KONSEP
LUKA
A.
Pengertian
Luka adalah suatu gangguan
dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit,
mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa
efek akan muncul :
1. Hilangnya
seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon
stres simpatis
3. Perdarahan
dan pembekuan darah
4. Kontaminasi
bakteri
5. Kematian
sel
Luka
memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:
1. Luka
memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi dan proliferasi)
2. Pada
minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling
3. Luka
memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam beberapa minggu
setelahnya
4. Kekuatan
terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
5. Kekuatan
maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007)
B. Jenis luka
Luka dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu :
1. Berdasarkan
waktu penyembuhan luka
a. Luka
akut, yaitu luka dengan
masa penyembuhan sesuai dengan proses
penyembuhan.
b. Luka
kronis, yaitu luka yang mengalami
kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
2. Berdasarkan
proses terjadinya
a. Luka insisi (Incised
wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam dan kerusakan
sangat minimal. Misal,
yang terjadi akibat pembedahan.
b. Luka
memar (Contusion Wound), terjadi
akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada
jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
c. Luka
lecet (Abraded Wound), terjadi akibat
kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka
tusuk (Punctured Wound), terjadi
akibat adanya benda seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan
diameter yang kecil.
e. Luka
gores (Lacerated Wound), terjadi jika
kekuatan trauma melebihi kekuatan regang jaringan.
f. Luka
tembus (Penetrating Wound), yaitu
luka yang menembus organ tubuh.
Biasanya pada bagian awal masuk luka diameternya kecil, tetapi pada bagian ujung luka biasanya akan melebar (Samper ,2007;
libby, 2011).
g. Luka
Bakar (Combustio), merupakan
kerusakan kulit tubuh yang disebabkan oleh api, atau penyebab lain seperti oleh
air panas, radiasi, listrik dan bahan kimia. Kerusakan dapat menyertakan
jaringan bawah kulit (Julia, 2000; Sudjatmiko, 2010).
3. Berdasarkan
Derajat Kontaminasi
a. Luka
bersih (Clean Wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak terjadi proses peradangan
(inflamasi) dan infeksi, dan kulit
disekitar luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup.
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds), merupakan luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c. Luka terkontaminasi
(Contamined Wounds), yaitu luka terbuka kurang dari empat jam, dengan tanda
inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% – 17%.
d. Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds),
yaitu luka terbuka lebih dari empat jam
dengan tanda infeksi di kulit sekitar
luka, terlihat pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.
C. Penutupan
luka
Tujuan
utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas kulit sehingga
mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan fungsi (Monaco and Lawrence, 2003). Proses penutupan
pada luka terbagi menjadi 3 kategori,
tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada
luka (David, 2004).
1. Penutupan
luka primer (Intensi Primer)
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem
terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan.
Luka dibuat secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan penutupan dengan baik
seperti dengan penjahitan.
Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak
dan pembentukan jaringan parut minimal. Parutan yang terjadi biasanya lebih
halus dan kecil (David, 2004).
2. Penutupan
luka sekunder (Intensi Sekunder)
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan
dari luar akan berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan
kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder
atau sanatio per secundam
intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu cukup lama dan meninggalkan parut
yang kurang baik, terutama jika lukanya
terbuka lebar (Mallefet and Dweck,
2008).
3. Penutupan
luka primer tertunda (Intensi Tersier)
Penjahitan
luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi berat atau
tidak berbatas tegas. Luka yang tidak
berbatas tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang
pada pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit dan dibiarkan
sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan primer tertunda.
Selain
itu, jika luka baik yang belum dijahit,
atau jahitan terlepas
dan kemudian dijahit
kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan tersambungkan. Hal ini mengakibatkan
jaringan parut yang lebih dalam dan luas dibandingkan dengan penyembuhan primer
(Diegelmann and Evans, 2004).
Gambar
1. Macam-macam
proses penutupan luka
D.
Teknik Pembalutan Luka
1. Jenis
Pembalut/Perban
a. Perban
segi tiga (Mitella)
b. Perban
pita (Zwachtel)
c.
Plester
2. Tujuan
Membalut/Perban
a.
Menutupi bagian yang cedera
dari udara, cahaya, debu dan kuman
b.
Menopang yang cedera
c.
Menahan dalam suatu sikap
tertentu
d.
Menekan
e.
Menarik
3. Bahan
Untuk Perban
Bahan
yang diperlukan untuk membalut, antara lain salep, bubuk luka, plester, bahan
penyerap (kasa atau kapas), kertas tissue, bahan tidak mudah menyerap (kertas
khusus, kain taf, sutera), bahan elastis (spons, kapas).
4. Jenis
– jenis Pembalutan
a.
Perban segi tiga
(Mitella)Perban segi tiga dibuat dari kain belacu atau kain muslin, perbannya
dibuat segitiga sama kaki yang puncaknya bersudut 900 . Panjang dasar segitiga
kira-kira 125 cm dan kedua kakinya masing-masing 90 cm. Buatlah terlebih dahulu
kain segi empat dengan sisi 90 cm lalu lipat dua atau digunting pada garis diagnonalnya.
b.
Balut segi tiga untuk
kepalaUntuk luka kepala dapat dipakai perban segi tiga. Dasar segi tiga dilipat
selebar 5 cm 2 kali. Letakkan bagian tengah lipatan itu diatas dahi. Bagian
yang mengandung lipatan diletakkan sebelah luar. Ujung puncak segi tiga ditarik
ke belakang kepala sehingga puncak kepala tertutup kain segi tiga. Kedua ujung
lipatan tadi dililitkan ke belakang kepala lalu kembali ke dahi dan dibuat
simpul di dahi.
c.
Balut segi tiga untuk
bahuGuntingan ujung puncak segitiga tegak lurus pada dasar sepanjang 25 cm.
Kedua ujung yang baru dibuat dililitkan secara longgar ke leher, lalu diikat ke
belakang. Dasar segi tiga ditarik sehingga bagian bahu yang cedera tertutup.
Lalu kedua ujung dasar segi tiga dililitkan ke lengan dan diikat.
d.
Balut segi tiga untuk
dadaGunting puncak segitiga tegak lurus pada dasarnya sepanjang 25 cm. Ikatlah
kedua ujung puncak itu secara longgar dibelakang leher, sehingga dasar segi
tiga berada di depan dada. Lipatlah dasar segi tiga beberapa kali sesuai dengan
kebutuhan lalu ujung dasar tadi diikat di punggung.
e.
Balut segi tiga untuk
pantatGunting puncak segi tiga tegak lurus pada dasar sepanjang 25 cm. Ikatlah
kedua ujung puncak itu melingkari paha yang cedera. Buatlah beberapa lipatan
pada dasar segi tiga, lalu kedua ujungnya diikatkan melingkar di pinggang.
f.
Balut segi tiga untuk
tanganBila seluruh telapak tangan akan dibalut, dapat dipakai perban segi tiga.
Letakkan dasar segitiga pada telapak tangan. Ujung puncak segitiga di lilitkan
ke punggung tangan, sehingga seluruh jari – jari tertutup, lalu kedua ujung
dasar segi tiga dililitkan beberapa kali pada pergelangan tangan dan diikat.
Bila segi tiga terlalu besar, buatlah beberapa lipatan pada dasar segi tiga.
5. Cara
Membuka Pembalut/Perban
Buka
simpul perban, bila sulit, gunting saja. Tangan kanan memegang ujung perban.
Bukalah gulungan dengan memindahkan perban itu ke kiri, lalu kembali lagi ke
kanan dan ke kiri lagi. Begitu seterusnya sampai seluruh pembalut terlepas.
Untuk membuka perban kotor pergunakan 2 buah pinset. Bila perban itu telah
kotor atau tidak ingin dipakai lagi, lebih baik digunting dengan memakai
gunting perban. Dengan demikian, perban lebih cepat terlepas.
6. Jenis
– Jenis Perban Menurut Bahannya
a.
Perban kasa dibuat dari
benang yang dianyam jarang – jarang, sering dipakai untuk membalut pada anggota
badan.
b.
Perban planel :Kain berbulu
dipakai sebagai perban penekan pada pertolongan pertama.
c.
Perban kambrik:Terbuat dari
benang kasar pemakaian-nya sama dengan kasa.
d.
Perban trikot :Sering
dipakai untuk membuat perban ransel.
e.
Perban katun dan
linen:Dipakai dalam keadaan darurat, sebagai pembalut, penekan dan penarik
f.
Perban elastis:Dipakai untuk
balutan penekan pada keseleo atau salah urat (luksasio dan sprain) atau untuk
membalut anggota gerak yang telah diamputasi.
g.
Perban cepat:Dipakai untuk
pertolongan pertama pada kecelakaan, dalam peperangan pada luka tembak atau
patah terbuka.
h.
Perban gips
7. Cara
– cara Membalut
Cara – cara khusus membalut
perban kepalaa. Verban kepala fasela galenikaCara memakainya adalah sebagai
berikut :
a.
Letakkan kain persegi itu
diatas kepala dengan kedua ujung mengarah ke masing – masing telinga.Ikatkanlah
dengan peniti atau plester pita tengah dibawah dagu. Pita depan diikat ke
belakang kepala, sedangkan pita belakang diikat ke dahi.
b.
Perban pita untuk membalut
kepala dengan cara mempersatukan (Fascia Union).Perban yang dipakai dapat yang
berkepala satu maupun yang berkepala dua. Dipakai untuk luka disamping kepala.
Cara fascia union ini sangat merosot sehingga sekarang tidak dipakai lagi.
c.
Perban kepala cara Fascia
sagitalisPerban kepala cara sagitalis memakai pembalut berkepala tiga atau
disebut juga perban
E.
Fase penyembuhan luka
Setiap
proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan
berkesinambungan,
serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya
perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:
1. Fase
Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and
Neumeister, 2006)
Fase
hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang
terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel
mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya
proses penyembuhan.
Pada
awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet
yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot)
dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh
darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi
penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya
berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya
substansi vasodilator :
histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema jaringan
dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri
di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag
yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses
penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah (MacKay
and Miller, 2003):
a. Sintesa kolagen
b. Membentuk jaringan granulasi bersama
dengan fibroblast
c. Memproduksi growth factor yang
berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau
angiogenesis
Dengan
berhasil dicapainya
luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta terbentuknya makrofag dan
fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter bahwa fase
inflamasi ditandai dengan adanya eritema,
hangat pada kulit, edema,
dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
Gambar
2. Fase Hemostasis
dan Inflamasi (Mallefet and Dweck,
2008)
2.
Fase
Proliferasi (Fase Fibroplasia)
Fase
proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol adalah proses proliferasi
fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira
akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin
yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka
(Diegelmann and Evans, 2004).
Proses
kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan
luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast sangat besar pada
proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk
struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada
jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat
jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi
luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah
luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa
substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans)
yang berperan dalam membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi
kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan
dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag,
pembuluh darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat
memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di
dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia.
Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah (MacKay
and Miller, 2003):
a.
Proliferasi
b.
Migrasi
c.
Deposit jaringan matriks
d.
Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh
kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan
(radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh
karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi
kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang
cukup di daerah luka,
karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses
terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan
makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah
epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan keratinocyte
growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal.
Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang
menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan
lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan
jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai
kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih
menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal
(David, 2004; Monaco and Lawrence,
2003).
Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)
3.
Fase
Remodelling
Fase
ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih
12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah menyempurnakan terbentuknya
jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan berkualitas.
Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari
jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut
akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen
yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase
remodelling. Selain
pembentukan kolagen,
juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada
fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih
kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk
mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang
diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi
penebalan jaringan parut atau hypertrophic
scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak
mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan
luka sama bagi setiap penderita, namun outcome
atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing
individu, lokasi,
serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet and
Dweck, 2008; Schwartz and
Neumeister, 2006).
Gambar
4. Fase Remodelling
(Mallefet and Dweck, 2008)
Gambar
5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat,
penyembuhan berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang
tindih: (1) fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling.
Stress dapat mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur
kekebalan tubuh dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran
interaktif glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6,
TNF-α, dan IL-10). Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan
yang penting untuk penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1),
kemokin CC ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1
alpha (MIP -lα), faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah faktor
pertumbuhan-β (TNF-β), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan
platelet-derived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)
F. Penyembuhan
Luka Pada Janin
Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa
parut, hal ini terbatas pada dua trimester pertama. Banyak aspek jaringan pada janin dan
lingkungan yang dapat berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut, yaitu :
1. Lingkungan
bayi (cairan amnion) steril
2. Cairan
amnion mengandung faktor pertumbuhan dan molekul matriks ekstra sel
3. Fase
inflamasi minimal, makrofag diduga sebagai sel pengorganisasi utama pada proses
penyembuhan fetus
4. Faktor
pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus, meski maknanya tidak diketahui
5. Elevasi
dari molekul yang terlibat dalam morphogenesis dan pertumbuhan kulit
Penyembuhan
luka tanpa parut pada janin ditunjukkan dengan berkurangnya level TGF-β1,
TGF-β2, dan PDGF serta elevasi dari TGF-β3 (molekul morphogenesis kulit).
(Metcalfe AD and Ferguson MWJ, 2007)
G.
Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu
1. Kulit
Fase
penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait dan overlap:
inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal pertama yang terjadi
setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui peran sel-sel inflamasi.
Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah neutrofil. Sel-sel inflamasi akan
secara masiv menginfiltrasi luka pada 24 jam pertama setelah cedera. Neutrofil
akan memasuki tahap apoptosis segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian
mengeluarkan sitokin selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin
tersebut berperan dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan luka 2
hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses
selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru. Proses reepitelisasi ini
dimulai beberapa jam setelah formasi luka terbentuk. Keratinosit dari tepi luka
akan bermigrasi melintasi wound bed
pada permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini difasilitasi
oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel epidermal untuk
mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv akan terjadi seiring
kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan untuk penyembuhan luka.
Kemudian beberapa dari fibroblast akan berdiferensiasi menjadi miofibroblas.
Sel kontraktile ini akan membantu menyambung jarak antar tepi luka. Disaat
bersamaan growth factors yang diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan proliferasi dan
diferensiasi sel epitelial memperbaiki integritas barier epitel.
Fase
terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis miofibroblas, sel
endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi involusi bertahap dari
jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit (Modero and Khosrotehrani,
2010).
2. Fase
Penyembuhan Pada Tulang
Penyembuhan
fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang komplek dan proses regenerasi
unik dalam mengembalikan fungsi dan bentuk tulang.
Proses
penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan didominasi oleh fase
pembentukan formasi tulang. Selama fase penyembuhan, kalus eksternal terbatas
pada kapsula fibrosa yang tersusun oleh jaringan granulasi yang tidak
beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut ditandai invasi invasi sel mesenkimal
yang berdiferensiasi menjadi kondrosit untuk pembentukan tulang rawan dan
osteoblast untuk pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan hematoma
selanjutnya akan digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe I akan
meningkat sampai 5 hari setelah fraktur,
tetapi kolagen tipe III adalah yang dominan dalam menyusun jaringan.
Fase
reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang intramembran dari
regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi pembuluh darah dan
pertumbuhan kalus, dimana
puncak pertumbuhannya biasa ditemukan hari 14 setelah
fraktur.
Fase
remodelling ditandai terbentuknya
formasi endochondral trabekular yang dihubungkan dengan osteoblast dan
TRAP-positive settlement pada rongga sumsum tulang, penyatuan fragmen dan regenerasi celah sumsum tulang. Hal ini sesuai dengan
data percobaan dari model percobaan fraktur pada kelinci yang menunjukkan
peningkatan jumlah tulang trabekular dengan penyusun dominannya kolagen tipe I,
sedang kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah puasat dari
trabekula. Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar (Coulibaly et al, 2010).
H.
Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat
terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri (endogen) dan oleh penyebab
dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi
yang disebut koagulopati, dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan
sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan
kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis dan merusak
sel dengan akibat dini maupun lanjut. Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya
setelah transplantasi organ, dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat seperti infeksi,
hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
I.
Perawatan Luka
Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan
bahwa lingkungan luka yang
lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka yang
ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal
pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering.
Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat
infeksi pada semua jenis balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 %
pada balutan kering. Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat
luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka
dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan
bagi perkembangan balutan lembab.
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berdasarkan
kebiasaan melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka.
Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja, karena efek
toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan normal
saline. Citotoxic agent seperti povidine iodine, dan asam
asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka, karena dapat
menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris
dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium
klorida dengan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. Tepi luka
seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka
ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu.
Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley,
2000; Julia, 2000):
1. Memberikan
lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi
drainase
3. Menekan dan
imobilisasi luka
4. Mencegah
luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah
luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan
hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa
nyaman mental dan fisik pada pasien
J.
Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan
jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan
dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid
yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan
cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik
hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan
rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase
akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat
ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks
terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga,
dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping
hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid
pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid
intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari
selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan
dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari kemungkinan
timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
K. Luka Kronik
1. Definisi
Luka
kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui tahapan penyembuhan luka yang normal,
dalam
waktu kurang lebih 3 bulan (Broderick, 2009). Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh
intrinsik maupun ekstrinsik serta dapat mengenai semua kelompok umur, baik
pasien sehat maupun mereka yang memiliki beberapa penyakit penyerta. Contoh
luka kronik antara lain: ulkus dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami
desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka traumatik, atau luka
operasi lama. (Sudjatmiko, 2010)
2. Patologi Luka Kronik
Proses patologi dari luka kronik antara lain (Broderick, 2009):
a. Pemanjangan
fase inflamasi
b. Penuaan
sel (sel tua yang kurang viabel), dimana terjadi perubahan kemampuan sel untuk
berproliferasi.
c. Kekurangan
reseptor faktor pertumbuhan (growth
factor)
d. Tidak
terdapat perdarahan awal yang dapat memicu kaskade penyembuhan luka
e. Peningkatan
kadar protease (enzim yang memakan protein).
3. Penatalaksanaan
a. Perawatan Dasar
Perawatan
yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki peranan dalam mengurangi
tekanan pada pasien dengan ulkus dekubitus. Demikian pula debridemen kalus
secara teratur, perawatan kuku, dan sepatu khusus untuk mengurangi tekanan
penting untuk perawatan kaki diabetik akibat neuropati diabetik. Penggunaan
verban kompresi dan stoking penting dan efektif dalam mengobati ulkus vena. (Harding and Morris, 2002)
b. Debridement yang adekuat
Luka
kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan jaringan nekrotik
yang menghambat penyembuhan.
(Sudjatmiko, 2010)
c. Penanganan infeksi
Pada
luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan perhitungan
kwantitatif sebaiknya dilakukan.
(Sudjatmiko, 2010)
d. Penutupan luka yang baik
Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan
gangguan penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010)
Fokus utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir adalah
mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga dapat menciptakan
lingkungan yang lembab untuk membantu penyembuhan luka. Winter
menunjukkan pada model hewan bahwa proses reepitelialisasi luka akut berjalan
1,5 kali lebih cepat jika luka ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek
bermakna dalam studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun
penerapannya masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit
dan dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan dalam
teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang dapat mengobati
kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali penutupan luka dengan bahan
yang mengandung asam hyaluronat, yang secara khusus membantu penyembuhan luka. (Harding and Morris, 2002)
e. Penggunaan faktor pertumbuhan topikal
Fungsi normal faktor pertumbuhan adalah untuk menarik
bermacam tipe sel ke daerah luka, menstimulasi proliferasi selular, memacu
angiogenesis, serta mengatur sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler.
Penggunaan faktor pertumbuhan secara topikal belum memiliki hasil dramatis
seperti yang diaharapkan sebelumnya. Hal ini tidak mengejutkan mengingat proses
penyembuhan luka sangatlah kompleks. Sampai saat ini hanya platelet derived growth factor yang telah diijinkan penggunaannya
untuk mengobati ulkus kaki yang tidak terinfeksi samai dengan ukuran 5 cm2
pada penderita kaki diabetik (becaplermin, Regranex). Penelitian telah menunjukkan bahwa platelet derived growth factor juga memiliki manfaat dalam mengobati ulkus dekubitus. Meski belum berlisensi, granulocyte
colony stimulating factor telah diteliti
bermanfaat dalam mengobati ulkus kaki
yang terinfeksi pada pasien diabetes, mempercepat penyembuhan selulitis serta menurunkan kebutuhan
penggunaan antibiotik. Selain itu,
fibroblast growth factor dinilai dapat mengobati ulkus decubitus dan epidermal growth factor dapat digunakan pada ulkus vena di kaki. Di masa yang akan datang faktor pertumbuhan dapat diberikan secara bertahap, dalam kombinasi, atau pada interval waktu
tertentu agar semakin mendekati proses penyembuhan luka yang normal. Keragaman faktor pertumbuhan dan jenis luka
kronis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut memiliki potensi sebagai pengobatan baru jika kebutuhan
individual pasien dapat dikenali.
f. Penanganan faktor lokal dan sistemik
yang dapat menghambat penyembuhan luka
Misalnya
gangguan vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan lokal, dan gravitasi.
g. Penggunaan Vacuum Assisted Closure (VAC)
VAC
adalah suatu pendekatan noninvasive yang bertujuan membantu penutupan luka
melalui pemberian secara topical tekanan subatmosferik atau tekanan negatif ke
permukaan luka. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi eksudat, merangsang
angiogenesis, mengurangi kolonisasi bakteri dan menngkatkan pembentukan
jaringan granulasi. Keuntungan menggunakan VAC adalah kita dapat menutup luka
dengan lebih cepat, bahkan pada luka yang kecil dapat epitelisasi sendiri. (Harding and Morris, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar