   Akupuntur

            Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.

d.  Plasebo

            Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.

2.    Intervensi perilaku kognitif meliputi:

a.   Relaksasi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa keuntungan, antara lain:

1)    Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stress

2)    Menurunkan nyeri otot

3)    Menolong individu untuk melupakan nyeri

4)    Meningkatkan periode istirahat dan tidur

5)    Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain

6)    Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

        Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai berikut:

1)    Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru

2)    Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan rasakan betapa nyaman hal tersebut

3)    Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu

4)    Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan dan hangat.

5)    Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut, punggung dan kelompok otot-otot lain

6)    Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat. (Irman, 2007)

 

 

b.   Umpan balik biologis

Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.

c.   Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

d.   Distraksi

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.

e.   Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)

                        Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.

3.    Evaluasi Hasil Terapi

a.  Intensitas nyeri, penyembuhan nyeri, dan efek samping obat harus dikaji secara teratur.  Waktu dan keteraturan pengkajian tergantung kepada jenis nyeri dan obat yang digunakan.

b.  Nyeri pasca bedah dan eksaserbasi akut nyeri kanker mungkin memerlukan pengkajian setiap jam, sedangkan nyeri kronis bukan keganasan mungkin hanya perlu dipantau tiap hari (atau lebih lama).

c.   Kualitas hidup juga harus dikaji secara teratur pada semua pasien.

d.  Penatalaksanaan terbaik dari efek samping opioid berupa konstipasi (sembelit) adalah pencegahan.  Pasien harus dikonseling mengenai asupan cairan dan serat yang memadai, dan dapat ditambah laksatif jika diperlukan.

e.  Jika nyeri akut tidak berkurang dalam waktu yang telah diramalkan (biasanya 1-2 minggu), diharuskan memeriksa penyebabnya lebih lanjut (Sukandar, 2008).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SYOK

 

A.   Definisi

Syok merupakan gangguan sistem sirkulasi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara volume darah dengan lumen pembuluh darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.

B.   Macam-macam Syok

Berdasarkan sumber penyebabnya terdapat  4 macam syok, yaitu

1.    Syok hipovolumik

Syok hipovolumik meruakan syok yang disebabkan oleh hilangnya cairan/plasma (luka bakar, gagal ginjal, diare, muntah), kehilangan darah (cedera parah, pasca operasi).

2.    Syok anafikaltik

Syok anafilaktik merupakan syok yang disebabkan oleh pajanan zat allergen sehingga memicu reaksi elergi yang akhirnya diikuti oleh vasodilatasi pembuluh darah massif.

3.    Syok neurogenik

Merupakan syok yang disebabkan kegagalan pusat vasomotor yang ditandai dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara massif.

4.    Syok  sepsis

Merupakan sindroma klinik ketidakadekuatan perfusi jaringan akibat terjadinya sepsis.

5.    Syok kardiogenik

Merupakan syok yang disebabkan kegagalan jantung yang ditandai dengan menurunnya kardiak out put sehingga mengakibatkan ketidakadekuatan volume intravascular.

C.   Etiologi Syok

Setiap jenis syok memiliki penyebab utama yang berbeda-beda, seperti yang terlihat dalam tabel 1. Berikut ini.

 

Tabel 1

Etiologi Syok

 

NO

JENIS SYOK

ETIOLOGI

1

Syok hipovolumik

1.    Perdarahan

2.    Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)

3.    Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah, obstruksi usus dan lain-lain

 

2

Syok Anafilaktik

1.    Antibiotic

Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol, polimixin, ampoterisin B

2.    Biologis

Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus, dan gamma globulin

3.    Makanan

Telur, susu, dan udang/kepiting

4.    Lain-lain

Gigitan binatang, anestesi local.

3

Syok Neurogenik

1.    Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis dengan quadriflegia atau para flegia)

2.    Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misal nyeri hebat

3.    Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan obat anestesi

4.    Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini terjadi pada orang yang pingan mendadak akibat gangguan emosional

4

Syok Sepsis

1.    Infeksi bakteri gram negative, misalnya: eschericia coli, klibselia pneumonia, enterobacter, serratia, proteus, dan providential.

2.    Kokus gram positif, misal: stafilokokus, enterokokus, dan streptokokus.

5

Syok Kardiogenik

1.    Aritmia

· Bradikardi / takikardi

2.    Gangguan fungsi miokard

·    Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan

·    Penyakit jantung arteriosklerotik

·    Miokardiopati

3.    Gangguan mekanis

·    Regurgitasi mitral/aorta

·    Rupture septum interventrikular

·    Aneurisma ventrikel massif

·    Obstruksi:

·  Out flow : stenosis atrium

· Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus.

 

 

D.   Patofisiologi

1.    Syok hipovolumik

Syok jenis ini dikenal pula sebagai syok preload yang ditandai denga menurunnya volume inravaskular karena perdarahan, dehidrasi, dan lain-lain. Menurunnya volume intravascular menyebabkan penurunan intraventrikel kiri pada akhir diastole yang akan diikuti oleh menurunnya curah jantung.

Kondisi ini secara fisiologis akan menimbulkan mekanisme kompensasi berupa vasokontriksi pembuluh darah oleh kotekolamin sehingga makin memperburuk perfusi ke jaringan tubuh.

2.    Syok anafilaktik

Ketika terjadi kontak dengan antigen makan akan terjadi reaksi enzim pada sel mast dan sel basophil sehingga menyebabkan lepasnya berbagai mediator seperti histamine, slo reacting substance of anaphylaxis, serotonin, dan kinin.

Pelepasan mediator-mediator tersebut menyebabkan dilatasi pembuluh darah, peningkatan permebilitas, perangsanga sekresi mucus, dan kontraksi otot bronkus.  Oleh karena itulah disamping mengalami penurunan darah yang cepat, juga disertai dengan gangguan pada sistem pernafasan

3.    Syok neurogenik

Cedera pada tulang belakang atau medulla spinalis menyebabkan kegagalan pada pusat  vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada vena perifer. Gagalnya pusat vasomotor akan diikuti dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak  diseluruh tubuh sehingga terjadi penurunan darah sistemik akibat vasodilatasi pembuluh darah perifer dan penurunan curah jantung

Selain karena cedera, rangsangan pada medulla spinalis juga bisa disebabkan oleh penggunaan obat ansestesi spinal. Sedangkan letupan rangang parasimpatis ke jantung dapat memperlambat denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis pada pembuluh darah. Proses ini terjadi katika seseorang mendapatkan rangsangan emosional yang sangat kuat, misal mendengar/menyaksikan sesuatu yang membuatnya sangat marah atau sedih.

4.    Syok sepsis

Syok ini disebabkan karena adanya sumber infeksi dalam tubuh terutama bakteri gram negatif. Endotoksin basil gram negative dapat menyebabkan  beberapa hal yaitu:

a.    vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer

b.    peningkatan permeabilitas kapiler.

Vasodilatasi perifer akan meningkatkan kapasitas vaskuler sehingga menyebabkan hipovolumia relative, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan hilangnya cairan intravascular ke interstitial dan menyebabkan udem. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan syok

Pada syok sepsis hipoksia sel, tidak terjadi karena adanya penurunan perfusi jaringan, melainkan karena ketidakmampuan sel menggunakan oksigen karena toksin kuman.

5.    Syok kardiogenik

Respon neurohormonal dan reflex adanya hipoksia akan menaikan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, serta kontraktilitas miokard. Kondisis diatas akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, sehingga makin memperburuk keadaan dimana sebelumnya perfusi miokard telah menurun.

Efek selanjutnya adalah penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, dan jika indeks jantung telah kurang dari 1,8 L/menit/m2 maka terjadilah syok kardiogenik tersebut.

E.   Manifestasi klinis

Manifestasi klinis pada semua jenis shock hampir sama, yaitu timbulnya tanda dan gejala sebagai berikut:

1.    sistem kardiovaskular

·      gangguan sirkulasi perifer: pucat, akral dingin, capillary refill lambat. dan penurunan tekanan darah

·      nadi cepat dan halus

·      tekanan darah rendah à tanda ini tidak bisa dijadikan pegangan karena terdapatnya mekanisme kompensasi hingga kehilangan darah 1/3 volume total.

·      Vena perifer kolap, dimana vena leher merupakan penilaian paling baik

·      CVP rendah.

2.    sistem respirasi

·      nafas cepat dan dangkal

3.    sistem saraf pusat

·      perubahan status mental pasien. Bila tekanan darah rendah makan akan menyebabkan hipoksia otak sehingga pasien tampak gelisah hingga kehilangan kesadaran.

4.    sistem gastrointestinal

·      kurangnya asupan oksigen ke saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa mual hingga muntah

5.    sistem perkemihn

·         produksi urin yang berkurang. Normal rata-rata produksi urin dewasa adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)

F.    Pemeriksaan Diagnostik

1.    Anamnesa

Beberapa hal penting yang perlu diketahui pada pasien baik dari keluarga maupun teman dekatnya, antara lain:

a.    Riwayat trauma

b.    Riwayat penyakit jantung

c.    Riwayat infeksi

d.    Riwayat pemakaian anafilaktik

2.    Pemeriksaan Fisik

a.    Kulit:

·         suhu dingin (hangat pada syok septic hanya bersifat sementara)

·         warna  pucat  (pada syok septi biasanya kemerahan, sedangkan pada syok kardiogenik biasanya sianosis)

·         basah, terjadi jika syok telah memasuki fase lanjutdan basah.

b.    Tekanan darah:

Hipotensi dengan sistol < 80 mmHg

c.    Jantung

Takikardi, denyut lemah, dan sulit diraba

d.    Respirasi

Respirasi meningkat dan dangkal  dan kemudian melambat

e.    Status mental

Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan, kesadaran menurun, spoor, dan koma.

f.     Ginjal

Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam

g.    Fungsi metabolic

·         Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan

·         Alkaliosis respirasi akibat takipneu

h.    Sirkulasi

Tekanan darah vena sentral menurun pada syok hipovolumik tetapi meninggi pada syok kardiogenik

i.      Keseimbangan asam basa

Pada awal syok, pO2 dan pCO2 menurun. Penurunan pCO2 karena adanya takipne, sedangkan penurunan pO2 karena adanya aliran pintas paru.

3.    Pemeriksaan penunjang

a.    Pemeriksaan darah: Hb, Hmt, Leukosit, dan golongan darah

b.    Kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, dan glukosa darah

c.    Analisa gas darah

d.    EKG

 

G.   Penanganan

Penanganan setiap jenis syok membutuhkan penghilangan penyebab utama syok tersebut. Misalnya pada syok anafilaktik maka perlu pembuangan antigen penyebab baik dengancara menghentikan pemberian agen, atau lewat obat-obatan untuk menghilangkan efek agen dengan cara memperbaiki tonus otot.

sedangkan pada syok sepsis maka perlu menghilangkan bakteri penyebab syok tersebut melalui pemberian obat-obatan antibiotic.  Selain itu memerlukan pemulihan hemodinamik dengan cara pemberian cairan berdasarkan perubahan fisiologis yang terjadi.

Selain penatalaksanaan umum pada syok terdapat pula penatalaksanaan khusus berupa pemberian agen-agen untuk memperbaiki hemodinamik pasien .

1.    Penatalaksanaan umum

a)    Segera baringkan panderita, dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk menaikan aliran balik vena. Usaha ini bertujuan untuk memperbaiki curah jantung dan menaikan tekanan darah

b)    Penilaian ABC  sebagai tahapan dari resusitasi jantung paru

·         Air ways à penilaian jalan nafas

Jaga agar jalan nafas tetap terbuka, pastikan tidak ada sumbatan. Jika pasien dalam kondisi tak sadar, posisikan kepala dan leher agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan nafas dengan cara melakukan ekstensi kepala

·         Breathing à penilaian status pernafasan

Memberikan bantuan nafas jika ada tanda-tanda pasien tidak mampu bernafas spontan, baik mouth to mouth, mouth to nose, atau dengan menggunakan alat bagging.

Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring maka diperlukan obat-obatan bronkodilator untuk mempertahankan jalan nafas terbuka.  Sedangkan penderita yang mengalami obstruksi jalan nafas total maka diperlukan tindakan intubasi segera melalui endotrakhe, krikotirotomi, atau trakeotomi.

·         Circulation

Jika tidak teraba nadi pada arteri besar (carotid, atau femoralis) maka segera lakukan kompresi jantung luar.

c)    Menghilangkan atau mengasi penyebab syok

2.    Penatalaksanaan khusus

a)    Vasopressor

Pemberian obat-obatan ini adalah setelah koreksi cairan dan ventilasi. Bila terjadi bradikardi, berikan terlebih dahulu isoproterenol untuk meningkatkan O2 miokard, sehingga dapat mencegah meluasnya infark miokard.

Yang termasuk agen vasopressor ini adalah noradrenalin, dopamine, dobutamin, dan pentolamin.

Noradrenalin diberikan sebanyak 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5%. Sedangkan pemberian dopamine dan dobutamin juga sangat dianjurkan untuk meningkatkan perfusi ginjal.

Dopamine mampu meningkatkan perfusi ginjal melalui stimulasi reseptor dopaminergik pada dosis 0,5-2 mcg/kgBB/menit. Sedangkan pada dosis 5-10 mcg/kgBB/menit akan menstimulasi reseptor beta yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot jantung. Akan tetapi jika melebihi 10 mcg/kgBB/menit maka ia akan menstimulasi reseptor alfa yang meningkatkan tahanan vascular sistemik sehingga memperburuk kondisi pada gagal jantung.

Dobutamin memberikan efek yang baik terhadap peningkatan curah jantung tanpa mempengaruhi tekanan darah. Sedangkan akibat lain yang ditimbulkan adalah penurunan tahanan sistemik, tekanan vena dan denyut jantung.

b)    Vasodilator

Obat-obatan ini terutama untuk syok kardiogenik dimana jantung mengalami kelemahan. Nitrogliserin digunakan dengan tujuan untuk mengurangi preload sehingga menurunkan beban jantung.

Na Nitrofusid digunakan untuk preload dan afterload dengan dosis 0,5-3 mcg/kgBB/menit. Selain itu terdapat juga captropil yang digunakan sebagai penurun preload dan afterload.

 

c)    Inotropik

Obat ini digunakan terutama pada pasien syok kardiogenik dengan tujuan untuk menurunkan aktivitas jantung yang berlebih, sehingga menurunkan kebutuhan oksigen miokard.

H. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang bisa ditegakan antara lain:

1.    Perfusi jaringan tidak efektif: serebral/perifer/ginjal/gastrointestinal bd hipovolume, kelemahan jantung

2.    Panurunan cardiac out put bd gangguan otot jantung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alfa. 2010. Nyeri dan Sebah Di Perut. Di akses dari : http://panmedical.wordpress.com/2010/01/14/nyeri-dan-sebah-di-perut-2/ [diakses tanggal 23 September 2010]

Baumann, Terry J.  and Jennifer Strickland. 2008. Pain Management. Dalam : L. Michael Posey (editor). Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach. New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Hal 989-1001.

Dharmayana, D. 2009. Tata Laksana Nyeri. Available at : http://malutpost.com/berita/index.php?option=com_content&task=view&id=110&Itemid=38 [diakses tanggal 22 September 2010]

Doenges Marilynn E .(2002). Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien) Edisi 3. Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo.(1997).Keperawatan Kritis Pendekatam Holistik. Jakarta : EGC.

Irman. 2007. Konsep Nyeri. Available at : http://irmanthea.blogspot.com/2007_07_15_archive.html [diakses tanggal 22 September 2010]

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku Dua Penerjemah : Dr. Dripa Sjabana. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi V. Bandung : ITB.

NANDA, Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2001-2002 , Philadelphia

Neal, M. J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis.  Edisi 5.  Jakarta : Erlangga.

Nettina, Sandra M. (2002). Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC.

Potter. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik.        Jakarta: EGC.

Price Sylvia A .(1995).Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar