KONSEP DASAR ANESTESIOLOGI DAN
TINJAUAN KASUS ANESTESI
A. PENGERTIAN
ANASTESI
Anestesi (pembiusan;
berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anastesiologi adalah
cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai tindakan meliputi pemberian
anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di operasi maupun
tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat,
pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
B. SKALA
RESIKO “ASA”
“American Society of Anaesthesiologists” (ASA)
menetapkan sistem penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam lima
kelompok.
Golongan
|
Status
Fisik
|
I
|
Tidak ada
gangguan organic, biokimia dan psikiatri, misalnya penderita dengan hernia
inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat dan bayi muda yang sehat.
|
II
|
Gangguan
sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan oleh penyakit yang akan
dibedah, misalnya penderita dengan obesitas, penderita bronchitis dan
penderita DM ringan yang akan menjalani apendektomi
|
III
|
Penyakit
sistemik berat, misalnya penderita DM dengan komplikasi pembuluh darah dan
datang dengan appendicitis akut
|
IV
|
Penyakit
gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa yang tidak selalu dapat
diperbaiki dengan pembedahan, missal insufisiensi koroner atau MCI
|
V
|
Keadaan
terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan dilakukan sebagai pilihan
terakhir, missal penderita syok berat karena perdarahan akibat kehamilan di
luar uterus yang pecah.
|
C. PEMBAGIAN ANASTESI
1. ANASTESI UMUM
Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Cara pemberian anastesi umum:
a. Parenteral
(intramuscular/intravena)
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anastesi.
b. Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan singkat.
c. Anastesi
Inhalasi
Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara
pernapasan. Zat anestetik yang digunakan
berupa campuran gas (denganO2) dan konsentrasi zat anestetik
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.
Stadium
Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter
dalam 4 stadium (stadium III dibagi
menjadi 4 plana), yaitu:
a.
Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b.
Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi)
dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata
sampai pernapasan kembali teratur.
c.
Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya
pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 :
Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut
kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot
lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 :
Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak
bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh
perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis
dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin
menurun).
Plana 4 :
Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang,
refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d.
Stadium IV
Stadium IV
(paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan
pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Obat-obat
anestesi umum
Tiopenthal :
Bubuk berbau
belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan dengan aquades
sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB. Melindungi otak oleh karena
kekurangan O2. Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan
ke arteri yang menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.
Propofol:
Dalam emulsi
lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi 2-2,5
mg/kgBB, rumatan 4-12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%. Dosis dikurangi pada manula, dan tidak
dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu hamil.
Ketamin:
Kurang
disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska
anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv
1-2mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB. Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.
Opioid:
Diberikan
dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
pasien dengan kelainan jantung.
Untuk
induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.
Untuk
memberikan cairan dalam waktu singkat dapat digunakan vena-vena di punggung
tangan, di dalam pergelangan tangan, lengan bawah atau daerah kubiti. Pada anak
kecil dan bayi digunakan punggung kaki, depan mata kaki atau di kepala. Bayi
bari lahir digunakan vena umbilikus.
2. ANASTESI LOKAL/REGIONAL
Adalah tindakan menghilangkan
nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya
kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan
tekhnik:
a. Anastesi Permukaan
Yaitu pengolesan atu penyemprotan
analgetik lokal diatas selaput mukosa, seperti mata, hidung atau faring.
b. Anastesi
Infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan
disekitar tempat lesi, luka dan insisi.
c. Anastesi
Blok
Penyuntikan
analgetik lokal langsung ke saraf utama atau pleksus
saraf. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal, misal saraf oksipital dan pleksus
brachialis, anastesi spinal, anastesi epidural, dan anestesi kaudal. Pada anestesi spinal, anestesi lokal
disuntikkan ke ruang subarakhnoid.
d. Anastesi
Spinal
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf
yang luas dengan memasukkan anestesi local dalam rung subarachnoid di tingkat
lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia pada ekstermitas
bawah, perenium dan abdomen bawah. Untuk prosedur fungsi lumbal, pasien
dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada. Teknik steril diterapkan saat
melakukan fungsi lumbal dan medikasi disuntikkan melalui jarum. Segera setelah
penyuntikan, pasien dibaringkan terlentang. Jika diinginkan tingkat blok yang
secara relative tinggi, maka kepala dan bahu pasien diletakkan lebih rendah.
Penyebab agens anastetik dan tingkat anesthesia
bergantung pada jumlah cairan yang disuntikkan, posisi pasie setelah
penyuntikan, dan berat jenis agens. Jika berat jenis agens lebih berat dari
berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agens akan bergerak keposisi dependen
spasium subarachnoid, jika berat jenis agens anastetik lebih kecil dadri CSS,
maka anasteti akan bergerak menjauh bagian dependen. Perbatasan ini dikendalikan
oleh ahli anestesi. Secara umum, agens yang digunakan adalah prokain, tetrakain
(Pontocaine), dan lidokain (Xylokain).
Dalam beberapa menit, anestesia dan paralisis
mempengaruhi jari-jari kaki dan perineum dan kemudian secara bertahap
mempengaruhi tungkai dan abdomen. Jika anestetik mencapai toraks bagian atas
dan medulla spinalis dalam konsentrasi yang tinggi, dapat terjadi paralisis
respiratori temporer, parsial atau komplit. Paralisis oto-otot pernapasan
diatasi dengan mempertahankan respirasi artificial sampai efek anestetik pada
saraf respiratori menghilang. Mual, muntah dan nyeri dapat terjadi selama
pembedahan ketika digunakan anestesia spinal. Sebagai aturan, reaksi ini
terjadi akibat traksi pada berbagai struktur, terutama pada struktur di dalam rongga
abdomen. Reaksi tersebut dapat dihindari dengan pemberian intarvena secara
simultan larutan teopental lemah dan inhalasi oksida nitrat.
·
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang
melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan
pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan
fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada
bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
·
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada
tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok),
koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf
meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan
obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien
yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
·
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi
tentang tindakan ini (informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi
daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.
·
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus
diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik
spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di
dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang
digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis
obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi.
Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis
1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa
steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga harus disiapkan. Jarum
spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti
ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya
seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang
menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
·
Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam
melakukan anestesi spinal, antara lain:
Posisi pasien duduk atau dekubitus
lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal.
Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan
dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur
berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
Posisi permukaan jarum spinal
ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata lumbalis (interlumbal).
Lakukan tindakan asepsis dan
antisepsis kulit daerah punggung pasien.
Lakukan
penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke
arah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan
subaraknoid.
Cabut stilet
lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
Suntikkan obat
anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang
untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
·
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala,
retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi
spinal total.
Pengkajian keperawatan yang dilakukan
setelah anestesia spinal, selain memantau tekanan darah, perawat perlu
mengobservasi pesien dengan cermat dan mencatat waktu saat perjalanan sensasi
kaki dan jari kembali. Jika sensasi pada jari kaki telah kembali sepenuhnya,
pasien dapat dipertimbangkan telah pulih dari efek anestetik spinal.
e. Blok
Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan
anestetik local ke dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling durameter.
Anestesia epidural memblok fungsi sensori, motor dan otonomik yang mirip,
tetapi tempat injeksinya yang membedakannya dari anestesi spinal. Dosis
epidural lebih besar disbanding dosis yang diberikan selama anestesi spinal
karena anestesi epidural tidak membuat kontak langsung dengan medulla atau
radiks saraf. Keuntungan dari anestesi epidural adalah tidak adanya sakit
kepala yang kadang disebabkan oleh penyuntikan subarachnoid. Kerugiannya adalah
memiliki tantangan teknik yang lebih besar dalam memasukkan anestetik ke dalam
epidural dan bukan ke dalam spasium subarachnoid. Jika terjadi penyuntikan
subarachnoid secarA tidak sengaja selama anestesi epidural dan anestetik
menjalar ke arah kepala, akan terjadi anestesia spinal “tinggi”. Anestesia
spinal tinggi dapat menyebabkan hipotensi berat dan depresi atau henti napas.
Pengobatan untuk komplikasi ini adalah dukungan jalan napas, cairan intravena,
dan penggunaan vasopresor.
f. Blok
Pleksus Brakialis
Blok pleksus brakialis menyebabkan anestesia pada
lengan.
g. Anestesia
Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf
yang mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.
h. Blok
Transakral (Kaudal)
Blok transakral menyebabkan anestesia pada perineum
dan kadang abdomen bawah.
i. Anastesi Regional Intravena
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal. Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian proksimalnya
dari sirkulasi sistemik dengan
torniquet pneumatik.
3. OBAT PREMEDIKASI
Pemberian
obat premedikasi bertujuan untuk:
a.
Menimbulkan
rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekhawatiran,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan
analgesi).
b.
Memudahkan/memperlancar
induksi, rumatan, dan sadar dari anastesi.
c.
Mengurangi
jumlah obat-obatan anastesi.
d.
Mengurangi
timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah pascaanastesi.
e.
Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat, dan
lain-lain).
f.
Mengurangi
keasaman lambung.
Obat-obat
yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi adalah sebagai berikut:
a. Analgetik narkotik
1)
Morfin
Dosis
premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular diberikan untuk
mengurangi kecemasan dan
ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar
anestesi berjalan
dengan tenang dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme
serta kolik biliaris dan ureter.
2)
Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75
mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otol polos. Dosis
induksi 1-2 mg/kg BB intravena.
b. Barbiturat
Penobarbital
dan sekobarbital). Diberikan
untuk menimbulkan sedasi. Dosis
dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1
mg/kg BB secara oral atau intramuslcular.
c. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular
bekerja setelah 10-15 menit.
d. Obat penenang (tranquillizer)
1) Diazepam
Diazepam
(valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau
5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB)
dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi
regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB)
intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kg BB intravena.
2) Midazolam
Mempunyai
awal dan lama kerja lebih pendek dibandingkan dengan diazepam.
4. OBAT PELUMPUH OTOT
Obat
golongan ini menghambat transmisi neuromuskular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut
mekanisme kerjanya obat ini dibagi menjadi
2 golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten dan obat
penghambat kompetitif atau nondepolarisasi.
Pada anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea, serta memberi
relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.
Perbedaan Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi dan Nondepolarisasi
Depolarisasi
|
Nondepolarisasi
|
Ada vasikulasi otot
|
Tidak ada vasikulasi otot
|
Berpotensiasi dengan antikolinesterase
|
Berpontisiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat
anestetik inhalasi, eter, halotan, enfluran dan isofluran
|
Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau
tetanik
|
Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
|
Belum dapat diatasi dengan obat
spesifik
|
Dapat diantagonis oleh
antikolin esterase
|
Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dan asidosis
|
a.
Obat
Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
1)
Pavulon
(pankuronium bromida). Dosis awal
untuk relaksasi otot 0,008 mg/kgBB
intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis intubasi trakhea 0,15 mg/kgBB
intravena.
2)
Trakrium
(atrakurium besilat). Keunggulannya
adalah metabolisme terjadi di
dalam darah, tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Dosis intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB
intravena. Dosis relaksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis rumatan
0,1-0,2 mg/kgBB intravena.
3)
Vekuronium (norkuron).
4)
Rokuronium. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-2 mg/kgBB.
b.
Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-5 menit. Dosis intubasi 1-1,5 mg/kgBB intravena.
c.
Antagonis
Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin mempunyai efek nikotik, muskarinik, dan merupakan
stimulan otot langsung. Dosis 0,5 mg bertahap sampai 5 mg, biasa diberikan bersama
atropin dosis 1- 1,5mg.
5. OBAT ANESTES1 INHALASI
Zat
|
Untung
|
Rugi
|
N2O
|
Analgesik
kuat, baunya manis, tidak iritasi, tidak terbakar.
|
Jarang
digunakan tunggal, harus disertai O2 minimal 25%, anestetik lemah,
memudahkan hipoksia difusi.
|
Halotan
|
Baunya
enak. Tidak merangsang jalan nafas, anestesi kuat
|
Vasodilator
serebral, meningkatkan aliran darah otak yang sulit dikendalikan, analgesik
lemah.
Kelebihan
dosis akan menyebabkan depresi nafas, menurunnya tonus simpatis, hipotensi,
bradikardi, vasodilator perifer, depresi vasomotor, depresi miokard.
Kontraindikasi
gangguan hepar. Paska pemberian menyebabkan menggigil.
|
Enfluran
|
Induksi
dan pemulihan lebih cepat dari halotan. Efek relaksasi terhadap otot lebih
baik
|
Pada EEG,
menunjukkan kondisi epileptik. Depresi nafas, iritatif, depresi sirkulasi.
|
Isofluran
|
Menurunkan
laju meta-bolisme otak terhadap O2
|
Meninggikan
aliran darak otak dan TIK.
|
Desfluran
|
Sangat
mudah menguap, potensi rendah. Simpatomimetik, depresi nafas, me-rangsang
jalan nafas atas.
|
|
Sevofluran
|
Bau tidak
menyengat, tidak merangsang jalan nafas, kardiovaskular stabil
|
|
6. OBAT ANESTESI INTRAVENA
a. Natrium Tiopental (tiopental, pentotal)
b. Ketamin
c. Droperidol
d. Diprivan
7. OBAT ANESTESI REGIONAL/LOKAL
Obat anestesi
regional/lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal.
Anestesi lokal ideal adalah yang tidak
mengiritasi atau merusak jaringan secara permanen, batas keamanan lebar, mula kerja singkat, masa kerja
cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan,
dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan,
dan efeknya reversibel. Obat anestesianya yaitu lidokain dan bupivikain.
8. POSISI
PASIEN DI MEJA OPERASI
Posisi pasien di meja operasi bergantung pada prosedur
operasi yang akan dilakukan juga pada kondisi fisik pasien. Faktor-faktor yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Pasien
harus dalam posisi senyaman mungkin, apakah ia tetidur atau sadar.
b. Area
operatif harus terpajan secara adekuat.
c. Pasokan
vascular tidak boleh terbendung akibat posisi yang salah.
d. Pernapasan
pasien harus bebas dar gangguan tekanan lengan pada dada atau konstriksi pada
leher dan dada yang disebabkan oleh gaun.
e. Saraf
harus dilindungi dari tekanan yang tidak perlu. Pengaturan posisi lengan,
tangan, tungkai, atau kaki yang tidak tepat dapat mengakibatkan cedera serius
atau paralisis. Bidang bahu harus tersangga dengan baik untuk mencegah cedera
saraf yang tidak dapat diperbaiki, terutama jika posisi Trendelenburg
diperlukan.
f. Tindak
kewaspadaan untuk keselamatan pasien harus diobservasi, terutama pada pasien
kurus, lansia atau obes.
g. Pasien
membutuhkan restrain tidak keras sebelum induksi, untuk berjaga-jaga bila
pasien melawan
Posisi pasien di meja operasi:
a. Posisi
Dorsal Rekumben
Posisi lazim untuk pembedahan adalah terlentang dasar;
satu lengan di sisi tubuh, dengan telapak tangan tertelungkup; tangan satunya
diposisikan di atas sebuah papan lengan untuk infuse intravena. Posisi ini
kebanyakan digunakan pada bedah abdomen, kecuali untuk bedah kandung empedu dan
pelvis.
b. Posisi
Trendelenberg
Posisi ini biasanya digunakan untuk pembedahan abdomen
bawah dan pelvis untuk mendapat pajanan area operasi yang baik dengan mengeser
intestine ke dalam abdomen atas. Dalam posisi ini kepala dan badan lebih rendah
dan lutut dalam keadaan fleksi.
c. Posisi
Litotomi
Dalam posisi litotomi, pasien terlentang dengan
tungkai dan paha fleksi dengan sudut yang tepat. Posisi ini dipertahankan
dengan menempatkan telapak kaki pada pijakan kaki. Posisi ini digunakan pada
pembedahan perineal, rectal dan vaginal.
d. Untuk
Bedah Ginjal
Pasien dibaringkan miring pada sisi tubuh yang tidak
dioperasi dalam posisi Sims menggunakan bantal udara dengan ketebalan 12,5 cm
samapai 15 cm di bawah pinggang, atau di atas meja dengan ginjal dan punggung
di atas.
e. Untuk
Bedah Dada dan Abdominotorakik
Posisi yang dibutuhkan beragam sesuai dengan
pembedahan yang akan dilakukan. Ahli bedah dan ahli anestesi membaringkan
pasien dalam posisi yang diinginkan.
f. Pembedahan
pada Leher
Bedah leher, misalnya bedah tiroid, dilakukan dengan
pasien dalam posisi terlentang, leher ekstensi menggunakan bantal yang
diletakkan dibawah bahu, dan kepala serta dada ditinggikan untuyk mengurangi
aliran balik vena.
g. Pembedahan
pada Tulang Tengkorak dan Otak
Prosedur ini membutuhkan posisi dan peralatan khusus,
biasanya diataur oleh ahli bedah.
9. PERALATAN
Mesin
anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara umum mesin anestesi terdiri dari
tiga komponen yang saling berhubungan yaitu:
·
Komponen 1: sumber gas, penunjuk aliran gas (flow
meter),dan
alat penguap (vaporizer).
·
Komponen
2: sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan
sistem Magill.
sistem Magill.
·
Komponen 3: alat yang menghubungkan sistem napas dengan
pasien yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakhea
(endotrakheal tube).
pasien yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakhea
(endotrakheal tube).
10. TAHAPAN
a. Persipan Praanestesi
Keadaan
fisis pasien telah dinilai sebelumnya. Dilakukan penilaian praoperasi. Keadaan hidrasi pasien
dinilai, akses intravena dipasang
untuk pemberian cairan infus, transfusi dan obat-obatan. Dilakukan pemantauan elektrografi, tekanan darah, saturasi Cb, kadar CO2 dalam darah (kapnograf), dan
tekanan vena sentral (CVP). Premedikasi
dapat diberikan. oral, rektal, intramuskular, atau intravena.
b. Induksi Anestesi
Pasien
diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka. Obat-obat induksi diberikan
secara intravena seperti tipental, ketamin,
diazepam, midazolam, dan profol. Jalan napas dikontrol dengan sungkup muka atau
napas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi trakhea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan.
c. Rumatan Anestesi
Selama
operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal-hal yang dipantau adalah fungsi vital
(pernapasan, tekanan darah, nadi, dan kedalaman anestesi, misalnya adanya
gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardi,
hipertensi, keringat,
air mata, midriasis.
Ventilasi
pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis, lama, dan posisi operasi.
Cairan infus diberikan
dengan memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan, perdarahan, evaporasi, dan
lain-lain
Selama pasien dalam anestesi dilakukan
pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah dan dan frekuensi nadi terjadi bila
anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi sekresi
adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu dengan meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan
barbiturat. Penurunan tekanan darah dan nadi halus sebagai tanda syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah atau cairan. Peningkatan tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan transfusi yang berlebihan. Diatasi dengan penghentian transfusi.
d. Pemulihan Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien
dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau keruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi
terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan
atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum,
kesadaran, tekanan darah, nadi, pemapasan, suhu, sensibilitas
nyeri, perdarahan dari drain, dan lain-lain
Kriteria yang digunakan dan
umumnya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran,
sirkulasi, pemapasan dan aktivitas motorik, seperti Skor Aldrette. Idealnya
pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. namun bila skor total
telah diatas 8 pasien boleh dipindahkan
dari ruang pemulihan.
Skor
Pemulihan Pasca-Anestesi
Penilaian
|
Nilai
|
|
Warna
|
Merah muda
Pucat
Sianotik
|
2
1
0
|
Pernapasan
|
Dapat bernafas dalam dan batuk
Dangkal namun pertukaran udara adekuat
Apnea atau obstruksi
|
2
1
0
|
Sirkulasi
|
Tekanan darah menyimpang <20%>
Tekanan darah
menyimpang 20-50% dari normal
Tekanan darah
menyimpang >50% dari normal
|
2
1
0
|
Kesadaran
|
Sadar, siaga,
dan orientasi
Bangun namun
cepat kembali tertidur
Tidak berespon
|
2
1
0
|
Aktivitas
|
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan
Dua
ekstremitas dapat digerakkan
Tidak
bergerak
|
2
1
0
|
11.
INTUBASI TRAKEA
Intubasi
trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan napas bebas hambatan
dan napas mudah dibantu atau dikendalikan.
Ekstubasi trakea adalah tindakan pengeluaran pipa
endotrakeal.
a. Tujuan
Pembersihan
saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan napas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenisasi.
b. Indikasi
Tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan
napas, dan pemberian ventilasi mekanis
jangka panjang.
c. Peralatan
Sebelum
mengerjakan intubasi trakea, dapat diingat kata STATICS
S : scope, laringioskop dan
stetoskop
T : tubes, pipa endotrakeal
A : airway tubes, pipa
orofaring/nasofaring
T : tape, plester
I : introducer, stilet,
mandrin
C: connector, sambungan-sambungan
S : suction, penghisap lendir
d. Komplikasi
Komplikasi tindakan laringioskopi
dan intubasi:
1)
Malposisi:
intubasi esofagus, intubasi endobronkial,
malposisi laryngeal cuff.
malposisi laryngeal cuff.
2)
Trauma jalan napas: kerusakan gigi, laserasi bibir,
lidah,
atau mukosa mulut, cedera tenggorokan, dislokasi
mandibula, dan diseksi retrofangeal.
atau mukosa mulut, cedera tenggorokan, dislokasi
mandibula, dan diseksi retrofangeal.
3)
Gangguan refleks: hipertensi, takikardi, tekarian
intrakranial meningkat, tekanan intraokular meningkat,
dan spasme laring.
intrakranial meningkat, tekanan intraokular meningkat,
dan spasme laring.
4)
Malfungsi tuba: perforasi cuff.
Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal:
1)
Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial, malposisi laringeal cuff.
endobronkial, malposisi laringeal cuff.
2)
Trauma jalan napas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
ekskoriasi kulit hidung.
3)
Malfungsi tuba: obstruksi.
Komplikasi setelah ekstubasi:
1)
Trauma jalan napas: edema dan stenosis (glotis,
subglotis,
atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis
pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis
pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2)
Gangguan
refleks: spasme laring.
e.
Penentuan ukuran ETT
Usia
|
Diameter
|
Skala French
|
Jarak sampai bibir
|
Prematur
|
2,0-2,5
|
10
|
10 cm
|
Neonatus
|
2,5-3,5
|
12
|
11 cm
|
1-6 bulan
|
3,0-4,0
|
14
|
11 cm
|
0,5-1 tahun
|
3,5-3,5
|
16
|
12 cm
|
1-4 tahun
|
4,0-5,0
|
18
|
13 cm
|
4-6 tahun
|
4,5-5,5
|
20
|
14 cm
|
6-8 tahun
|
5,0-5,5
|
22
|
15-16 cm
|
8-10 tahun
|
5,5-6,0
|
24
|
16-17 cm
|
10-12 tahun
|
6,0-6,5
|
26
|
17-18 cm
|
12-14 tahun
|
6,5-7,0
|
28-30
|
18-22 cm
|
Dewasa
wanita
|
6,5-8,5
|
28-30
|
20-24 cm
|
Dewasa
pria
|
7,5-10,0
|
32-34
|
20-24 cm
|
Cara memilih
pipa trakhea untuk bayi dan anak kecil
Ф dalam pipa
trakheal (mm) = 4,0 + ¼ umur (thn)
Panjang pipa
oro trakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
Panjang pipa
nasotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar