BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan
listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau
vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan
kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak
yang terkena.
Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi
otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis),
penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan
sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik
bila tidak dapat ditemukan penyebabnya.
Epilepsi adalah gangguan yang ditandai dengan kejang yang
kronik, kejang yang terutama berasal dari serebri menunjukkan disfungsi otak
yang mendasarinya. Epilepsy sendiri bukan suatu penyakit
B.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu
memahami bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat sistem persarafan pada
pasien dengan kejang.
2.
Tujuan Khusus
Setelah membaca
makalah ini diharapkan:
a. Memahami seperti apa
asuhan keperawatan gawat darurat sistem persarafan pada pasien dengan kejang
b. Mampu membuat
pengkajian pada pasien dengan kejang
c. Mampu membuat
diagnosa pada pasien dengan kejang
d. Mampu membuat
perencanaan pada pasien dengan kejang
e. Mampu melaksanakan
implementasi pada pasien dengan kejang
f. Mampu menilai
evaluasi pada pasien dengan kejang
C.
Manfaat
1. Untuk mahasiswa:
diharapkan makalah ini bisa bermamfaat sebagai bahan pembanding dalam pembuatan
tugas serupa
2. Untuk tenaga
kesehatan: makalah ini bisa dijadikan bahan acuan untuk melakukan tindakan
asuhan keperawatan pada kasus yang serupa
3. Untuk instansi: agar
tercapainya tingkat kepuasan kerja yang optimal
4. Untuk masyarakat:
sebagai bahan informasiuntuk menambah pengetahuan kesehatan.
BAB II
PEMBAHSAN
A. Definisi
Kejang
merupakan
perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai mengakibatkan akibat dari aktivitas
neuronal yang abnormal
dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002)
Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik
yang involuntar yang merupakan serangan berkala, disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang tidak secara otomatis
berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah yang tegas :
manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan epilepsi. Tetanus,
histeri, dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan
kejang seluruh tubuh. Cedera kepala yang berat, radang otak, radang selaput
otak, gangguan elektrolit dalam darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi,
tumor otak, stroke, hipoksia, semuanya dapat menimbulkan kejang. Kecuali
tetanus, histeri, hal-hal yang tadi, kelak di kemudian hari dapat menimbulkan
epilepsi.
Spasme kuat
dengan kontraksi dan relaksasi otot yang silih berganti, yang disebabkan oleh
penyebab dari otak maupun diluar otak. Merupakan akibat dari pembebasan listrik
yang tidak terkontrol dari sel sel kortek cerebral yang ditandai dengan
serangan tiba tiba, terjadi penurunan kesadaran, aktifitas motorik atau ganguan
sensori.
B. Anatomi
Otak Dan Fisiologi
1.
Anatomi
a.
Otak
Gambar : 1
Otak adalah suatu alat tubuh yang
sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari syaraf
sentral yang terletak
di dalam rongga tengkorak (Kranium)
yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.
Bagian-bagian otak :
1)
Hipotalamus
merupakan bagian ujung depan diesenfalon yang terletak di bawah sulkus hipotalamik
dan di depan nucleus
interpundenkuler hipotalamus terbagi dalam berbagai inti dan daerah inti.
Terletak pada anterior dan inferior talamus berfungsi mengontrol dan mengatur
sistem syaraf autonom juga bekerja dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan
pengaturan
suhu tubuh melalui
peningkatan vasokontriksi atau vasodilatasi dan mempengaruhi sekresi hormonal
dengan kelenjar hipofisis,
juga sebagai pusat lapar dan mengontrol berat badan,
sebagai pengatur tidur, tekana n darah, perilaku agresif dan seksual dan pusat
respon emosional.
2)
Talamus
berada
pada
salah
satu
sisi
pada
sepertiga
ventrikel
dan
aktivitas primernya sebagai pusat
penyambung sensasi bau yang diterima
semua impuls
memori, sensasi dan nyeri melalui
bagian ini.
3)
Traktus Spinotalamus (serabut -serabut segera
menyilang kesisi yang berlawanan dan masuk ke medulla spinulis
dan naik). Bagian
ini bertugas mengirim
impuls nyeri dan temperatur ke talamus
dan kortek serebri.
4)
Kelenjar
Hipofisis
dianggap sebagai masker
kelenjar karena sejumlah hormon- hormon dan fungsinya diatur
oleh kelenjar ini. Hipofisis merupakan bagian otak yang
tiga kali lebih sering timbul tumor pada orang dewasa.
5)
Hipotesis Termostatik : mengajukan bahwa suhu tubuh diatas titik tersebut akan menghambat nafsu makan.
6)
Mekanisme
Aferen
: empat hipotesis utama tentang
mekanisme
aferen
yang terlibat dalam pengaturan masukan makanan telah diajukan,
dan keempat hipotesis
itu tidak ada hubunganya satu dengan yang lain.
b.
Fisiologi
Hipotalamus mempunyai fungsi sebagai pengaturan suhu tubuh dan untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh.
1)
Pirogen Endogen
Demam yang ditimbulkan oleh Sitokin mungkin
disebabkan oleh pelepasan
prostaglandin lokal di hipotalamus. Penyuntikan prostaglandin kedalam
hipotalamus menyebabkan demam. Selain itu efek
antipiretik aspirin bekerja langsung pada hipotalamus, dan aspirin menghambat
sintesis prostaglandin.
2)
Pengaturan Suhu
Dalam tubuh, panas dihasilkan
oleh gerakan otot, asimilasi makanan, dan
oleh semua proses vital yang
berperan dalam metabolisme basal. Panas dikeluarkan dari tubuh melalui radiasi, konduksi
(hantaran) dan
penguapan air disaluran
nafas dan kulit.
Keseimbangan pembentukan pengeluaran panas menentukan suhu tubuh, karena kecepatan reaksi-reaksi kimia
bervariasi sesuai dengan suhu dank arena
sistem enzim dalam tubuh memiliki
rentang suhu normal yang
sempit agar berfungsi optimal,
fungsi tubuh normal bergantung pada suhu yang relatif konstan (Price Sylvia A : 1995)
C.
Insiden
Sedikitnya kejang
terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia 5 tahun,
kebanyakan terjadi karena demam.
D.
Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk
tumor otak , truma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan
elektrolit dan gejala putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan, sabagian kejang merupakan idiopatuk ( tidak diketahui
etiologinya), (Mutaqqin, 2008).
E.
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel
atau organ otak diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glaukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan peraataraan
fungsi paru dan diteruskan
ke otak melalui system kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel
dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar
adalah ionic. Dalam
keadaan normal membrane sel
neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (NA+) dan elektrolit
lainnya,
kecuali
ion klorida
(Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan
diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel, maka terdapat perbedaan yang disebut potensial membrane
dari selneuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial
membrane ini dapat dirubah oleh adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan
demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubu, dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran
sel
neuron
dan
dalam
waktu
yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang
terjadi pada suhu 380C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu 400C atau lebih. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang
yang
rendah
sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang
demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada
kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen
dan
energi
untuk
kontraksi
otot
skelet
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktivitas
otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat
Rangkaian kejadian
diatas adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak
selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan
sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.(FKUI, 2007).
F.
Infeksi
bakteri virus dan parasit
Pathway
Reaksi inflamasi Proses demam hipertermia
G.
Klasifikasi
Kejang yang merupakan
pergerakan abnormal atau perubahan tonus b adan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
1.
Kejang Tonik
Kejang ini biasanya
terdapat pada
bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang
dari 34 minggu dan bayi dengan
komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai
yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk
dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat
karena infeksi selaput otak atau kernikterus
2.
Kejang Klonik
Kejang ini biasanya
terdapat pada
bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang
dari 34 minggu dan bayi dengan
komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai
yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk
dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat
karena infeksi selaput otak atau kernikterus
3. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi
dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang
dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda
kerusakan susunan saraf pusat yang luas
dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik
pada bayi tidak spesifik.(Lumbang Tebing, 1997)
H.
Manifestasi Klinik
1. Kejang parsial (
fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
1) Tanda – tanda motoris,
kedutan pada wajah,
atau salah satu sisi Tanda atau gejala otonomik: muntah,
berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
2) Gejala somatosensoris atau sensoris
khusus : mendengar
musik, merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
3) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
4)
Kejang tubuh; umumnya gerakan
setipa kejang sama.
b. Parsial kompleks
1) Terdapat
gangguan
kesadaran, walaupun pada awalnya
sebagai
kejang
parsial
2) simpleks
3) Dapat mencakup
otomatisme atau gerakan
otomatik : mengecap-ngecapkan
bibir,mengunyah,
gerakan menongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
4) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi
atau non konvulsi )
a. Kejang absens
1)
Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2)
Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya
berlangsung kurang dari 15 detik
3)
Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat
pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
4) Kehilangan kesadaran
hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali
dengan
kehilangan
kesadaran
dan
saat
tonik,
kaku
umum
pada
otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol
usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4)
Letargi, konvulsi,
dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilngnya
tonus
secara
mendadak
sehingga
dapat
menyebabkan
kelopak
mata turun,
kepala menunduk,atau jatuh ke
tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
I.
Komplikasi
Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat
pada orang tua, sebagian kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka panjang, kejang demam tidak mengakibatkan kerusakan
otak, keterbelakangan mental atau kesulitan
belajar / ataupun
epiksi Epilepsy pada
anak
di
artikan
sebagai
kejang
berulang
tanpa
adanya
demam
kecil kemungkinan epilepsy timbul se telah
kejng demam. Sekitar
2 – 4 anak kejang demam dapat menimbulkan epilepsy,
tetapi bukan karena kejang demam itu sendiri
kejang pertama kadang di alami
oleh anak dengan
epilepsy pada saat mereka mengalami demam. Namun
begitu antara 95 – 98 % anak yang mengalami kejang demam tidak menimbulkan epilepsy.
Komplikasi yang
paloing umum dari kejang demam adalah
adanya
kejang
demam berulang. Sekitar 33% anaka akan mengalami
kejang berulang jika ,ereka
demam kembali. Sekitar 33% anka akan mengalami kejang berulan g
jika
mereka
demam
kembali
resiko terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika
:
1.
Pada kejang yang pertama,
anak hanya mengalami
demam yang tidak terlalu tinggi
2.
Jarak
waktu antara mulainya demam dengan kejang yang sempit
3.
Ada faktor turunan dari ayah ibunya
Risiko yang akan dihadapi
seorang anak sesudah
menderita kejang demam tergantung dari
faktor:
1.
Riwayat penyakit
kejang tanpa demam dalam keluarga
2.
Kelainan
dalam
perkembangan
atau
kelainan
saraf
sebelum
anak
menderita
kejang demam.
3.
Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Namun begitu faktor terbesar
adanya kejang demam berulang
ini adalah usia. Semakin muda
usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin besar kemungkinan mengalami
kejang berulang
J.
Penyakit-penyakit yang Menyebabkan
Kejang
Penyakit-penyakit yang
menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi penyebab kejang
epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan dibahas
tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit
sistemik, tumor, trauma, infeksi, dan serebrovaskuler.
1.
Sistemik
Metabolik :
Hiponatremia, Hipernatremia,
a. Hiponatremia
Hiponatremia terjadi
bila :
1) Jumlah
asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi,
2) Ketidakmampuan
menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau
gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of Inappropriate
ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan kesadaran dan
kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ektrasel
masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai
hiponatremia akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya
ringan saja (mis : lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik
(hiponatremia asimptomatik).
3) Langkah
pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab terjadinya
hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi Na
berdasarkan kategori hiponatremia-nya.
b. Hipernatremia
Hipernatremia
terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang
dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar
maka volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan
lokal dan subarakhnoid.
Setelah
etiologi ditetapkan, maka langkah penatalaksanaan berikutnya ialah mencoba
menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus,
sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah
asupan Na berlebihan maka pemberian Na dihentikan.
2.
Tumor
Gangguan
kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi. Selain menempati ruang,
tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan setempat. Penimbunan katabolit
di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan otak bereaksi dengan menimbulkan
edema yang juga bisa diakibatkan penekanan pada vena sehingga terjadi stasis.
Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga terjadi penimbunan juga meningkatkan
tekanan intrakranial.
3.
Trauma
Kejang
dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat
edem otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan
fenitoin 15 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi
50 mg/menit.
4.
Infeksi
Infeksi
pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema
epidural, subdural, atau abses otak. Klasifikasi lain membahas menurut jenis
kuman yang mencakup sekaligus diagnosa kausal
a. Infeksi
viral
b. Infeksi
bakterial
c. Infeksi
spiroketal
d. Infeksi
fungal
e. Infeksi
protozoal
f. Infeksi
metazoal
5.
Serebrovaskuler
Stroke
mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak.
Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. CVA (Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan
secara sinonim untuk stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada
stroke hemoragik maupun strok non-hemoragik.
Stroke
sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskuler serebral dapat
dibagi dalam :
a. Transient
ischemic attack,
b. Stroke
in evolution,
c. Completed
stroke, yang bisa dibagi menjadi tipe hemoragik dan tipe non
d. hemoragik
K.
Uji Laboratorium dan Diagnostik
1.
Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu
menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
2.
Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih
sensitif dri biasanya
untuk mendeteksi perbedaan
kerapatan jaringan.
3.
Magneti
resonance
imaging ( MRI
) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT
4.
Pemindaian positron emission tomography
( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak
5. Uji laboratorium
a.
Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b.
Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit
dan hematokrit c. Panel elektrolit
c.
Skrining toksik dari serum dan urin
d.
GDA
e.
Kadar kalsium darah
f.
Kadar natrium darah
g.
Kadar magnesium
darah
L. Penatalaksanaan
1. Pengobatan fase akut
Dalam penanganan kejang demam, orang tua
harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengobservasi
anak.
Beberapa
hal
yang harus di perhatikan adalah sebagai berikut
a. Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan
posisi menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda
apapun
dalam
mulut
sianak seperti sendok
atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan nafas.
c. Jangan memegangi
anak untuk melawan kejang.
d.
Sebagian besar kejang berlangsung singkat & dan tidak memerlukan penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut
selama 10 menit, anak harus segera di bawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber
lain
menganjurkan
anak untuk di bawa
ke fasilitas
kesehatan jika kejang masih berlanjut
setelah 5 menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik di lakukan
secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit.
f. Setelah kejang
berakhir ( jika < 10 menit ), anak perlu di bawa menemui dokter untuk meneliti
sumber demam, terutama
jika ada kakakuan leher, muntah-muntah yang berat,atau anak terus tampak lemas.
Jika anak di bawa kefasilitas kesehatan , penanganan yang akan di lakukan selain point-point di atas adalah sebagai berikut :
a.
Memastikan jalan nafas anak tidak tersumbat
b.
Pemberian oksigen melalui face mask
c.
Pemberian diazepam 0.5 mg /kg berat
badan
per rectal (melalui) atau jika terpasang selang infuse 0.2 mg / kg per infuse.
d.
Pengawasan tanda-tanda depresi pernafasan
Berikut ini table dosis diazepam
yang di berikan :
Usia |
Dosis
IV (infuse) (0,2 mg/kg) |
Dosis per rectal ( 0.5 mg / kg ) |
<
1 tahun |
1-2
mg |
2.5 – 5 mg |
1 – 5 tahun |
3
mg |
7.5
Mg |
5-10
tahun |
5 mg |
10 mg |
>10 tahun |
5-10 mg |
10 – 15 mg |
Jika kejang masih berlanjut :
a. Pemberian diazepam 0.2 mg / kg per
infuse diulangi. Jika belum terpasang
selang infuse 0.5 mg / kg per rectal
b. Pengawasan tanda – tanda depresi pernapasan .
c. Pemberian fenobarbital 20 – 30 mg / kg per infuse dalam
30 menit atau fenitoin 15-40 mg / kg per infuse dalam 30 menit .
d. Pemberian Fenitoin
hendaknya di sertai dengan monitor EKG (rekam jantung)
Jika kejang masih berlajut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan intensif dengan thiopentone, dan alat bantu pernafasan.
M.
Terapi
Kejang
Penanganan
kejang secara modern bermula dari tahun 1850 dengan pemberian Bromida, dengan
dasar teori bahwa epilepsi disebabkan oleh suatu dorongan sex yang berlebih.
Pada tahun 1910, kemudian digunakan Fenobarbital yang awalnya dipakai untuk
menginduksi tidur, kemudian diketahui mempunyai efek antikonvulsan dan menjadi
obat pilihan selama bertahun-tahun. Sejumlah obat lain yang juga digunakan
sebagai pengganti Fenobarbital termasuk Pirimidone, dan Fenitoin yang kemudian
menjadi first line drug epilepsi utama untuk penanganan kejang parsial dan
generalisata sekunder.
Pada
tahun 1968, Karbamazepin awalnya digunakan untuk neuralgia trigeminal, kemudian
pada tahun 1974 digunakan untuk kejang parsial. Etosuksimid telah digunakan
sejak 1958 sebagai obat utama untuk penanganan absence seizures tanpa kejang
tonik klonik generalisata.
Valproate
mulai digunakan 1960 dan saat ini sudah tersedia di seluruh dunia dan menjadi
drug of choice pada epilepsy primer generalisata dan kejang parsial.
1. Fenobarbital
Merupakan
obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah,
murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis
untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat
terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan
fokal kortikal.
2. Primidon
Efektif
untuk semua jenis epilepsy kecuali absence. Efek antikonvulsi ditimbulkan oleh
primidon dan metabolit aktifnya.
3. Hidantoin
Yang
termasuk dalamm golongan ini adalah fenitoin, mefenitoin dan etotoin. Fenitoin : Fenitoin
adalah obat primer untuk semua bangkitan parsial dan bangkitan tonik-klonik,
kecuali bangkitan absence (absence seizure). Fenitoin tidak sedative pada dosis
biasa. Berbeda dengan fenobarbital, obat ini juga efektif pada beberapa kasus
epilepsy lobus temporalis.
4. Karbamazepine
Termasuk
dalam golongan iminostilbenes. Manfaat terapeutik ialah untuk Epilepsi lobus
temporalis, sendiri atau kombinasi dengan bangkitan generalisata tonik-klonik
(GTCS).
5. Etosuksimid
Obat
ini dipakai untuk bangkitan absence. Efek antikonvulsi pada binatang sama
halnya dengan trimetadion. Proteksi terhadap pentilentetrazol, akan menaikkan
nilai ambang serangan. Manfaat terapeutik ialah terhadap bengkitan absence.
6. Asam
valproat (Valproic acid)
Asam
valproat dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkitan. Efek sedasinya
minimal, efek terhadap SSP lain juga minimal. Terhadap Pentilen tetrazol,
potensi asam valproat lebih besar daripada etosuksimid, tapi lebih kecil pada
fenobarbital. Asam valproat lebih bermanfaat untuk bangkitan absence daripada
terhadap bangkitan umum tonik-klonik.
N.
Prognosis
Kejang
adalah suatu masalah neurologik yang relative sering dijupai. Sekitar 10%
populasi akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur hidup mereka,
dengan insiden paling tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan lanjut usia
(setelah usia 60 tahun), dan 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosa mengidap epilepsi
(berdasarkan kriteria dua kali kejang tanpa pemicu)
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1. Pengkajian umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
2. Pengkajian kesadaran
Pada kasus kejang demam
kesadaranya adalah antara Unrespon sebab klien tidak sadar terhadap penyakitnya.
3. Penggolongan Triage
Kasus ini adalah emergensi karena
dapat mengancam jiwa dan akan mati tanpa tindakan dalam 0 menit Untuk itu maka kejang termasuk dalam P1
(Urgent)
4. Pengkajian
Primer
a. Airway (
jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang dihantarkan
ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh Hipotalamus
menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang terlalu tinggi
merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga jaringan
otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada anggota gerak
tubuh. wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak terkendali
selama beberapa waktu. Gejala ini hanya
berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila
terjadi kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah
lalu menyumbat saluran pernapasan.
Tindakan
yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi
isi lambung
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen.
Evaluasi :
1) Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
2) Jalan nafas bersih dari sumbatan
3) RR dalam batas normal
4) Suara nafas vesikuler
b. Breathing (pola
nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15 menit
biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk
kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
Tindakan
yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan
secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15
menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang
sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang
diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
2) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
Evaluasi :
1) RR dalam batas normal
2) Tidak terjadi asfiksia
3) Tidak terjadi hipoxia
c. Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang
dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang
demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga
terjadi epilepsi
Tindakan
yang dilakukan :
1) Mengatasi
kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan
secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15
menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang
sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan
kejang akan berhenti. Bila
belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara
intravena.
2) Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
a) Semua
pakaian ketat dibuka
b) Posisi
kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
c) UsahakaN agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
d) Pengisapan
lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
1) Tidak terjadi gangguan peredaran darah
2) Tidak terjadi hipoxia
3) Tidak terjadi kejang
4) RR dalam batas normal
5. Pengkajian sekunder
·
S
(sign and symptom) : terdapat robekan pada luka, distensi, ketegangan pada
daerah yang terken gigitan
·
A
(allergies) : kaji apakah pasien ada riwayat alergi.
·
M
(Medication) : kaji riwayat pengobatanya pasien.
·
P
(Pentinant past medical histori) : kaji riwayat penyakit dahulu pasien.
·
L
(Last oral intake solid liquid) : kaji kejadian sebelum
·
E
(Event leading to injuri ilmes)
a.
Pemeriksaan
fisik
1)
Kepala
dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
2)
Thoraks
Pada
klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
3)
Ekstermitas
Keletihan,,
kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan
involunter/kontraksi otot
4)
Eliminasi
Peningkatan
tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi inkontinensia
(urine/fekal) akibat otot relaksasi
5)
Sistem
pencernaan
Sensitivitas
terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang,
kerusakan jaringan lunak
B.
Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1.
Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan
2.
Devisit volume cairan berhubungan dengan output berlebihan (dehidrasi)
3.
Risiko terjadi kerusakn sel otak berhubungan dengn kejang
4.
Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang
5.
Risiko kurang nutrisi berhubungan dengan anoreksia
6.
Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
C.
Intervensi
Dx1 : Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan |
|
Tujuan : Yang diharapkan adalah setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan hipertermi tidak terjadi Kriteria Hasil : suhu tubuh normal ( 360c – 370c), klien
bebas
dari
demam (Efendi,1995) |
|
Interverensi |
Rasional |
Beri kompres
hangat |
Dapat membantu mengurangi demam |
Beri dan
anjurkan klien
banyak
minum |
Semakin banyak
minum akan dapat
antu menurunkan demam |
anjurkan klien
istirahat dengan tirah |
Istirahat yang
baik
akan
dapat
sedikit membantu penyembuhan |
Anjurkan klien untuk memakai pakaian tipis dan menyerap
keringat |
Pakaian yang tipis
akan memudahkan sirkulasi dalam dan luar tubuh |
Ciptakan
suasana
yang
nyaman (atur ventilasi) |
Suhu ruangan harus
diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal |
Dx2 : Devisit volume cairan berhubungan dengan output berlebihan (dehidrasi ) |
|
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan devisit voleme cairan
tidak terjadi Kriteria Hasil : menunjukkan keseimbangan cairan, tanda-tanda vital dalam batas normal |
|
Interverensi |
Rasional |
kaji perubahan tanda- tanda vital |
peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatnya laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi |
kaji turgor kelembapan membrane mukosa ( bibir dan lidah ) |
Indikator langsung keadekuatan voleme cairan meskipun membran
mukosa mulut mungkin kering karena
napas mulut dan oksigen tambahan. |
catat laporan mual atau
muntah |
adanya gejala ini menurunkan masukan oral |
pantau masukan dan haluaran |
memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan pengganti |
tekankan cairan sedikitnya 2500 ml/hari atau sesuai kondisi individual. |
pemenuhan kebutuhan dasar cairan, menurunkan risiko
dehidrasi |
Dx3 : Risiko terjadi kerusakan sel otak berhubungan dengan kejng (Ngastiyah, 1997, hal:236) |
|
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan sel otak, tidak terjadi komplikasi Kriteria hasil: Tidak ada tanda-tanda kejang,
peredaran darah lancar, suplai oksigen lancar, tidak ada tanda-tanda apnue. |
|
Intervensi |
Rasional |
Bila terjadi kejang,
tidurkan
pasien ditempat yang
rata, miringkan
kepala |
Diharapkan sistem
pernpasan tidak terjadi gangguan ataupun sumbatan |
Pasang sudip lidah |
Agar lidah tidak tergigit atau lidah menutup jalan napas |
Longgarkan pakaian yang mengikat |
Proses inspirasi dan
ekspirasi dapat maksimal dan dapat memberikan rasa nyaman pada pasien |
Isap lendir sesuai indikasi |
Melonggarkan pernapasan dan mencegah terjadinya aspirasi |
Berikan oksigen |
Diharapkan dapat memenuhi kebutuhan oksigen diseluruh jaringan |
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti kejang |
Diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan dan juga dengan memantau efek samping secara dini jika
timbul efek samping |
Dx4 : Risiko injuri berhubungan dengan
kejang (suriadi,2001,hal:52) |
|
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan resiko injuri tidak
terjadi Keriteria hasil : Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan
pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan |
|
Intervensi |
Rasional |
Hindarkan anak
dari benda-bendayang membahayakan |
Tindakan ini dapat membantu menurunkan injuri |
Gunakan alat pengaman |
dapat melindungi klien
dari
bahaya injuri |
Bila terjadi kejang, pasang sudip Lidah |
Agar lidah tidak
tergigit
atau
lidah menutup jalan napas. |
Kolaborasi pemberian obat anti
kejang |
Diharapkan dapat mempercepat proses
penyembuhan dan juga dengan memantau efek
samping secara dini jika timbul efek samping |
Dx5 : Risiko kekurangan nutrisi berhubungan dengan anoreksia ( carpenito, 1999, hal:259) |
|
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan risiko kekurangan nutrisi tidak terjadi Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan nafsu
makan, mempertahankan atau
meningkatkan berat badan |
|
Intervensi |
Rasional |
Identifikasi faktor
penyebab mual atau
muntah |
Pilihan
intervensi
tergantung
pada penyebab masalah |
Auskultasi bunyi
usus.
Observasi
atau palpasi distensi
abdomen |
Bunyi usus mungkin
menurun
atau tidak ada bila proses infeksi
berat atau memanjang. Distensi
abdomen terjadi sebagai akibaat
menelan
udara |
Pertahankan atau tingkatkan oral higine |
Kondisi mulut
yang
baik
dapat meningkatkan nafsu makan |
Berikan porsi kecil tapi sering |
tindakan
ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk
kembali |
Ukur berat badan dasar |
adanya kondisi
kronis rendahnya tahanan
terhadap infeksi |
Dx6 : Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan
kurangnya informasi (Doenges,1999) |
|
Tujuan : Setelah dilakukan keperawatan, pengetahuan keluarga meningkat. Kriteria hasil
: - Keluarga
mengerti proses penyakit kejang demam - Keluarga kooperatif - Keluarga berperan serta dalam proses perawatan klien |
|
Intervensi |
Rasional |
Kaji tingkat pendidikan klien/keluarga |
Mempengaruhi proses terhadap penerimaan materi pengetahuan |
Kaji tingkat pengetahuan keluarga/klien |
Menentukan pilihan
intervensi yang tepat
dalam penyampaian |
Lakukan pendidikan kesehatan tentang kejang demam pada keluarga
klien |
Memberikan informasi yang adekuat,
meningkatkan peran serta keluarga dalam perawatan klien |
Beri kesempatan keluarga untuk bertanya |
Mengetahui sejauh mana
intervensi berhasil dilakukan |
Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien |
Masalah kesehatan kesehatan pada anak melibatkan
peranan orang
mempersiapkan perawatan klien
ketika dirumah |
D.
Implementasi
Sesuai dengan intervensi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kejang
adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan
berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara
berlebihan. Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian
perlu ditarik garis pemisah yang tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula
kejang yang bukan epilepsi. Tetanus, histeri, dan kejang demam bukanlah
epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh tubuh. Cedera kepala
yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan elektrolit dalam darah,
kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia, semuanya
dapat menimbulkan kejang. Kecuali tetanus, histeri, hal-hal yang tadi, kelak di
kemudian hari dapat menimbulkan epilepsi.
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk
tumor otak, truma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan
elektrolit dan gejala putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan, sabagian kejang merupakan idiopatuk ( tidak diketahui
etiologinya).
B.
Saran
Setelah
membaca makalah ini diharapkan:
1.
Untuk mahasiswa: diharapkan makalah ini
bisa bermamfaat sebagai bahan pembanding dalam pembuatan tugas serupa
2.
Untuk tenaga kesehatan: makalah ini bisa
dijadikan bahan acuan untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan pada kasus
yang serupa
3.
Untuk instansi: agar tercapainya tingkat
kepuasan kerja yang optimal
4.
Untuk masyarakat: sebagai bahan
informasiuntuk menambah pengetahuan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono, Mahar, Prof. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat.
Jakarta: 2006
Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways. Second
Edition. FKUI. Jakarta: 2009.
Dewanto, George, dkk.
Panduan Praktis Diangnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. EGC. Jakarta: 2009.
Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2010. Buku Kuliah Dua Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Percetakan Info Medika Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar